Ototekno

Mengerikan! MRI dan AI dapat Membaca Pikiran Kita

Penggunaan artificial intelligence (AI) mengalami terobosan besar setelah dapat menerjemahkan citra MRI ke dalam teks. Ini artinya teknologi akan mampu membaca pikiran seseorang. Temuan ini jelas memunculkan kekhawatiran yang besar. Implikasi yang bakal menakutkan.

Untuk pertama kalinya, para peneliti berhasil menggunakan GPT1, pendahulu AI chatbot ChatGPT, untuk menerjemahkan citra MRI (pencitraan resonansi magnetic) menjadi teks dalam upaya memahami apa yang dipikirkan seseorang. Temuan ini menggembirakan sekaligus juga memunculkan kekhawatiran yang besar.

Joshua Krook, Rekan Riset dalam Kecerdasan Buatan yang Bertanggung Jawab di University of Southampton mengungkapkan, terobosan baru-baru ini memungkinkan para peneliti di University of Texas di Austin untuk ‘membaca’ pikiran seseorang sebagai aliran teks yang berkelanjutan, berdasarkan apa yang mereka dengarkan, bayangkan, atau tonton.

“Ini menimbulkan kekhawatiran yang signifikan terhadap privasi, kebebasan berpikir, dan bahkan kebebasan untuk bermimpi tanpa gangguan. Undang-undang tidak dilengkapi untuk menangani penggunaan komersial yang meluas dari teknologi membaca pikiran atau hukum kebebasan berbicara tidak mencakup perlindungan pikiran kita,” kata Krook, mengutip The Conversation.

Dalam sebuah studi di Texas, peserta diminta untuk mendengarkan buku audio selama 16 jam saat berada di dalam pemindai MRI. Pada saat yang sama, komputer ‘belajar’ bagaimana mengasosiasikan aktivitas otak mereka dari MRI dengan apa yang mereka dengarkan. Setelah dilatih, decoder dapat menghasilkan teks dari pikiran seseorang saat mereka mendengarkan cerita baru, atau membayangkan cerita mereka sendiri.

Terobosan komunikasi otak dan mesin

Menurut para peneliti, komputer hanya berhasil menangkap inti dari apa yang dipikirkan seseorang. Namun, temuan tersebut merupakan terobosan signifikan di bidang antarmuka otak-mesin yang, hingga kini, mengandalkan implan medis invasif. Perangkat non-invasif sebelumnya hanya dapat menguraikan beberapa kata atau gambar.

Berikut adalah contoh dari apa yang didengarkan oleh salah satu subjek (dari buku audio): “Saya bangun dari kasur udara dan menempelkan wajah saya ke kaca jendela kamar tidur, berharap melihat mata menatap ke arah saya tetapi malah menemukan hanya kegelapan.”

Dan inilah yang ‘dibaca’ komputer dari aktivitas otak subjek: “Saya terus berjalan ke jendela dan membuka kaca. Saya berdiri di atas kaki saya dan mengintip keluar. Saya tidak melihat apa-apa dan melihat ke atas lagi, saya tidak melihat apa-apa.” Hasilnya hampir mirip kan?

Masih menurut Krook di The Conversation, peserta studi harus bekerja sama untuk melatih dan menerapkan decoder, sehingga privasi pikiran mereka tetap terjaga. Namun, para peneliti memperingatkan bahwa “perkembangan di masa depan memungkinkan decoder melewati persyaratan ini”. Dengan kata lain, teknologi membaca pikiran suatu hari nanti dapat diterapkan pada orang-orang yang bertentangan dengan keinginan mereka.

Penelitian di masa depan juga dapat mempercepat proses pelatihan dan decoding. Meskipun butuh 16 jam untuk melatih mesin membaca apa yang dipikirkan seseorang dalam versi saat ini, ini akan berkurang secara signifikan di pembaruan mendatang. Dan seperti yang telah kita lihat dengan aplikasi AI lainnya, decoder juga cenderung menjadi lebih akurat dari waktu ke waktu.

