Mengapa China tak Tertandingi di Pasar Kendaraan Listrik?


Dalam peta industri kendaraan listrik global, China semakin mempertegas dominasinya. Tak hanya unggul dalam produksi baterai, Negeri Tirai Bambu ternyata memegang kendali atas 92 persen pasokan rare earth –material vital yang menjadi tulang punggung pembuatan motor listrik.

Fakta yang cukup mengejutkan ini terungkap dalam diskusi di ajang Perikilindo Electric Vehicle Show (PEVS) 2025, awal Mei lalu. General Manager Lisence and Government Relation PT Mobil Anak Bangsa (MAB) Puryanto dengan tegas menyatakan bahwa ketergantungan industri otomotif global pada China sudah mencapai titik yang sulit dihindari.

“Siapa pun yang memproduksi mobil atau motor listrik, mau tidak mau harus berurusan dengan China untuk bahan bakunya,” ujarnya.

Motor listrik, komponen utama yang menggerakkan kendaraan elektrik, sangat bergantung pada dua material kritis: permanent magnet dan kawat tembaga. Permanent magnet, yang terbuat dari rare earth seperti neodymium dan dysprosium, menjadi komponen tak tergantikan dalam motor listrik modern. Sementara itu, kawat tembaga berperan sebagai konduktor listrik yang efisien.

Yang membuat dunia tergantung pada China adalah kenyataan bahwa negara ini menguasai 70 persen tambang rare earth global sekaligus 92 persen pasar pengolahannya. Artinya, hampir semua produsen kendaraan listrik ternama –dari Tesla di AS hingga BYD di China sendiri– tidak punya pilihan selain membeli bahan baku dari China.

Upaya berbagai negara untuk mengurangi ketergantungan pada China menghadapi tantangan berat. AS dan Uni Eropa memang berusaha membangun rantai pasok alternatif, tetapi kenyataannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Biaya ekstraksi rare earth yang tinggi, proses pemurnian yang rumit dan berpolusi, serta penguasaan teknologi pengolahan yang telah dimiliki China selama puluhan tahun membuat upaya diversifikasi bahan baku menjadi sangat sulit.

“Indonesia punya cadangan tembaga dari Freeport yang bisa dimanfaatkan, tetapi untuk rare earth, kita masih sangat bergantung pada China,” jelas Puryanto.

China tidak main-main dalam mempertahankan posisinya sebagai raja kendaraan listrik dunia. Melalui kebijakan ‘Made in China 2025’, pemerintahan Presiden Xi Jinping melakukan serangkaian langkah strategis.

Mereka tak hanya berinvestasi besar-besaran di pabrik baterai, tetapi juga menguasai seluruh rantai pasok dari hulu ke hilir. Ekspansi agresif ke pasar global pun terus dilakukan, membuat produk-produk EV China semakin mendominasi.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Sebagai pemilik cadangan nikel terbesar dunia, Indonesia sebenarnya punya peluang besar untuk menjadi pemain penting dalam industri baterai kendaraan listrik. Namun, untuk komponen motor listrik, ketergantungan pada rare earth China masih menjadi tantangan berat yang harus diatasi.

Dominasi China dalam industri kendaraan listrik tidak hanya berbicara tentang keunggulan teknologi, tetapi lebih kepada penguasaan bahan baku kritis.

Jika negara-negara lain ingin benar-benar bersaing, mereka harus menemukan solusi alternatif untuk rare earth –atau bersiap menerima kenyataan bahwa ketergantungan pada Beijing akan berlanjut dalam waktu yang cukup lama.

Bagaimana kelanjutan dominasi China di industri kendaraan listrik? Apakah negara-negara lain bisa menemukan jalan keluar dari ketergantungan ini? Waktulah yang akan berbicara nanti.