Predikatnya sih ‘guardian of constitution’, tapi makin ke sini Mahkamah Konstitusi (MK) kian melenceng. Dengan semangat reformasi ala negara federal, MK memutuskan pemilu nasional dan lokal dipisah. Mereka lupa Indonesia bukan Kanada ataupun Jerman. Tapi ya sudahlah, toh putusan MK memang cuma ‘final and binding’, bukan ‘final and thoughtful’.
Putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan lokal, dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua setengah tahun, memicu krisis konstitusional. Wajar bila parlemen selaku pemegang kewenangan pembentuk Undang-Undang (UU) bereaksi keras.
Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 bisa berimbas pada kekosongan kursi pemerintahan daerah dan DPRD. Kekosongan di lembaga eksekutif masih bisa diisi dengan Penjabat (Pj), tetapi bagaimana dengan DPRD? Tentu tidak bisa diisi dengan Pj, perpanjangan masa jabatan artinya melanggar UU. MK dinilai telah ‘lompat pagar’, menghadirkan norma baru tak mencerminkan predikatnya sebagai penjaga konstitusi. Padahal tugasnya cukup menguji dan menafsirkan UU, sebagaimana amanat Pasal 24 C ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Semestinya MK konsisten dengan putusan sebelumnya yang memberi pilihan kepada pembentuk UU, merumuskan model keserentakan dalam UU Pemilu. Apalagi pertimbangan hukum di angka 3.17 Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, secara tegas menyebut MK tidak berwenang menentukan model pemilihan
“Dia (MK) menyebut dirinya guardian of constitution, lho kok banyak keputusannya bukan menjaga tapi ikut ngatur pula. Norma-norma baru dibuat. Nah ini yang membuat kontroversi,” kata Ketua Fraksi PKB DPR RI Jazilul Fawaid dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (4/7/2025).
Pasal 22 E ayat 1 UUD 1945 pun memerintahkan pemilu dilakukan setiap lima tahun sekali. Bukannya patuh, MK malah menetapkan pemilu nasional digelar 2029 dan pemilu lokal dihelat 2031. Apesnya, putusan ini final dan mengikat, menempatkan DPR dan pemerintah di sebuah persimpangan, bak memakan buah simalakama.

“Melaksanakan (putusan MK), melanggar konstitusi. Tidak dilaksanakan pun juga sebenarnya melanggar konstitusi. Kenapa? Tadi ada pasal 24 C, ayat 1. Bahwa putusan MK bersifat final. Ini yang saya sebut sebagai dilematis, conditional deadlock. Dimakan masuk mulut buaya, tidak dimakan masuk mulut harimau,” ucap Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI Taufik Basari.
Mantan hakim konstitusi Patrialis Akbar pun dibuat geleng-geleng kepala. Menkumham era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini mewanti-wanti MK jangan ‘fait accompli ‘—fetakompli/memaksa,red—mencampuri urusan legislasi.
“Semestinya MK sebagai lembaga negara berada pada garda terdepan yang bertugas menjaga kemurnian konstitusi, menjadikan konstitusi sebagai rujukan dalam memasangkan tugas, fungsi, dan kewenangannya. MK tidak diberikan kewenangan mengubah konstitusi, yang berhak mengubah konstitusi hanyalah MPR saja,” kata dia tegas, saat rapat di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (4/7/2025).
Siapa Bohirnya?
Kubu seberang tentu tak mau ambil pusing dengan segala keluhan dan kritikan, intinya bagi mereka putusan MK harus dieksekusi. Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan, suka atau tidak, DPR dan pemerintah wajib menindaklanjutinya.
Ia menyatakan, pemisahan pemilu nasional dan lokal bukan barang baru yang patut dihebohkan. Titi menyebut, wacana pemisahan juga pernah disinggung Badan Keahlian DPR, hingga sempat masuk Prolegnas 2020.
Hanya saja, Titi melanjutkan, pada 2021 RUU Pemilu dicabut dari prolegnas, sehingga sampai Pemilu 2024 selesai dilaksanakan, tidak ada revisi. Kemudian, Perludem mengajukan judicial review (JR) ke MK terkait pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal.
“Tindak lanjut putusan MK, kami serahkan ke pembentuk Undang-Undang. Tentu, kami berharap DPR dan pemerintah segera menindaklanjuti putusan tersebut. Putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga harus dilaksanakan,” kata Titi.

