Menyelami Epistemologi di Tengah Kemalasan Berpikir


Aku ingin mulai dengan pertanyaan sederhana, tapi berat: Apakah kita benar-benar belajar? Ataukah kita hanya menjalani rutinitas yang disebut belajar tanpa menyentuh esensi kata itu sendiri? Sore ini (Kamis, 12 Juni 2025), bersama teman-teman Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Timur (PERMAINTI), aku kembali merenungkan hal ini. Kita sedang membahas epistemologi—cabang filsafat yang membahas pengetahuan, kepercayaan, dan kebenaran. Bukan sekadar teori kering, melainkan sesuatu yang sangat nyata dan mendasar dalam hidup kita.

Belajar, pada dasarnya, bukanlah sekadar mengumpulkan data, menghafal fakta, atau menuntaskan tugas sekolah. Belajar adalah proses yang jauh lebih kompleks, melibatkan interaksi antara teks, pembaca, dan realitas. Ini bukan aktivitas pasif, melainkan aktif, penuh perjuangan, dan terkadang menyakitkan. Namun, ironisnya, banyak orang hari ini justru meninggalkan bacaan filsafat dan teks-teks yang mengajak kita berpikir kritis dan reflektif. Mereka lebih memilih cara berpikir “reaksioner”—yang katanya kritis, tapi sebenarnya dangkal dan mudah terombang-ambing oleh realitas permukaan.

Aku sering mendengar kalimat, “Kepakaran telah mati.” Ini bukan sekadar slogan kosong. Banyak orang merespons segala sesuatu dengan enteng, tanpa menyelami substansi. Padahal, substansi itu lahir dari interaksi mendalam antara teks, pembaca, dan realitas. Tanpa keterlibatan mendalam pada teks, kita hanya berhadapan dengan realitas secara langsung tanpa filter pemahaman kritis. Itu bagaikan menonton film tanpa memahami ceritanya; hanya menangkap gambar dan suara tanpa makna.

Keterlibatan pada Teks dan Realitas

Keterlibatan pada teks bukan sekadar membaca kata-kata. Itu adalah tindakan membaca secara aktif—suatu proses di mana kita tidak hanya menyerap informasi, tetapi juga menguji, menafsirkan, dan mengaitkannya dengan pengalaman kita sendiri. Keterlibatan ini membuka ruang untuk memahami dunia secara lebih dalam dan luas. Di sinilah letak peran epistemologi. Ia mengajarkan kita bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang mutlak dan pasti, melainkan sesuatu yang harus terus diuji dan dipertanyakan.

Epistemologi mengajarkan kita untuk waspada terhadap apa yang kita anggap tahu. Pengetahuan, kepercayaan, dan kebenaran adalah objek kajian yang saling terkait namun berbeda. Pengetahuan adalah sesuatu yang kita yakini benar berdasarkan bukti dan alasan yang kuat. Kepercayaan adalah keyakinan yang kita pegang, namun belum tentu didukung bukti yang memadai. Sementara itu, kebenaran adalah sesuatu yang ideal—yang mungkin tak pernah sepenuhnya kita capai, tetapi senantiasa kita kejar.

Dalam proses belajar, kita berhadapan dengan keterbatasan indera dan persepsi. Apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan tidak selalu mencerminkan realitas secara utuh. Oleh karena itu, aku menyikapi setiap tangkapan inderawi dengan penuh kecurigaan. Ini bukan sikap sinis, melainkan sikap kritis yang sehat. Kita harus selalu bertanya: “Apakah yang kulihat ini benar?”, “Apakah yang kuyakini ini berdasar?”, “Apakah yang kupelajari ini mendekatkanku pada kebenaran?”

Belajar juga berarti memahami bahwa pengetahuan bukanlah entitas yang statis. Ia dinamis, senantiasa berkembang, dan terbuka untuk direvisi. Apa yang kita anggap benar hari ini, bisa jadi ditinggalkan esok hari seiring munculnya bukti baru. Oleh karena itu, belajar adalah proses yang tak pernah usai. Ia adalah perjalanan panjang yang menuntut kesabaran, ketekunan, dan keberanian untuk meragukan diri sendiri.

Aku ingin menegaskan: belajar bukan sekadar urusan individu. Ia adalah proses sosial yang terjadi melalui interaksi manusia, budaya, dan sejarah. Kita belajar dari orang lain, dari teks-teks warisan leluhur, dan dari pengalaman kolektif. Dalam konteks ini, epistemologi juga mengajarkan kita memahami peran kekuasaan dan bahasa dalam membentuk pengetahuan. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan medan pertempuran makna. Siapa yang menguasai bahasa, dialah yang menguasai pengetahuan—dan kebenaran—yang diterima masyarakat.

Peran Epistemologi dalam Membebaskan Pikiran

Bahasa dapat menjadi alat dominasi yang meminggirkan suara minoritas dan narasi alternatif. Oleh karena itu, belajar juga berarti membuka ruang bagi pluralitas pengetahuan—bukan sekadar menerima narasi tunggal yang didikte penguasa. Kita harus berani mempertanyakan narasi resmi dan mencari kebenaran yang terselubung.

Aku percaya bahwa belajar sejati adalah proses menjadi manusia merdeka: manusia yang mampu berpikir kritis, bertindak mandiri, dan berkontribusi pada perubahan sosial. Ini bukan hal mudah di tengah sistem pendidikan yang kerap menjauhkan kita dari esensi belajar. Sistem pendidikan formal masih banyak berorientasi pada hafalan dan kepatuhan, bukan pada pengembangan daya kritis dan kreativitas. Sekolah sering menjadi pabrik penyeragaman, bukan ruang pembebasan.

Namun, aku yakin perubahan dapat dimulai dari diri sendiri. Dengan kesadaran epistemologis, kita mampu melawan kemalasan berpikir dan kebodohan sistematis. Kita dapat membangun komunitas belajar yang terbuka, kritis, dan inklusif. Kita mampu menciptakan ruang alternatif tempat teks dan realitas dipertemukan secara bermakna.

Belajar adalah bentuk perlawanan. Perlawanan terhadap narasi tunggal, dominasi bahasa, dan sistem yang memproduksi manusia pasif. Dengan belajar, kita merebut kembali agensi kita sebagai subjek pengetahuan—bukan objek yang dikendalikan.

Aku mengajakmu untuk tak berhenti bertanya, membaca, dan meragukan. Sebab dalam keraguan terletak awal pengetahuan sejati. Dalam ketidakpastian tersedia ruang untuk tumbuh. Dalam keterbatasan persepsi kita belajar membuka mata dan hati lebih lebar.

Jadi, apakah kita benar-benar belajar? Jawabannya bergantung pada pemaknaan kita. Jika belajar sekadar rutinitas dan hafalan, kita belum menyentuh hakikatnya. Namun jika belajar adalah proses aktif, kritis, dan reflektif yang melibatkan keterlibatan penuh dengan teks dan realitas—kita berada di jalan benar.

Belajar bukan sekadar mengisi kepala dengan informasi, melainkan mengubah cara memandang dunia dan diri sendiri. Belajar adalah perjalanan menuju kebebasan berpikir dan bertindak. Belajar adalah perlawanan abadi di tengah dunia penuh distraksi dan penyeragaman.

Mari jadikan epistemologi bukan sekadar kajian akademik, melainkan cara hidup. Sebagai alat memahami dunia dan diri secara jernih dan bermakna. Sebagai jalan melawan kemalasan berpikir dan kebodohan sistematis. Sebab hanya melalui belajar sejati kita dapat membangun dunia yang lebih adil, bermakna, dan merdeka.