Hangout

Menyentuh, Inilah 20 Puisi Sapardi Djoko Damono yang Penuh Makna

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, kerap kali dipanggil SDD atau Sapardi, lahir di Surakarta, 20 Maret 1940. Ia adalah seorang sastrawan asal Indonesia. Sapardi dikenal melalui puisinya yang sederhana, namun penuh dengan makna kehidupan, sehingga banyak dari puisinya yang populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum. 

Sebelum masuk ke perguruan tinggi dan akhirnya terkenal, Sapardi sudah aktif menulis dan mengirimkan karya-karyanya ke publik sejak duduk dibangku SMA. Hingga masa pensiunnya, ia pun masih aktif menulis dan mengajar di Institut Kesenian Jakarta

Kumpulan Puisi Sapardi Djoko Damono - inilah.com
Sumber: popmama.com

Dikenal karena hal-hal sederhana yang selalu disisipkan dalam setiap puisinya, inilah yang justru menjadi daya tarik karya-karyanya. Adapun beberapa puisinya yang populer antara lain Aku Ingin, Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah Si Telaga, dan masih banyak lainnya yang akan dibahas dalam artikel kali ini.

1. Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan

kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

1989

2. Hujan Bulan Juni

tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan Juni

dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan Juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan Juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu

3. Pada Suatu Hari Nanti

Pada suatu hari nanti,

Jasadku tak akan ada lagi,

Tapi dalam bait-bait sajak ini,

Kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,

Suaraku tak terdengar lagi,

Tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,

Pada suatu hari nanti,

Impianku pun tak dikenal lagi,

Namun di sela-sela huruf sajak ini,

Kau tak akan letih-letihnya kucari.

4. Akulah Si Telaga

akulah si telaga:

berlayarlah di atasnya;

berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil

yang menggerakkan bunga-bunga padma;

berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;

sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja

— perahumu biar aku yang menjaganya.

1982

5. Yang Fana Adalah Waktu

Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi

detik, merangkainya seperti bunga

sampai pada suatu hari

kita lupa untuk apa

“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.

Kita abadi.

1978

6. Kuhentikan Hujan

Kuhentikan hujan

Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan

Ada yang berdenyut dalam diriku

Menembus tanah basah

Dendam yang dihamilkan hujan

Dan cahaya matahari

Tak bisa kutolak

Matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga

7. Hanya

Hanya suara burung yang kau dengar

dan tak pernah kaulihat burung itu

tapi tahu burung itu ada di sana

Hanya desir angin yang kaurasa

dan tak pernah kaulihat angin itu

tapi percaya angin itu di sekitarmu

Hanya doaku yang bergetar malam ini

dan tak pernah kaulihat siapa aku

tapi yakin aku ada dalam dirimu

8. Sajak Kecil Tentang Cinta

Mencintai angin harus menjadi siut

Mencintai air harus menjadi ricik

Mencintai gunung harus menjadi terjal

Mencintai api harus menjadi jilat

Mencintai cakrawala harus menebas jarak

Mencintai-Mu harus menjelma aku

9. Kita Saksikan

kita saksikan burung-burung lintas di udara

kita saksikan awan-awan kecil di langit utara

waktu itu cuaca pun senyap seketika

sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya

di antara hari buruk dan dunia maya

kita pun kembali mengenalnya

kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata

saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia

1967

10. Metamorfosis

Ada yang sedang menanggalkan

kata-kata yang satu demi satu

mendudukkanmu di depan cermin

dan membuatmu bertanya

tubuh siapakah gerangan

yang kukenakan ini

ada yang sedang diam-diam

menulis riwayat hidupmu

menimbang-nimbang hari lahirmu

mereka-reka sebab-sebab kematianmu

ada yang sedang diam-diam

berubah menjadi dirimu.

