Mengukur Langkah Impian Prabowo Kembalikan Pilkada ke DPRD Pasca Putusan MK


Demokratis artinya bisa langsung, bisa tidak langsung atau melalui DPRD. Konstitusi tidak mengatakan bahwa pemilihan kepala daerah dipilih oleh rakyat. Maka dalam falsafah demokrasi Indonesia yang terbaca dalam Pancasila, berbunyi “permusyawaratan Perwakilan”

Presiden Prabowo Subianto punya alasan jelas mengapa ia menginginkan mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada), seperti gubernur, bupati, dan wali kota, dikembalikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sistem tersebut dinilai lebih efisien serta tidak membutuhkan biaya besar dibandingkan dengan pemilihan langsung oleh rakyat.

Soal tidak efisiennya biaya pilkada itu, jelas Prabowo tak mengada-ada. Bila berkaca dari beberapa pilkada serentak, total anggaran yang digelontorkan menyentuh kisaran Rp 80,65 triliun. 

Adapun rinciannya, Pilkada 2017: Rp 4,2 Triliun, Pilkada 2018: Rp 18,5 triliun, Pilkada 2020: Rp 20,4 triliun, dan Pilkada 2024: Rp 37,52 triliun.

Dengan menggunakan alasan bahwa sistem Pilkada langsung yang mahal, Presiden Prabowo menganggap bahwa pemilihan melalui “Permusyawaratan Perwakilan” alias Pilkada melalui DPRD akan mengurangi anggaran dan ongkos politik tinggi tersebut. 

Dasar itulah kemudian Prabowo membandingkan sistem politik Indonesia dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan India yang dianggap lebih efisien proses pemilihannya. 

Uang yang dikeluarkan untuk pesta demokrasi itu, nantinya bisa dimanfaatkan untuk makanan anak-anak, perbaikan sekolah, hingga perbaikan irigasi. Apalagi kini pemerintah mempunyai program unggulan seperti makan bergizi gratis (MBG).

Selain memakan biaya negara yang besar, Pilkada langsung adalah kontestasi yang cukup mahal. Hasil kajian Litbang Kemendagri menunjukkan bahwa untuk menjadi Walikota/Bupati dibutuhkan biaya mencapai 20-30 milyar, sementara untuk menjadi Gubernur berkisar 20-100 milyar.

Dengan begitu, calon dengan keuangan yang gendut punya peluang lebih besar memenangi Pilkada. Di sinilah peran bandar politik (oligarki) untuk membiayai Pilkada. 

Siapa yang punya bandar tentu akan berpeluang menjadi pemenang. Potensi politik uang bukan hanya terjadi di tingkat pemilihan langsung, pemilihan tidak langsung juga bisa menimbulkan dampak politik uang. 

“Politik bagi-bagi uang, sembako akan berkurang. Tapi tak tertutup kemungkinan politik uangnya akan terjadi di kalangan DPRD,” ujar Peneliti Utama BRIN Siti Zuhro kepada Inilah.com.

Meskipun keduanya rentan dengan politik uang, Pilkada langsung memakan anggaran negara yang besar dan sulit diawasi perilaku politik uang. Sementara Pilkada tidak langsung, penggunaan anggaran negara sangat minim, dan potensi politik uang dapat dengan mudah diawasi.

Selain itu, secara faktual, hasil dari pemilihan kepada daerah langsung telah banyak membuat kepala daerah terjerat kasus korupsi seperti suap yang melibatkan pemerintah daerah dan pengusaha yang ingin mendapatkan proyek APBD. Semua itu terjadi karena biaya politik yang begitu mahal. 

Gubernur Bengkulu nonaktif, Rohidin Mersyah saat digiring ke rutan, usai terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT), Minggu (24/11/2024). (Foto: Inilah.com/ Rizki Aslendra)
Gubernur Bengkulu nonaktif, Rohidin Mersyah saat digiring ke rutan, usai terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT), Minggu (24/11/2024). (Foto: Inilah.com/ Rizki Aslendra)

Tentu publik masih ingat saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah pada 25 November 2024. Ketika itu KPK menduga adanya kaitan kasus pemerasan yang dilakukan Rohidin dengan kebutuhan Pilkada 2024. Ini diperkuat dengan temuan amplop bergambar Rohidin. KPK menyebut amplop itu digunakan untuk serangan fajar.

