Paradigma IPK Menyulut Ambisi dan Krisis Etika Mahasiswa


Anggapan tentang kepintaran di tingkat perguruan tinggi sering dikaitkan dengan mahasiswa yang mampu meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) di atas 3,50 atau menyandang gelar cum laude. Pandangan ini telah menjadi standar yang umum dan dijadikan acuan oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia. Namun, faktanya, IPK tidak selalu mencerminkan kecakapan mahasiswa. Standar yang telah berkembang di masyarakat ini hanyalah sebuah asumsi yang tidak sepenuhnya kredibel. IPK hanyalah salah satu indikator untuk menilai kecakapan mahasiswa. Akan tetapi, mayoritas mahasiswa merasa terikat pada standar yang dianggap penting ini.

Selain mengetahui dan memahami secara konseptual untuk mendapatkan nilai kognitif, kecakapan juga diukur oleh kompetensi mahasiswa dalam mengimplementasikan, menginstruksikan, dan mengembangkan konsep yang sudah dikuasai. Pikiran mahasiswa sudah terpengaruh untuk memprioritaskan nilai sebagai hasil utama dalam menuntut ilmu dan mengesampingkan pemahaman. Nilai dipandang sebagai angka kepandaian dan kepuasan yang dipercaya mampu memberikan kebermanfaatan untuk mendukung aktivitas mahasiswa di masa depan. Jika dipertimbangkan, anggapan tersebut tidak salah, tetapi respons mahasiswa terlalu berlebihan dalam menanggapi hal tersebut. Permasalahan mengenai ambisi mahasiswa terhadap IPK dibanding kompetensi memiliki dasar penyebabnya.

Tuntutan Menjadi Konsekuensi Kewajiban

Standar pintar yang dibuktikan dengan nilai tinggi menjadi sebuah tuntutan bagi mahasiswa. Tuntutan tersebut muncul dari faktor internal, seperti kehendak orang tua. Mahasiswa merasa khawatir jika tidak bisa memenuhi standar keluarga. Beberapa orang berpikir bahwa nilai tinggi merupakan konsekuensi dari mahasiswa yang seharusnya dipenuhi. Hal tersebut memicu terjadinya stres akademik yang berujung pada keegoisan diri sendiri untuk mengikuti standar orang lain.

Pernyataan “Nilai Adalah Segalanya” memberikan dorongan kepada mahasiswa untuk berusaha lebih keras demi mendapatkan angka yang diharapkan. Pernyataan tersebut memunculkan dua perspektif yang berbeda, yaitu positif dan negatif. Sisi positif mengatakan bahwa standar pada nilai mampu memberikan motivasi dan semangat kepada mahasiswa untuk mengupayakan kemampuan intelektual. Namun, sisi negatif menghasut mahasiswa untuk membenarkan segala cara yang melanggar integritas demi mencapai nilai terbaik.

Ambisi Berdampak Terhadap Psikis Mahasiswa

Nilai turut memberikan pengaruh terhadap psikis mahasiswa. Nilai tinggi dianggap sebagai sumber kebahagiaan yang jika tidak mendapatkannya dapat mengakibatkan kegelisahan dan menurunnya rasa percaya diri. Di sisi lain, nilai rendah dianggap sebagai kegagalan yang sia-sia dan tidak bermakna. Mahasiswa akan dengan mudah melupakan proses studi yang sudah dilalui. Berbagai anggapan dan dugaan terkait nilai dalam bidang pendidikan menciptakan sebuah ambisi yang tidak terkendali.

Mahasiswa merupakan sekelompok manusia yang memiliki tekad dan target berkobar ketika menginginkan sesuatu yang menjadi hal penting dalam hidupnya. Keinginan berhubungan dengan konasi yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai bagian dari mental yang berkaitan dengan usaha untuk menjangkau keberhasilan. Konasi menjadi sebuah dorongan dan kekuatan yang bersumber dari diri mahasiswa, termasuk memunculkan motif untuk melakukan tindakan tertentu. Keinginan yang muncul dalam diri mahasiswa adalah mendapatkan nilai sempurna, bahkan sampai rela melakukan kecurangan dan ketidakjujuran. Misalnya, menyontek atau membayar kepada orang yang dianggap lebih pintar dan mampu mengerjakan tugas-tugas kuliah, istilahnya joki.

