Obesitas jadi Masalah Kesehatan Paling Mendesak di Indonesia

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes RI Dr. Eva Susanti, S.Kp., M.Kes., menyampaikan menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018,  prevalensi obesitas di kalangan orang dewasa Indonesia meningkat dari 19,1 persen pada 2007 menjadi 35,4 persen pada 2018, menunjukkan bahwa obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling mendesak di Indonesia.

“Peningkatan ini kemungkinan disebabkan oleh dua faktor, stigma mengenai obesitas dan ketidaksadaran akan tingkat keseriusan kondisi obesitas. Faktanya, obesitas dapat menyebabkan komplikasi, seperti hiperglikemia, diabetes tipe-2, dan penyakit kardiovaskular,” kata Eva Susanti di Jakarta, Sabtu (18/03/2023).

Obesitas juga bisa menyebabkan kematian. Menurut penelitian, setiap 5 unit indeks massa tubuh (IMT) di atas 25kg/m2 dapat meningkatkan risiko kematian sebesar 30 persen. Obesitas juga bertanggung jawab atas 4,7 juta kematian dini setiap tahunnya.

Untuk itu, tindakan nyata diperlukan untuk mencegah beban pada sistem kesehatan dan biaya sosial ekonomi yang disebabkan obesitas.

Bertepatan dengan World Obesity Day pada setiap bulan Maret, Kementerian Kesehatan dan Novo Nordisk Indonesia mengajak semua pihak untuk mengambil peran dan meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat akan obesitas dan mengambil aksi nyata untuk mengubah persepsi buruk dan mendorong perubahan dalam penanganan obesitas.

“Mengubah persepsi negatif mengenai penyakit tersebut karena stigma yang ada membuat masyarakat beranggapan bahwa obesitas bukanlah penyakit, namun kegagalan pribadi, walaupun fakta mengatakan bahwa faktor genetik atau keturunan berkontribusi pada 40-70 persen kasus obesitas,” paparnya.

Stigma ini tentu memengaruhi kesehatan mental dan fisik pasien, dan dapat menghentikan mereka dalam mencari perawatan medis yang diperlukan.

Berbicara mengenai rendahnya kesadaran akan keseriusan obesitas, studi terbaru mengungkapkan bahwa prevalensi obesitas di Indonesia tidak disadari ketika dinilai menggunakan batas IMT saat ini (obesitas ≥ 27,0), hal ini menyebabkan walaupun ada peningkatan kasus penyakit kronis yang berkaitan dengan obesitas, prevalensi obesitas di Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara maju.

“Kami telah merilis publikasi yang menyarankan untuk merevisi nilai batas IMT ≥25 kg/m2, ambang batas ini mungkin lebih tepat untuk mendefinisikan obesitas pada populasi orang dewasa di Indonesia. Kami juga menyarakan untuk menambahkan Edmonton Obesity Staging System (EOSS) ke dalam klasifikasi antropometri untuk evaluasi klinis obesitas yang lebih baik,” kata Ketua Bidang Organisasi Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) dr. Dicky L. Tahapary, Sp.PD-KEMD, Ph.D.

Edmonton Obesity Staging System adalah sistem analisa yang mencakup faktor metabolik, fisik, psikologis dan evaluasi klinis untuk memberikan opsi intervensi obesitas yang terbaik.

Sistem ini mengklasifikasikan obesitas ke dalam 5 kategori (0–4 tingkatan), tingkat 0 menunjukkan tidak ada faktor risiko terkait obesitas atau gangguan kesehatan apa pun, dan tingkat 4 menunjukkan kecacatan parah akibat penyakit kronis terkait obesitas.

Selain itu, batas lingkar pinggang yang lebih rendah dari standar WHO harus diterapkan di Indonesia.

“Penting bagi kita untuk mengedukasi masyarakat bagaimana memahami dan melakukan pengukuran lingkar pinggang sendiri,” tambah dr. Dicky.

Dokter Dicky menyimpulkan bahwa temuan tersebut mendorong revisi batas optimal untuk pencegahan dini dan pengendalian obesitas.

Exit mobile version