Pemisahan Pemilu dalam Bingkai Konstitusi


Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah menetapkan arah baru bagi praktik demokrasi elektoral di Indonesia. Pemilu nasional dan pemilu lokal diputuskan tidak lagi dilaksanakan secara serentak penuh mulai tahun 2029. 

Pemilu Presiden/Wakil Presiden, DPR, dan DPD akan berjalan di jalur tersendiri, sementara pemilihan kepala daerah dan anggota DPRD akan digelar paling cepat dua tahun dan paling lama dua setengah tahun setelahnya.

Putusan ini memantik diskursus luas dari berbagai sisi: hukum, politik, hingga teknis administrasi kepemiluan. Sebagaimana lazim dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi bukan hanya alat koreksi norma, melainkan juga sarana pembentukan tafsir konstitusional yang kontekstual dan progresif.

Konstitusionalitas: Pemilu Tak Harus Serentak

Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Ayat (2) menyebutkan bahwa pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD. Namun, tidak ada satu pun ketentuan yang mewajibkan semua pemilihan dilakukan pada hari yang sama.

Mahkamah menilai pelaksanaan lima kotak suara dalam satu hari justru mengganggu kualitas pemilihan, efektivitas penyelenggaraan, serta kapasitas partisipasi pemilih. Terbukti, Pemilu 2019 menimbulkan beban kerja luar biasa bagi penyelenggara, bahkan menelan korban jiwa.

Lebih dari itu, kampanye dan perhatian publik untuk pemilihan lokal sering kali tersisih oleh dominasi isu nasional. Dengan demikian, pemisahan pemilu justru merupakan penyesuaian yang mendukung asas keterwakilan, keadilan elektoral, dan pemulihan kualitas demokrasi lokal.

Legitimasi: Kedaulatan Rakyat Harus Dijaga

Dari sisi teori hukum tata negara, legitimasi sistem pemilu bergantung pada kemampuannya menyediakan ruang deliberasi yang cukup bagi pemilih. Dalam praktik lima kotak sekaligus, perhatian pemilih kerap tersita pada capres, sementara calon DPRD terlupakan. Padahal kebijakan yang langsung menyentuh kehidupan masyarakat—jalan rusak, air bersih, pendidikan—seringkali menjadi wewenang legislatif dan eksekutif di tingkat lokal.

Maka, memisahkan pemilu bukan langkah mundur, melainkan penguatan sistem representatif. Rakyat diberi waktu untuk mencermati calon di level lokal, tanpa bayang-bayang narasi elite nasional. Ini bukan hanya soal efisiensi teknis, tetapi soal memperbaiki hubungan antara rakyat dan wakilnya.

Konsekuensi teknis tentu ada, termasuk soal penyesuaian masa jabatan dan regulasi transisi. Namun, selama dilandasi norma hukum yang adil dan terbuka terhadap pengawasan publik, legitimasi konstitusional tetap terjaga.

Transisi dan Integrasi: Menjaga Orkestrasi Demokrasi

Salah satu tantangan utama adalah masa transisi. Jika pemilu lokal baru digelar tahun 2031, maka masa jabatan DPRD hasil Pemilu 2024 akan berakhir tanpa pengganti. Tidak seperti kepala daerah yang bisa diisi oleh penjabat, tidak ada mekanisme penjabat legislatif dalam hukum saat ini.

Solusinya adalah perpanjangan masa jabatan DPRD. Namun hal ini memerlukan dasar hukum yang jelas dan pembatasan yang ketat. Jangan sampai perpanjangan kekuasaan justru menjadi preseden buruk dalam demokrasi.

Pemilu nasional dan lokal memang akan berjalan terpisah secara waktu. Namun, keduanya tetap merupakan satu kesatuan dalam sistem demokrasi terpadu. Pemisahan ini justru bisa memperkuat karakter presidensialisme. Presiden tak lagi disandera oleh konfigurasi legislatif yang terbentuk dari pengaruh lokal. Sebaliknya, kepala daerah bisa mengembangkan legitimasi sendiri, tanpa ketergantungan pada tren politik pusat.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini menunjukkan bahwa konstitusi bukan teks mati. Ia adalah dokumen hidup yang harus ditafsirkan secara adaptif agar tetap relevan. Tugas legislator adalah merancang regulasi turunan yang komprehensif. Tugas partai politik adalah mempersiapkan strategi dan kaderisasi untuk dua siklus pemilu yang berbeda. Tugas publik adalah mengawal agar dalam setiap perubahan, semangat kedaulatan rakyat tetap menjadi pusat orientasi.

Karena dalam demokrasi, pemilu bukan tujuan akhir. Ia adalah sarana untuk memastikan bahwa kekuasaan tetap berada di tangan rakyat yang sadar, kritis, dan berdaulat.