11. Sajak Putih

Beribu saat dalam kenangan

Surut perlahan

Kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh

Sewaktu detik pun jatuh

Kita dengar bumi yang tua dalam setia

Kasih tanpa suara

Sewaktu bayang-bayang kita memanjang

Mengabur batas ruang

Kita pun bisu tersekat dalam pesona

Sewaktu ia pun memanggil-manggil

Sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil

Di luar cuaca

12. Dalam Diriku

Dalam diriku mengalir sungai panjang

Darah namanya;

Dalam diriku menggenang telaga darah

Sukma namanya;

Dalam diriku meriak gelombang sukma

Hidup namanya!

Dan karena hidup itu indah

Aku menangis sepuas-puasnya.

13. Kenangan

/1/

Ia meletakkan kenangannya

dengan sangat hati-hati

di laci meja dan menguncinya

memasukkan anak kunci ke saku celana

sebelum berangkat ke sebuah kota

yang sudah sangat lama hapus

dari peta yang pernah digambarnya

pada suatu musim layang-layang

/2 /

Tak didengarnya lagi

suara air mulai mendidih

di laci yang rapat terkunci.

/3 /

Ia telah meletakkan hidupnya

di antara tanda petik

14. Kepada Istriku

Pandanglah yang masih sempat ada

pandanglah aku: sebelum susut dari Suasana

sebelum pohon-pohon di luar tinggal suara

terpantul di dinding-dinding gua

Pandang dengan cinta. Meski segala pun sepi tandanya

waktu kau bertanya-tanya, bertahan setia

langit mengekalkan warna birunya

bumi menggenggam seberkas bunga, padamu semata

1967

15. Menjenguk Wajah di Kolam

Jangan kau ulang lagi

menjenguk

wajah yang merasa

sia-sia, yang putih

yang pasi

itu.

Jangan sekali-

kali membayangkan

Wajahmu sebagai

rembulan.

Ingat,

jangan sekali-

kali. Jangan.

Baik, Tuan.

16. Tentang Matahari

Matahari yang ada di atas kepalamu itu

Adalah balon gas yang terlepas dari tanganmu

waktu kau kecil, adalah bola lampu

yang ada di atas meja ketika kau menjawab surat-surat

yang teratur kauterima dari sebuah Alamat,

adalah jam weker yang berdering

saat kau bersetubuh, adalah gambar bulan

yang dituding anak kecil itu sambil berkata:

“Ini matahari! Ini matahari!” –

Matahari itu? Ia memang di atas sana

supaya selamanya kau menghela

bayang-bayangmu itu.

1971

17. Ia Tak Pernah

ia tak pernah berjanji kepada pohon

untuk menerjemahkan burung

menjadi api

ia tak pernah berjanji kepada burung

untuk menyihir api

menjadi pohon

ia tak pernah berjanji kepada api

untuk mengembalikan pohon

kepada burung

18. Gerimis Jatuh

Gerimis jatuh kaudengar suara di pintu

Bayang-bayang angin berdiri di depanmu

Tak usah kauucapkan apa-apa; seribu kata

Menjelma malam, tak ada yang di sana

Tak usah; kata membeku,

Detik meruncing di ujung Sepi itu

Menggelincir jatuh

Waktu kaututup pintu.

Belum teduh dukamu.

19. Sementara Kita Saling Berbisik

sementara kita saling berbisik

untuk lebih lama tinggal

pada debu, cinta yang tinggal berupa

bunga kertas dan lintasan angka-angka

ketika kita saling berbisik

di luar semakin sengit malam hari

memadamkan bekas-bekas telapak kaki, menyekap sisa-sisa

unggun api

sebelum fajar. Ada yang masih bersikeras abadi.

1966

20. Hatiku Selembar Daun

Hatiku selembar daun

melayang jatuh di rumput;

Nanti dulu,

biarkan aku sejenak terbaring di sini;

ada yang masih ingin kupandang,

yang selama ini senantiasa luput;

Sesaat adalah abadi

sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button