Menlu Sugiono di Tengah Pusaran Gejolak Geopolitik dan Konflik Global


Kondisi geopolitik di wilayah Timur Tengah, Rusia dan Ukraina, serta Indo-Pasifik yang tengah bergejolak belakangan ini menjadi tugas berat bagi Sugiono yang menakhodai Kementerian Luar Negeri RI. Bagaimana ia yang minim pengalaman menghadapi dinamika dan tantangan global yang berat melalui diplomasi luar negeri?

 

Sugiono yang dilantik sebagai Menlu pada 21 Oktober 2024, tak memiliki latar belakang sebagai diplomat karier. Di usianya yang baru 45 tahun, lulusan SMA Taruna Nusantara Magelang dan S1 Teknik Komputer Universitas Norwich, Amerika Serikat, itu pernah menjadi prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus), anggota Komisi I DPR RI, hingga wakil ketua umum Partai Gerindra.

Perlu digarisbawahi, Sugiono adalah Menlu RI pertama dari partai politik sejak Alwi Shihab (menjabat 1999–2001) dan pertama yang berlatar belakang militer. Dalam profilnya yang dimuat di situs web fraksi Partai Gerindra, Sugiono digambarkan orang yang ada di lingkaran terdekat Ketua Umum Gerindra sekaligus Presiden RI Prabowo Subianto. Bahkan tak sedikit yang menyebut Sugiono merupakan anak ideologis Prabowo.

Penunjukan Sugiono oleh Prabowo sebagai Menlu memang memantik perdebatan publik. Kekhawatiran publik tentunya selain didasarkan pada latar belakang sosok Menlu, juga kondisi gejolak geopolitik dan konflik global yang demikian kompleks dan berat. Dalam kancah regional Asia Tenggara saja misalnya, Menlu Sugiono tak menunjukkan penegasan soal kepemimpinan di ASEAN dan peran strategis Indonesia. Hal tersebut terlihat dari sikap Menlu Sugiono atas posisi Indonesia di ASEAN saat Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri (PPTM) pada awal tahun 2025 lalu.

Kompetensi dan Dampak bagi Indonesia

Kritikan tajam datang dari Ketua Departemen Hubungan Internasional Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) Lina Alexandra. Ia menyoroti pidato Sugiono yang cuma sedikit menyinggung peran Indonesia di ASEAN. Padahal seharusnya ada pernyataan tegas dari Sugiono bahwa Indonesia ingin kembali menunjukkan kepemimpinan di ASEAN dalam arah kebijakan luar negeri. Namun hal penting tersebut justru tidak disampaikan Sugiono.

Tak hanya soal di ASEAN, pernyataan Sugiono ihwal alasan Indonesia gabung forum ekonomi yang digawangi Rusia-China, BRICS, sebagai realisasi politik bebas aktif dinilai tak jelas dan sebatas retorika. Dalam pandangan Lina, penjabaran Menlu tidak bisa dilihat secara tegas bagaimana menginterpretasikan prinsip bebas dan aktif. “Seharusnya, prinsip bebas aktif menjadi panduan dalam menentukan arah kebijakan luar negeri bukan menjadi tujuan,” kata dia dalam diskusi yang digelar CSIS dan disiarkan di YouTube, dikutip di Jakarta, Sabtu (28/6/2025).

Lina selanjutnya menekankan, prinsip bebas yaitu Indonesia bisa menentukan pilihan, prioritas, arah langkah, tanpa diatur atau ditekan kekuatan lain. Namun, untuk betul-betul bisa bebas menentukan pilihan ini harus didukung oleh kemampuan untuk bisa menganalisa dan mengidentifikasi apa yang menjadi kepentingan Indonesia, termasuk apa yang terjadi di tingkat regional dan global dan bagaimana bisa berdampak ke Indonesia. Kemampuan kalkulasi-kalkulasi strategis semacam itulah yang harus dimiliki Indonesia sehingga bisa disebut bebas.

Adapun untuk bisa bebas, Indonesia harus turut aktif. Jika Indonesia bergabung ke organisasi internasional tertentu pemerintah harus berkontribusi aktif di forum tersebut seperti ikut menentukan agenda ke depan hingga merumuskan kebijakan.