Lebih jauh lagi, dampaknya, kepala daerah terpilih akan lebih pragmatis. Hal ini segaris dengan hasil kajian KPK. 

Data KPK menunjukkan bahwa sejak 2004 hingga Januari 2022 ada 22 gubernur dan 148 bupati atau walikota yang ditangkap KPK. Itu baru data KPK, belum lagi jika digabungkan dengan data Kejaksaan dan Kepolisian. Berdasarkan pengumpulan data oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2010-Juni 2018 ada 253 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum. 

Selain – tentu saja – sifat serakah, penyebab lainnya mengapa kepala daerah korupsi, yaitu tingginya biaya politik ketika mereka mencalonkan diri. ICW mencatat biaya politik yang tinggi terjadi karena dua hal, yaitu politik uang berbentuk mahar politik (nomination buying) dan jual beli suara (vote buying).

Belum cukup, Pilkada langsung juga menciptakan keretakan kohesi sosial di masyarakat dan tidak jarang terjadi perpecahan dan polarisasi masyarakat yang cukup berbahaya bagi keamanan dan ketertiban.

“Pilkada langsung acapkali memunculkan polarisasi politik bahkan politisasi agama, suku/identitas. Pilkada via DPRD potensinya relatif berkurang,” kata Siti Zuhro.

Sejak diberlakukannya pilkada langsung tahun 2006 silam sudah banyak terjadi kasus-kasus kerusuhan dan bahkan sampai menimbulkan korban jiwa, pengrusakan kantor-kantor pemerintah dan pengrusakan fasilitas umum baik di jalan umum maupun di sekitar kantor pemerintah.

Terbaru, saat terjadi kerusuhan di Puncak Jaya, Papua Tengah, pada hari pemilihan kepala daerah (pilkada), 27 November 2024 yang menyebabkan 40 rumah terbakar dan 94 orang terluka.

“Mari kita berpikir, mari kita tanya, apa sistem ini, berapa puluh triliun habis dalam 1-2 hari. Dari negara maupun dari tokoh politik masing-masing,” ujar Prabowo dalam acara HUT ke-60 Golkar di Bogor, 12 Desember 2024.

Menata Langkah

Tentu Prabowo tak mau salah menata langkah, ia sudah barang tentu masih ingat bagaimana 11 tahun silam impiannya ini digagalkan oleh Presiden ke-enam RI Susilo Bambang Yudhoyono , saat mengeluarkan Perppu membatalkan UU No. 22 Tahun 2014, hanya gara-gara mendapat desakan dari sejumlah pengamat dan lembaga survei. 

Meski sebelumnya pemerintah dan DPR sudah sepakat soal penerbitan UU ini. Lebih ironis lagi, DPR juga menyetujui Perppu yang diajukan SBY tersebut. Padahal, tidak ada perintah konstitusi agar DPR menerima begitu saja Perppu.

Namun kini situasi sudah berubah. Prabowo kini presiden dan pemimpin Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus, yang didalamnya terdapat partai Demokrat tempat SBY bernaung. Tentu langkah strategis bisa ia lakukan untuk mewujudkan mimpi “satu komando” dari Sabang sampai Merauke.   

Lembaran yang kini mulai dibuka Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Jazilul Fawaid selaku Wakil Ketua PKB, tanpa ragu menyatakan bahwa pihaknya akan mendorong pilkada dipilih oleh DPRD, terlebih yang berada di tingkat II. 

Dorongan itu akan disampaikan jika nantinya revisi Undang-undang (UU) Pemilu dilakukan imbas putusan MK. Putusan bernomor 135/PUU-XXII/2024, dinilai berdampak pada kesemrawutan pelaksanaan pemilu.

