Menggugat Standar Batas Garis Kemiskinan BPS


Garis kemiskinan Bank Dunia lebih aktual dan relevan diterapkan di Indonesia karena status Indonesia sudah menjadi negara berpendapatan menengah ke atas. Dengan begitu, wajar jika garis kemiskinannya juga harus disesuaikan.

Siti Fatimah, 28 tahun, duduk bersila di teras rumahnya sambil membungkus camilan untuk dijual. Semenjak anak pertamanya lahir dan ia berhenti bekerja sebagai buruh pabrik, Fatimah membuka usaha warung serba ada di rumahnya di Kecamatan Serang Baru, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.  

Kepada Inilah.com pada Jumat (9/5/2025), Fatimah menceritakan dia membuka usaha warung karena penghasilan suami sebagai kurir dengan gaji Rp4 juta per bulan tak cukup memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kendati begitu, dia tetap bersyukur karena tak sampai ngutang ke pinjaman online.

Fatimah menceritakan pengeluaran per harinya sekitar Rp100 ribu. Selain untuk makan sehari-hari, pengeluaran tersebut juga untuk jajan satu anak dan bensin suami untuk pergi bekerja.

Tak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, gaji suami Fatimah itu juga untuk membayar cicilan rumah subsidi dan kendaraan roda dua. Jika kepepet butuh uang, dia memilih meminjam pada orang tua.

“Kalau pinjam uang ke tetangga, nanti malah jadi omongan. Pusing ngatur uang bulanan kalau saya enggak bantu suami dengan jualan. Ini anak masih balita, gimana nanti kalau dia mulai sekolah,” kata Fatimah.

Di rumah subsidi Fatimah, ada sebuah televisi ukuran 22 inci yang biasa digunakan anaknya menonton film kartun. Seorang mantan pejabat dari lembaga zakat Dompet Dhuafa, pernah nyeletuk pada inilah.com bahwa jika seseorang di rumahnya tak punya televisi, maka dia masuk kategori miskin. Namun jika di rumahnya masih ada televisi, maka meski dinding rumahnya dari papan, dia belum masuk kategori miskin.

Fatimah sendiri saat ditanya apakah dia merasa hidupnya saat ini miskin? Dia menjawab, selama tak punya utang dengan tetangga dan keluarga atau tidak terbelit utang pinjol, maka dia bukan orang miskin  

Standar Miskin

Bank Dunia mengategorikan rakyat miskin berdasarkan tiga standar kemiskinan ini. Pertama, Bank Dunia mematok pengeluaran US$2,15 (Rp35.000) per orang per hari untuk mengukur tingkat kemiskinan berdasarkan kemiskinan dunia (international poverty rate) atau kemiskinan ekstrem.

Kedua, berdasarkan standar US$3,65 (Rp60.000) per orang per hari, untuk mengukur angka kemiskinan negara berpendapatan menengah ke bawah (Lower Middle Income Country/LMIC).

Ketiga, standar US$ 6,85 (Rp113 ribu) per orang per hari, untuk menghitung orang miskin di negara berpendapatan menengah ke atas (UMIC).

Lantaran sejak 2023 Indonesia masuk UMIC, maka Bank Dunia menggunakan standar kemiskinan di Indonesia sebesar US$6,85 (Rp113 ribu) per orang perhari. Walhasil, nyaris 172juta warga Indonesia masuk kategori miskin.

Detail perihal data Bank Dunia soal kemiskinan di Indonesia itu tertuang dalam laporan Bank Dunia berjudul Macro Poverty Outlook edisi April 2025.Laporan tersebut menyimpulkan mayoritas penduduk Indonesia miskin, dengan porsi sebesar 60,3 persen dari total 285,1 juta jiwa populasi Indonesia pada 2024

Lain Bank Dunia, lain pula Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menetapkan standar kemiskinan. BPS menggunakan standar kemiskinan sebesar Rp595.242 per orang per bulan atau hampir Rp20 ribu per orang per hari.

Artinya, orang Indonesia yang belanjanya minimal Rp20.000 per hari, disebut tidak miskin. Angka ini dikritik banyak ekonom karena dianggap tidak realistis dengan perkembangan harga saat ini. Nilai sebesar itu tak cukup untuk membeli sebutir kelapa atau 1 kilogram telur ayam.

Inilah.com pada Jumat (9/5/2025) telah mencoba menghubungi Humas BPS untuk wawancara lebih detail terkait dengan perbedaan standar kemiskinan tersebut. Sayang hingga tulisan ini diturunkan, belum ada respon.  

