Market

Miris, Didanai Rp314 Triliun, Transisi Energi Kurang Sosialisasi

Program energi bersih dengan target penutupan PLTU batu bara ternyata belum melakukan sosialisasi ke masyarakat. Bahkan masyarakat yang akan terdampak penutupan PLTU tersebut pun tidak mengetahui adanya program pendanaan transisi energi atau Just Energy Transition Partnership (JETP).

Survei yang diadakan Center of Economic and Law Studies (Celios) menemukan, 76 persen masyarakat tidak mengetahui program tersebut. Padahal dari sisi pendanaannya sangat fantastis senilai US$20 miliar atau sekitar Rp314 triliun.

“Hasil survei menunjukkan pemahaman masyarakat mengenai JETP masih sangat rendah dan cenderung terpusat pada masyarakat di wilayah dan kelas ekonomi tertentu,” kata Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, dalam peluncuran hasil survei persepsi publik terkait JETP di Jakarta, seperti dikutip Rabu (5/72023).

Padahal, menurut dia, masyarakat yang terimbas penutupan PLTU perlu terlibat aktif dalam merumuskan program JETP. Secara detail, pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) salah satunya berfokus pada pensiun dini PLTU batu bara.

Bhima menilai, dengan ditutupnya PLTU tersebut akan berdampak pada pekerjaan masyarakat yang bekerja di sekitar pembangkit tersebut. “Idealnya sebelum Comprehensive Investment Plan (CIP) diluncurkan, masyarakat terdampak bisa memahami dan ikut aktif dalam perumusan program,” ungkap Bhima.

Adapun Sekretariat JETP menargetkan dokumen CIP bisa selesai dan diluncurkan ada 16 Agustus 2023. Sementara itu peneliti Unitrend, Ignatius Ardhana Reswara menyampaikan hambatan utama transisi ke energi terbarukan adalah besarnya ketergantungan terhadap energi fosil.

Untuk itu, dia menilai persepsi tentang JETP berkorelasi kuat dengan keinginan masyarakat untuk menutup PLTU. “Tanpa adanya penutupan PLTU dalam waktu cepat, dikhawatirkan percepatan transisi EBT (energi baru terbarukan) akan tertunda. Dua hal tadi harus jalan paralel,” ujar Ardhana dalam kesempatan yang sama.

Bali Lebih Paham

Survei dilakukan Celios melibatkan 1.245 orang responden dari berbagai wilayah di Indonesia. Adapun pengumpulan data dilakukan secara digital dengan dukungan aplikasi Facebook dan Instagram Ads. Dalam riset ini, terungkap 76 persen masyarakat tidak mengetahui adanya JETP.

Sementara berdasarkan sebaran wilayah, informasi JETP lebih dipahami oleh masyarakat di Bali dibanding daerah lain. Menurut Celios, ini mengindikasikan informasi JETP lebih dikaitkan event G20 sehingga persebaran informasi tindak lanjut komitmen transisi energi berkeadilan dipersepsikan belum merata.

Survei Celios juga menunjukkan, 53 persen perempuan memiliki kecenderungan mendukung penutupan PLTU batu bara dan transisi ke EBT secara paralel.

Namun, program transisi energi bisa terhambat karena masyarakat menilai terdapat sumber energi yang masih dominan. Sebanyak 32 persen responden menyebut batu bara sebagai sumber penghambat transisi energi utama, disusul 26 persen minyak bumi, 26 persen nuklir dan 11 persen gas.

Selain itu, pada survei tersebut juga ditemukan penggunaan nuklir, co-firing PLTU, gasifikasi batubara dan geothermal dinilai masyarakat sebagai solusi yang harus dihindari. “Data ini menunjukkan, mau dari rentang usia berapapun, nuklir menjadi solusi yang dihindari masyarakat,” ungkap Ardha.

Sebab, dia menilai nuklir memiliki sejarah panjang, termasuk ledakan nuklir di Hiroshima, Jepang. Temuan lainnya, ketertarikan perempuan dalam pekerjaan yang berkaitan dengan transisi energi cukup rendah. Sebanyak 48 persen responden perempuan, tidak tertarik bekerja di sektor yang terkait transisi energi, seperti energi terbarukan (ET).

“Sektor pertanian menurut hasil survei menjadi sektor yang paling optimis atas kemampuan pemerintah dalam mengembangkan regulasi energi terbarukan, karena diproyeksikan EBT lebih rendah biaya dan efektif membantu pertanian skala kecil,” tutur dia.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button