Orang Indonesia Ternyata Masih Ragu Beli Mobil Listrik, Apa Alasannya?


Pangsa pasar mobil listrik di Indonesia memang merangkak naik, dari 1,7 persen pada 2023 menjadi 5 persen di tahun lalu. Namun, mobil berbahan bakar bensin alias Internal Combustion Engine (ICE) tetap merajai penjualan dan membanjiri jalanan Tanah Air.

Studi terbaru dari Populix bertajuk ‘Electric Vehicles in Indonesia: Consumer Insights and Market Dynamics’ yang dirilis Juli 2025 mengungkap alasan di balik keraguan masyarakat. Ketiadaan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang merata menjadi hambatan utama. SPKLU saat ini masih terpusat di Pulau Jawa.

“Keberadaan SPKLU ini barrier utama kenapa responden tidak mau membeli mobil listrik,” kata Associate Head of Research for Automotive Populix Susan Adi Putra, dalam diskusi Populix x Forwot Outlook di Jakarta, baru-baru ini.

Selain itu, beberapa faktor lain turut menghambat niat beli mobil listrik:

– Bengkel Enggan Perbaiki (56 persen): Mayoritas responden mengeluhkan tidak semua bengkel menerima perbaikan mobil listrik, bahkan untuk kerusakan non-kelistrikan.

– Lokasi Pengisian Terbatas (53 persen): Sulitnya menemukan lokasi pengisian ulang baterai yang dekat dan memadai menjadi poin keberatan.

– Jarak Tempuh Pendek (52 persen): Kapasitas jarak tempuh per pengisian baterai yang dianggap kecil juga jadi pertimbangan.

– Harga Lebih Tinggi (47 persen): Harga jual mobil listrik yang masih relatif mahal menjadi ganjalan bagi sebagian calon pembeli.

– Waktu Pengisian Lama (43 persen): Proses pengisian baterai yang memakan waktu lama turut menjadi faktor penghambat.

Faktor-faktor lain yang tak kalah penting adalah subsidi pemerintah yang dianggap kecil (29 persen), jaminan keselamatan yang kurang (26 persen), model yang dianggap serupa dengan kendaraan lain (24 persen), serta kesulitan dalam mengelola registrasi kendaraan (9 persen).

“Karena mobil listrik ada batas jarak dan kecepatan, ini menjadi perhatian bagi mereka kenapa tidak membeli,” jelas Adi Putra.

Di Indonesia, kendaraan listrik memang belum menjadi pilihan utama. Keterjangkauan menjadi kunci. Tak heran, merek-merek China mendominasi pasar, terutama di Pulau Jawa, dan kerap menjadi ‘standar’ pilihan.

Sementara itu, merek Jepang dan Eropa, yang dikenal dengan harga lebih tinggi, menghadapi persaingan ketat lantaran biaya yang membengkak dan fitur-fitur yang belum begitu familiar di telinga konsumen.