Pergeseran menuju teknologi non-invasif

Para peneliti telah bekerja selama beberapa dekade pada antarmuka otak-mesin dalam perlombaan untuk menciptakan teknologi membaca pikiran yang dapat memahami pikiran seseorang dan mengubahnya menjadi teks atau gambar. Namun biasanya, penelitian ini berfokus pada implan medis, dengan fokus untuk membantu penyandang disabilitas menyampaikan pemikiran mereka.

Neuralink, perusahaan neuroteknologi yang didirikan oleh Elon Musk, sedang mengembangkan implan medis yang memungkinkan mengontrol komputer atau perangkat seluler ke mana pun Anda pergi. Tetapi kebutuhan untuk menjalani operasi otak untuk memasang perangkat di dalam diri Anda kemungkinan besar akan tetap menjadi penghalang penggunaan teknologi semacam itu.

Namun, peningkatan akurasi teknologi non-invasif baru ini dapat menjadikannya pengubah permainan. Untuk pertama kalinya, teknologi membaca pikiran terlihat layak dengan menggabungkan dua teknologi yang tersedia – meskipun dengan harga yang lumayan. Mesin MRI saat ini berharga antara US$150.000 sekitar Rp2,2 miliar hingga US$1 juta atau sekitar Rp14,9 miliar.

Perlunya perlindungan hukum

Undang-undang privasi data saat ini tidak menganggap pemikiran sebagai bentuk data. Menurut Krook, kita membutuhkan undang-undang baru yang mencegah munculnya kejahatan pikiran, pelanggaran data pikiran, dan bahkan suatu hari nanti, mungkin, penanaman atau manipulasi pikiran. “Beralih dari membaca pemikiran hingga menanamkannya mungkin membutuhkan waktu lama, tetapi keduanya memerlukan pengaturan dan pengawasan terlebih dahulu,” katanya.

Para peneliti dari Universitas Oxford memperdebatkan hak legal atas integritas mental, yang mereka gambarkan sebagai: ‘Hak terhadap campur tangan yang signifikan dan non-konsensual dengan pikiran seseorang’.

Yang lain mulai membela hak asasi manusia baru atas kebebasan berpikir. Ini akan melampaui definisi tradisional tentang kebebasan berbicara, untuk melindungi kemampuan untuk merenung, bertanya-tanya, dan bermimpi.

Dunia tanpa regulasi bisa menjadi distopia dengan sangat cepat. Bayangkan seorang atasan, guru, atau pejabat negara mampu menginvasi pikiran pribadi Anda – atau lebih buruk lagi, mampu mengubah dan memanipulasinya.

Selama ini sudah ada teknologi pemindaian mata yang digunakan di ruang kelas untuk melacak gerakan mata siswa selama pelajaran, untuk mengetahui apakah mereka memperhatikan guru dan pelajaran di kelasnya. Lalu apa yang terjadi ketika teknologi membaca pikiran berikutnya?

Demikian pula, apa yang terjadi di tempat kerja ketika karyawan tidak lagi diperbolehkan memikirkan makan malam, atau apa pun di luar pekerjaan? Tingkat kontrol yang kasar dari pekerja bisa melebihi apa pun yang dibayangkan sebelumnya.

Novelis George Orwell menulis dengan meyakinkan tentang bahaya ‘kejahatan pikiran’, di mana negara menjadikan pemikiran pemberontak tentang rezim otoriter sebagai kejahatan. Novel fiksinya berjudul Nineteen Eighty-Four, bagaimanapun, didasarkan pada kisah aparat keamanan yang membaca bahasa tubuh, buku harian, atau indikasi eksternal lainnya tentang apa yang dipikirkan seseorang.

Dengan terobosan teknologi membaca pikiran yang baru, apa yang diramalkan Orwell akan terjadi dengan sangat cepat. Bahkan mungkin sesingkat satu kalimat kemudian bisa ditindak dan dianggap sebagai pemberontak. Misalnya ketika Winston Smith, tokoh fiksi dan protagonis utama dalam novel Orwel itu baru pada tahap berpikir dalam hatinya ‘Ganyang Saudara’, tak lama kemudian ia bisa ditangkap dan dieksekusi.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button