Kejujuran Selalu Menunjukkan Kebenaran

Ambisi yang ada pada diri mahasiswa tidak patut dinormalisasikan jika melibatkan cara-cara kotor dan tidak terpuji. Nilai merupakan angka yang sepantasnya murni dari kemampuan mahasiswa dengan menjunjung tinggi etika dalam berilmu. Banyak ditemukan kasus mahasiswa yang memiliki IPK tinggi, tetapi tidak sebanding dengan kualitas dari segi kognitif, afektif, dan psikomotorik. IPK merupakan angka yang harus bisa dipertanggungjawabkan oleh setiap mahasiswa. Mengingat banyak persoalan yang kontroversial, mendapatkan IPK tinggi menjadi hal biasa karena yang istimewa adalah usaha dan sportivitas. Perbedaan antara kejujuran dan kebohongan tidak dapat dihindari. Sesuatu yang didapatkan dengan cara buruk tidak akan pernah setara dengan sesuatu yang didapatkan dengan cara baik. Ilmu merupakan anugerah Tuhan yang patut diupayakan dan dinikmati bagi orang-orang yang berhak atas usaha dirinya sendiri.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, persentase jumlah pengangguran di jenjang universitas sebesar 11,28%. Pada tahun 2023, persentase pengangguran masih di angka 10,03%, yang artinya tingkat pengangguran di universitas mengalami kenaikan sebesar 1,25%. Salah satu penyebab pengangguran di kalangan universitas adalah ketidaksesuaian kompetensi mahasiswa dengan kualifikasi profesi. Mendapatkan IPK tinggi bukan tujuan utama; pendidikan merupakan proses mendapatkan ilmu dengan harapan hasil yang lebih luas dari sekadar angka.

Angka Simbol Penghargaan

Selain memunculkan rasa ambisi yang berlebih, IPK juga menjadi ajang kompetisi. Kondisi tersebut mampu menjadi pemicu hubungan toxic di lingkungan perkuliahan, di mana terjadi persaingan untuk saling membuktikan dan memvalidasi diri sendiri menjadi yang terbaik. Selain kompetisi, hubungan toxic juga muncul dari perlakuan mahasiswa yang sering membuat opini yang meremehkan dan perlakuan terbatas kepada mahasiswa lain yang mendapatkan nilai rendah. Nilai tinggi merupakan hasil usaha yang perlu diapresiasi dan dibanggakan, tetapi dengan syarat hasil usaha sendiri karena untuk mendapatkan sesuatu yang terbaik perlu pengorbanan dan perjuangan. Lebih baik menikmati nilai manis upaya sendiri dibandingkan menikmati nilai hampa hasil suap upaya orang lain. Nilai yang didapatkan sesuai dengan kemampuan bisa digunakan untuk mengukur sejauh mana pengetahuan serta bahan evaluasi untuk memperbaiki kesalahan. Ketidakjujuran demi validitas dan penghormatan orang lain adalah kerusakan moral yang seharusnya dilenyapkan.

Mahasiswa yang berorientasi hanya kepada nilai disebabkan oleh tuntutan dan standar yang bermunculan dari lingkungan keluarga maupun masyarakat. Tanggung jawab mahasiswa dalam dunia pendidikan memiliki kedudukan yang tinggi, di mana mereka diharuskan untuk mempelajari dan menguasai materi pembelajaran dalam waktu yang relatif singkat. Tidak semua mahasiswa mampu mempelajari banyak hal dalam durasi waktu yang sebentar, mengingat kesibukannya yang tidak hanya di kampus saja. Mahasiswa rentan terkena gangguan yang dipicu oleh situasi yang terasa monoton, kompleksitas tugas kuliah, aturan yang mengekang, beban menjadi harapan keluarga yang bertentangan dengan keinginan, tidak percaya diri, kesepian, rasa tidak dihargai, dan diabaikan oleh orang lain.

Emosi dan pikiran mahasiswa masih sangat rentan dan mudah terhasut, sehingga mereka akan mudah melakukan tindakan tanpa berpikir jangka panjang. Harapan yang ditujukan kepada mahasiswa tidak seimbang dengan minat dan kemauan dalam menuntut ilmu, sehingga sering kali muncul perlakuan curang untuk tetap memenuhi standar dan tuntutan yang berlaku. Mendapatkan nilai tinggi memang sulit, tetapi bukan berarti mustahil untuk dicapai. Ilmu memiliki tingkatan yang lebih tinggi daripada nilai. Tidak semua yang bernilai tinggi memiliki kualitas yang tinggi pula. Angka bukan menjadi satu-satunya kemenangan yang harus didapatkan. Kemenangan akan datang kepada manusia yang mampu mengoptimalkan akal dan mengupayakan jalan tanpa menodai dirinya sendiri.