Presiden RI Prabowo Subianto saat memberikan pengarahan kepada kepala daerah pada acara retret di Akmil, Magelang, Jawa Tengah (Jateng), Kamis (27/2/2025). (Foto: Inilah.com/ Vonita Betalia/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden)
Presiden RI Prabowo Subianto saat memberikan pengarahan kepada kepala daerah pada acara retret di Akmil, Magelang, Jawa Tengah (Jateng), Kamis (27/2/2025). (Foto: Inilah.com/ Vonita Betalia/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden)

Salah satunya, bahwa keputusan MK yang memilih model pemilu terpisah antara Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah akan berdampak pada perpanjangan masa jabatan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota selama 2-2,5 tahun. 

Hal ini tentu saja menimbulkan kerumitan, sementara tidak mungkin untuk diisi dengan penjabat (PJ), dan bertentangan dengan UUD 1945 yang membatasi masa jabatan dari Pemilu hanya lima tahun.

“Pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan lebih efisien dan efektif, terutama karena banyak kewenangan kepala daerah yang kini sudah dikembalikan ke pemerintah pusat. Dengan demikian, kita bisa mengurangi kerumitan sistem Pemilu yang selama ini dianggap tidak stabil dan menghabiskan banyak biaya,” kata Jazilul.

Jazilul seakan mematahkan pagar yang lebih dahulu dibangun Politikus PDIP Arya Bima dan Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, yang kompak menyebut putusan MK telah memupus harapan mengembalikan Pilkada ke DPRD.

Sebab secara konstitusional untuk melaksanakan Pilkada secara langsung tidak ada perintah langsung dalam konstitusi. 

Berdasarkan Pasal 22E UUD 1945, Pemilu adalah pemilihan presiden, DPR RI, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang digelar setiap lima tahun. Sementara para Anggota DPRD tingkat II, dinilai sudah mewakili rakyat.

Selain itu, ketentuan UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) berbunyi: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai pemerintah daerah yang dipilih secara demokratis”. 

Kata demokratis dalam UUD tersebut mengisyaratkan pemilihan kepala daerah tidak harus langsung oleh rakyat. Demokratis artinya bisa langsung, bisa tidak langsung atau melalui DPRD. Konstitusi tidak mengatakan bahwa pemilihan kepala daerah harus dipilih oleh rakyat. 

Maka dalam falsafah demokrasi Indonesia yang terbaca dalam Pancasila jelas tertulis “permusyawaratan Perwakilan”.

Bahkan kalau kita ambil contoh di Daerah Istimewa seperti Yogyakarta, gubernur diangkat melalui garis keturunan dan berlaku dalam sistem negara Indonesia. Atau kita lihat contoh di DKI Jakarta, wali kota dan bupati diangkat oleh gubernur berdasarkan pangkat eselon.

Sementara di Papua diberikan kekhususan bagi Orang Asli Papua untuk menjadi gubernur, wali kota dan bupati. Sistem pemilihan pun menggunakan sistem noken.

Selain itu, perlu diingat bahwa putusan MK hanya menyebut pemilihan umum Kepala Daerah atau Pilkada itu diserentakan dengan Pemilihan Legislatif dalam hal ini DPRD, belum ada putusan yang spesifik mengatakan cara pemilihan Kepala Daerah.

“Kan ini kan pemilihan kepala daerah ada waktunya keserentakannya, (sedangkan) cara milihnya kan belum diputuskan Mahkamah Konstitusi,” ujar Anggota Komisi II DPR RI fraksi Golkar, Ahmad Doli Kurnia.

Gerindra sebagai motor KIM Plus masih malu-malu. Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad saat berbincang dengan Inilah.com, menyatakan bahwa partainya kini sedang melakukan kajian dari dorongan PKB tentang mengembalikan fungsi DPRD.

“NasDem punya pemikiran lain, teman-teman PKB juga punya pendapat lain itu akan dikaji oleh Partai Gerindra juga, untuk yang saat ini sedang membuat kajian,” tutur Dasco kepada inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (5/7/2025).

Pada saatnya nanti, Gerindra akan memberikan sikap terkait polemik yang disebabkan dari putusan MK tersebut. “Pada saatnya nanti Partai Gerindra juga akan mengeluarkan sikapnya,” tandasnya.

(Nebby/Reyhaanah/Diana).