Berdiri bersama Titi, pengamat hukum tata negara Bivitri Susanti melawan derasnya arus kritik. Menurutnya, suara sumbang yang sedang nyaring-nyaringnya, menandakan terusiknya kepentingan partai-partai koalisi pendukung pemerintah, disinyalir terkait keinginan Presiden RI Prabowo Subianto mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
“Kenapa untuk yang ini mereka heboh banget. Padahal enggak bisa ditolak, artinya ada kepentingan yang terganggu. Ada dua sebab, pertama ekonomi-politik dan kedua karena Prabowo ingin sekali pemilihan gubernur kembali ke DPRD, artinya nanti agenda itu jadi rusak,” ucap Bivitri kepada Inilah.com, Jumat (4/7/2025).
Padahal kalau ditelaah mendalam, model pemilihan yang disodorkan MK, justru lebih pas diterapkan di negara penganut sistem federal, seperti Kanada, Jerman dan sebagainya, bukan Indonesia. Sementara, Pasal 37 ayat 5 UUD 1945 menegaskan bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak dapat dilakukan perubahan.
“Pemikiran dan ide ini pernah dibahas, apakah bisa pemilihan nasional dipisah dengan pemilihan lokal. Tetapi diputuskan tak jadi opsi DPR karena jika dipisah maka lebih sesuai semangat negara federal, sementara kita telah menetapkan diri sebagai negara kesatuan,” ucap Ketua MPR RI Ahmad Muzani, sebagaimana dilihat Inilah.com, dari akun Instagramnya @ahmadmuzani2, Sabtu (5/7/2025).

Pernyataan Muzani, mengingatkan kita pada pidato Presiden Prabowo saat peringatan Hari Lahir Pancasila di kawasan Jakarta Pusat, 2 Juni 2025. Diwanti-wanti, adanya kekuatan asing yang diduga membiayai lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk mengadu domba dan mengacak-acak ‘dapur’ Indonesia.
“Saya mengajak sekali lagi seluruh rakyat Indonesia bersatu. Perbedaan jangan menjadi sumber gontok-gontokan ini selalu yang diharapkan oleh kekuatan-kekuatan asing yang tidak suka Indonesia kuat. Dengan uang, mereka membiayai LSM-LSM untuk mengadu domba kita. Mereka katanya adalah penegak demokrasi, HAM, kebebasan pers, padahal itu adalah versi mereka sendiri,” ucap Prabowo tegas.
Apakah keriuhan pemisahan pemilu saat ini adalah maksud dari peringatan Prabowo? Sayangnya, belum ada satu pun yang berani menjawabnya dengan lugas. “Apakah ada titipan untuk bermain-main dalam keputusan (MK) ini? Kita tidak tahu, namun rakyat berhak mendapatkan kejelasan,” kata Ketum Partai NasDem Surya Paloh, Sabtu (5/7/2025).
Sarat Kontroversi Patut Dievaluasi
Persoalan ini tak sebatas isi putusan, melainkan juga prosesnya. Belakangan terungkap, MK tidak melibatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara pesta demokrasi. Padahal selama ini, lembaga yang diarsiteki Mochammad Afifuddin cs selalu kena getah dari putusan-putusan MK.
“Kami ingin menyampaikan bahwa di antara perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi yang banyak diuji, salah satunya ini. Nah ini di antara yang memang tidak meminta keterangan kami sebagai penyelenggara meskipun alasannya juga sama dengan kesimpulan banyak pihak,” ujar dia di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (4/7/2025).
Tapi Afif bersyukur karena putusan MK terkait pemisahan pemilu diketuk palu setelah seluruh proses Pemilu Serentak 2024 rampung. Jika tidak, bisa-bisa KPU jadi samsak lagi. “Putusan MK ini kalau kita bisa syukuri, alhamdulilah-nya setelah Pilkada ya kan,” kata Afif, menambahkan.

