Pengamat UI: Brain Rot Bukan Salah TikTok, tapi Pola Konsumsi yang Rusak Otak


Fenomena brain rot yang kini ramai diperbincangkan sebagai efek negatif dari konsumsi konten digital berlebihan mendapat sorotan dari akademisi Universitas Indonesia (UI). Pengamat sosial UI, Rissalwan Habdy Lubis, menilai bahwa penyebab utama kerusakan daya pikir anak muda bukan terletak pada platform seperti TikTok, melainkan pada pola konsumsi yang tidak terkendali.

“Sebetulnya yang salah bukan kontennya, tapi pola kita mengonsumsi konten itu,” kata Rissalwan kepada Inilah.com, Selasa (1/7/2025). Ia menjelaskan, video pendek bukanlah sesuatu yang sepenuhnya negatif, namun bisa berdampak buruk bila dikonsumsi secara berlebihan.

Menurutnya, istilah brain rot yang belakangan mencuat dan bahkan ditetapkan sebagai Word of the Year 2024 oleh Oxford University Press, perlu dilihat dari dua sisi: pasokan konten (supply) dan pola permintaan (demand) dari pengguna.

“Konten-konten yang dikatakan brain rot itu sebetulnya tidak ditujukan untuk itu. Tapi sekali lagi, algoritmanya membuat konsumennya tergantung,” ujarnya.

Rissalwan mengibaratkan konsumsi konten digital seperti pola makan. Sesuatu yang secara umum netral, bisa berbalik menjadi bahaya jika dikonsumsi tanpa kendali.

“Kalau makan dua bakul beras atau minum dua galon air kan juga bisa bikin mual dan membahayakan tubuh. Begitu juga otak saat terpapar konten terus-menerus tanpa jeda,” jelasnya.

Ia menilai, masalah utama yang muncul adalah ketergantungan—yang berujung pada penurunan kemampuan berpikir jangka panjang, kesulitan berkonsentrasi, dan dampak psikologis lainnya.

“Brain rot itu adiktif. Ketika otak hanya terbiasa dengan video-video pendek, kita jadi sulit fokus dan berpikir panjang,” ucapnya.

Rissalwan juga menyoroti bahaya penggunaan gadget di usia dini. Ia mengingatkan bahwa anak-anak sebaiknya tidak diperkenalkan pada layar digital terlalu awal karena risiko terhadap perkembangan kognitif mereka.

“Untuk anak-anak, sebaiknya jangan dialihkan dengan teknologi. Itu berbahaya. Membuat otak tergantung pada hiburan, bukan pengetahuan,” katanya.

Lebih lanjut, ia mengajak masyarakat untuk tidak serta-merta menyalahkan platform seperti TikTok atau Instagram. Menurutnya, solusinya bukan dengan menghentikan konten, melainkan dengan memperbaiki cara masyarakat mengakses dan mengatur waktu penggunaan media sosial.

“Saya juga pakai media sosial untuk cari ide. Banyak hal kreatif bisa kita ambil. Tapi jangan berjam-jam nonton terus. Cukup lima menit, maksimal sepuluh menit,” tuturnya.

Terakhir, ia mengingatkan bahwa algoritma media sosial secara otomatis menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan minat pengguna. Bila tidak dikendalikan, paparan konten seragam dan menghibur tanpa jeda bisa menjebak pengguna dalam siklus yang sulit dihentikan.

“Kalau dibiarkan, lama-lama kita bisa terlena dan akhirnya mengalami brain rot—pembusukan otak akibat ketergantungan digital,” pungkasnya.