Tidak Didasarkan pada Kualitas Kepemimpinan

Pengamat Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta Dr Asep Kamaluddin mencermati pilihan Sugiono dijadikan Menlu di tengah beratnya tantangan geopolitik dan kondisi global yang penuh ketidakpastian, lebih pada pendekatan politik birokrasi. Dengan begitu, setiap tindakan Prabowo akan diafirmasi oleh Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan jajarannya. Artinya, kekuatan Presiden lebih dominan dibandingkan dengan Menlu. 

Dalam analisisnya, Asep Kamaluddin berpandangan pola tersebut menunjukkan kembalinya situasi Orde Baru di mana Presiden Soeharto ketika itu lebih dominan dari pada Departemen Luar Negeri (Deplu) pada saat itu.

Konsekuensi dari Menlu yang bukan berlatar bidang diplomasi adalah membuat kebijakan luar negeri Indonesia hanya berbasis intuisi dan kalkulasi saja. Akibatnya, tidak didasarkan pada kualitas kepemimpinan. Apalagi Menlu yang berasal dari Kalangan militer maka pola pengambilan keputusan lebih cenderung hirarki.

Meskipun ada tiga Wamenlu tapi tetap saja keputusan ada di tangan Presiden dan Menlu hanya melakukan afirmasi dari keputusan Presiden. “Dengan demikian tidak ada perimbangan psikologi kognisi yang membuat kebijakan lebih terukur,” ujar Asep Kamaluddin menegaskan dalam wawancara dengan Inilah.com di Jakarta, Sabtu (28/6/2025).

post-cover
Pengamat Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta Dr Asep Kamaluddin. (Foto: UPNVJ)

Dibantunya Menlu Sugiono oleh tiga Wamenlu, yang dua di antaranya berlatar belakang diplomat karier, yaitu Arrmanatha Nasir dan Arif Havas Oegroseno diharapkan dapat menambal kekurangan Menlu Sugiono. Hal tersebut juga tak lepas dari strategi Presiden Prabowo di mana pertama kalinya Menlu RI memiliki tiga Wakil Menlu sekaligus sebagai wajah diplomasi luar negeri Indonesia

Bagi Asep Kamaluddin, kerja-kerja Menlu Sugiono tentunya sangat bisa terbantu dengan adanya tiga wakil. Namun itu semua bisa berjalan tergantung relasi dan kedekatan antara Menlu dan Wamenlu. Tapi sebagai catatan yang perlu digarisbawahi bahwa semua yang didasarkan pada pola politis akan lebih cenderung hirarki dan minim diskusi.

Lebih dari itu, agar Indonesia dapat memainkan perannya dalam politik luar negeri secara maksimal, Menlu Sugiono harus lebih dekat dengan diplomat senior dan banyak bertanya. Selain itu, kata pengajar Teori Diplomasi dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia ini, jangan lupa juga banyak diskusi dengan kelompok akademisi serta kelompok thinktank untuk meramu kebijakan karena dalam memformulasi kebijakan harus melibatkan banyak aktor.

Kebijakan Menlu Harus Sejalan dengan Aspirasi Rakyat

Dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada, Muhadi Sugiono baru-baru ini menyoroti Menlu Sugiono dengan menekankan pentingnya Menlu mencermati opini publik agar bisa merespons dengan kebijakan luar negeri yang sejalan dengan aspirasi rakyat. 

Meski begitu Muhadi mengakui saat ini belum bisa memastikan apakah respons tersebut akan menciptakan dinamika sosial dan politik yang signifikan. 

Namun yang jelas baginya, di tengah kompleksitas global ini, langkah konkret Indonesia melalui Menlu adalah memperkuat jalur diplomatik dan humaniter. Selain mendorong semua pihak kembali ke meja perundingan, Indonesia juga dapat mengambil inisiatif untuk membangun koalisi negara-negara yang mendorong de-eskalasi. 

Menlu juga mesti memainkan peran penting untuk memastikan kawasan tetap netral dan tidak terseret dalam polarisasi geopolitik global. “Indonesia perlu menjadi suara moderat yang aktif mendorong perdamaian, sekaligus memperjuangkan perlucutan senjata nuklir yang adil dan konsisten.”