MK suka bikin kontroversi, yang paling membekas tentu Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang menjadi karpet merah bagi Gibran Rakabuming melenggang ke Pilpres 2024. Bukan cuma itu, MK juga pernah head to head dengan Mahkamah Agung (MA), terkait batas usia calon kepala daerah. Rasanya-rasanya, MK memang perlu dievaluasi besar-besaran, masihkah keberadaannya diperlukan atau tidak.
“Kalau saya bukan hanya merapihkan, perlu kita sudah mengevaluasi keberadaannya MK. Ini mereka sudah lupa dari khitah pendirian MK itu. Jadi dia merasa berada di atas MPR, di atas lembaga-lembaga negara yang lain,” kata Ketua Umum Partai Masyumi yang juga eks anggota Komisi III DPR RI, Ahmad Yani saat berbincang dengan Inilah.com.
Bahkan di internal MK pun juga banyak persoalan, salah satunya proses rekrutmen hakim yang menyalahi prosedur. Yani pun menyinggung, pengangkatan Guntur Hamzah sebagai hakim MK secara inkonstitusional, pada 2022 lalu.
“Apalagi ada hakim MK itu pengangkatannya ilegal, tidak melalui prosedural. Si Guntur (Hamzah). Guntur itu main datang saja, dia mau ngantar surat atau enggak tahulah, tiba-tiba dia diangkat. Gimana itu? Tidak melalui proses pendaftaran, tidak melalui fit and proper test,” ujar dia.
Menanti Solusi
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Valina Singka Subekti mencoba mengademkan suasana, mengajak semua pihak untuk tetap kepala dingin membuka ruang diskusi, demi kemajuan demokrasi dan peningkatan kualitas pemilihan.
Valina menangkap maksud baik MK menerbitkan putusan 135/PUU-XXII/2024. Dia meyakini, MK memutuskan demikian, untuk tujuan bersifat praktis guna mengefisiensikan penyelenggaran pemilu. Akan tetapi, dia tidak sepakat jika putusan itu harus ditelan bulat-bulat, perlu juga dibuka ruang diskusi seluas-luasnya untuk menghadirkan model pemilihan yang ‘win-win solution’.
“Jadi memang benar putusan MK punya tujuan yang baik, tapi ini bisa jadi bahan diskusi, apakah dengan pemisahan akan meningkatkan kualitas demokrasi?” ujarnya mempertanyakan putusan MK, saat berbicara di rapat bersama Komisi III DPR RI, Jumat (4/7/2025).
Jauh sebelum keriuhan ini, tepatnya pada Oktober 2019, Valina pernah menyarankan agar pemilihan legislatif (Pileg) dikembalikan ke model proporsional tertutup. Dia berpandangan, perlu ada upaya penguatan presidensialisme yang dianut Indonesia. Menurutnya, sistem proporsional terbuka terlalu berpusat pada calon atau ‘candidacy centered’ sehingga menyuburkan praktik ‘vote buying’ dan ‘vote trading’.

Selaras dengan semangat penguatan presidensialisme, Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid mendorong adanya revisi UU Pemilu secara komprehensif. Dia turut mengusulkan, pengembalian pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
“Putusan MK, menurut saya, kurang komprehensif. Kita harus melihat semua sistem. Jadi mulai dari sistem kepartaian, sistem pemerintahan gitu di daerah dan sebagainya. Dan oleh sebab itu PKB atau saya minimal mengusulkan UU direvisi. Saya akan minta untuk pemilihan bupati/wali kota berikan saja ke DPRD tingkat dua, supaya lebih simpel kan. MK ingin yang simpel,” kata Jazilul
Bagi yang tidak sepaham, jangan buru-buru alergi. Peneliti Utama BRIN Siti Zuhro mengatakan, setiap sistem pemilihan—baik langsung maupun melalui DPRD—punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dia mengakui, pemilihan melalui DPRD relatif tidak ada konflik, hemat biaya dan stabil. Selain itu, proses seleksi fokus pada kompetensi, serta memperkecil putaran politik uang. Ditambah, model seperti ini juga memperkuat hubungan eksekutif dengan legislatif.
“Ada 3 catatan yang patut diperhatikan. Pertama, struktur politik lokal di Indonesia belum benar-benar terpisah dari politik nasional. Kedua, dominasi parpol telah menutup akses masuk ke bursa pencalonan dan ketiga kondisi kapasitas pemilih dengan segala kompleksitasnya masih menjadi problem serius,” tuturnya kepada Inilah.com, Jumat (4/7/2025).
Tentu wacana ini masih membutuhkan diskusi panjang dengan seluruh stakeholder. Tapi torehan kinerja para pejabat hasil pemilihan langsung, patut juga dipertimbangkan. Contohnya DPR. Sepanjang periode 2009-2014, parlemen hanya menghasilkan 125 RUU yang disahkan jadi UU dari target 247 RUU. Di periode berikutnya, dari target jangka menengah 189 RUU hanya menghasilkan 84 RUU, dan terakhir di periode lalu, dari 225 RUU target hanya terealisasi 48.
Di level kepala daerah juga tak jauh berbeda, acap kali program pembangunan melenceng eksekusinya. Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) pada Agustus 2024 pernah menyindir kepala daerah yang tidak menjalankan program pembangunan sesuai dengan arahan pemerintah pusat.
Jokowi lantas memberi contoh, program pembangunan waduk dan saluran irigasi primer dikerjakan oleh pemerintah pusat, tapi pemda tak melanjutkan jalur irigasi sekundernya. Kemudian, ketika pemerintah pusat membangun pelabuhan, pemda juga abai soal pembangunan akses jalan.
Putusan mengenai pemisahan pemilu memang sudah final dan mengikat, tapi bukan berarti tidak bisa dibahas secara bijak. Dalam negara hukum, jalan keluar selalu ada melalui mekanisme politik dan legislasi. DPR dan pemerintah mesti duduk bersama menyusun regulasi baru, yang tidak hanya patuh pada putusan MK, tapi juga setia pada UUD 1945. Sebab yang sedang diuji bukan hanya sistem pemilu, melainkan juga komitmen terhadap cita-cita reformasi. [Rez/Reyhaanah/Diana]