Akan tetapi, saat ditemui awak media sebelumnya di Kompleks Istana Kepresidenan pada Rabu (30/4/2025), Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti meminta agar semua pihak menyikapi laporan Bank Dunia soal angka kemiskinan itu dengan bijak. Sebab standar itu bukan suatu keharusan yang harus diterapkan Indonesia, melainkan itu hanya referensi.

Menurut Amalia, Bank Dunia memakai standar perhitungan kemiskinan di Indonesia berdasarkan daya beli masyarakat kelas menengah atas, yang pengeluarannya setara dengan US$ 6,85 per kapita Purchasing Power Parity (PPP). Sedangkan perhitungan yang dilakukan BPS menggunakan dasar pemenuhan kebutuhan dasar, yakni sekitar Rp 595.242 per bulan.

Laporan Bank Dunia juga mengukur tingkat kemiskinan Indonesia dalam bentuk PPP atau paritas daya beli masyarakat. Untuk kategori international poverty rate yang ditetapkan adalah US$ 2,15 per kapita per hari, dan lower middle income poverty rate yakni US$ 3,65 per kapita per hari.

Menurut Amalia, global poverty line oleh Bank Dunia itu tidak bisa serta-merta diterapkan pada seluruh negara. Sebab setiap negara memiliki national poverty rate berbeda, yang diukur berdasarkan keunikan dan karakteristik negara tersebut.

BPS juga melakukan perhitungan garis kemiskinan menggunakan basis atau angka kemiskinan di masing-masing provinsi yang kemudian diagregasi menjadi angka nasional, bukan dari national poverty. Sebab standar hidup masyarakat di kota besar berbeda dengan masyarakat di daerah terpencil Indonesia.

Standar BPS tak Relevan

Gaduh beda cara ukur BPS dan Bank Dunia soal standar kemiskinan membuat sejumlah ekonom buka suara. Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies, dalam wawancara dengan Inilah.com pada Sabtu (10/5/2025), mengatakan garis kemiskinan Bank Dunia lebih aktual dan relevan diterapkan di Indonesia karena status Indonesia saat ini sudah menjadi negara berpendapatan menengah ke atas. Dengan begitu, wajar jika garis kemiskinannya juga harus disesuaikan.

Bhima pun menyarankan agar BPS melakukan revisi garis kemiskinan segera, seperti dilakukan Malaysia pada 2019 yang merevisi garis kemiskinannya.

“Jadi, pemerintah jangan denial dengan 60,3 persen penduduk miskin versi Bank Dunia, tapi harus langsung menggelontorkan perlindungan sosial (bansos). Sebelumnya kelas menengah versi BPS kan tidak dapat bansos, nah sekarang kelas menengah itu sebenarnya miskin juga, jadi wajib dapat bansos,” ujar Bhima.

Sementara itu, ekonom Yanuar Rizky, menilai memang harus ada penyesuaian sisi batas garis kemiskinan dari BPS. 

“Jadi, yang harus disesuaikan adalah standar angka batas kemisikinan yang harus merujuk pada angka biaya hidup yang rasional, kalau terlalu rendah itu tidak rasional,” ujar Yanuar kepada inilah.com, Sabtu (10/5/2025).

Di sisi lain, Yanuar juga setuju dengan BPS bahwa kondisi setiap provinsi di Indonesia berbeda-beda, dan tidak semua kondisi dalam metode bank dunia itu bisa diperbandingkan antara negara. Dengan begitu, tolok ukur kemiskinan di Indonesia harus diukur secara provinsi, bukan diukur dengan skala nasional dan harus rasional.

Sedangkan, Riza Annisa Pujarama, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai tingginya angka kemiskinan di Indonesia seperti yang dipaparkan Bank Dunia dalam laporannya, menggambarkan tingkat ketimpangan di Indonesia yang sulit turun.

“Jadi Bank Dunia itu mengeluarkan batas garis kemiskinan berdasarkan GNI per kapita (Gross National Income). Indonesia memang sudah masuk upper-middle country, sehingga batas garis kemiskinannya lebih tinggi lagi,” kata Riza kepada inilah.com, Sabtu (10/5/2025).

Menurutnya, penggunaan garis kemiskinan BPS secara faktual kurang relevan jika definisi batas kemiskinan itu sama dengan dapat hidup layak. Namun, jika sekadar untuk mencukupi kebutuhan pokok atau untuk sekedar bertahan hidup, itu mungkin masih relevan karena bersifat relatif, yakni terdapat perbedaan biaya hidup di daerah dan pola konsumsi di daerah.