News

Penunjukkan Andika Perkasa Penuh Polemik

Pegiat HAM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan  mempertanyakan kriteria Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memilih Jenderal Andika Perkasa untuk menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI.

“Langkah Presiden RI Joko Widodo yang mengusulkan Jenderal Andika Perkasa sebagai calon Panglima TNI mengandung tiga permasalahan serius,” ujar peniliti Imparsial Hussein Ahmad, Jumat (5/11/2021).

Hussein menyampaikan tiga masalah serius dengan diusulkannya Jenderal Andika Perkasa sebagai Panglima TNI. Pertama, Presiden RI telah mengesampingkan pola rotasi matra yang berlaku di era Reformasi dalam regenerasi Panglima TNI sebagaimana norma yang berlaku pada Pasal 13 ayat (4) dalam Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004. 

Kedua, Presiden RI telah mengajukan nama yang rekam jejaknya masih perlu pengujian oleh lembaga negara yang independen di bidang hukum, HAM, dan pemberantasan korupsi. Dalam hal ini,  Komnas HAM dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketiga, perkembangan ancaman keamanan kawasan yang maritim sentris dewasa ini membutuhkan perhatian yang lebih besar di sektor kelautan.

“Jadi usulan nama KSAD Andika Perkasa sebagai Panglima TNI yang baru merupakan pilihan yang keliru karena mengabaikan pola kebijakan berbasis pendekatan rotasi. Jika merujuk pada Pasal 13 ayat (4) UU TNI, maka jabatan Panglima TNI dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan,” paparnya.

Hussein menegaskan, penerapan pola rotasi akan menumbuhkan rasa kesetaraan antar-matra, kesimbangan orientasi pembangunan postur TNI, serta kesempatan yang sama bagi perwira tinggi TNI, tanpa membedakan asal matra. Hal ini juga dapat membawa dampak positif berupa penguatan soliditas internal TNI. 

“Selain itu, pola rotasi penting dilakukan guna meredam kecemburuan yang sangat mungkin terjadi di antara prajurit akibat adanya kesan bahwa Presiden RI menganak-emaskan satu matra dalam tubuh TNI, seperti di masa Orde Baru,” jelasnya.

“Pola rotasi jabatan Panglima TNI yang telah dimulai sejak awal Reformasi ini tentu perlu untuk dipertahankan, apalagi hal tersebut juga telah diamanatkan dalam UU TNI,” tambahnya.

Hussein menyarankan harusnya Presiden Jokowi tidak mengabaikan pola pergantian Panglima TNI berbasis rotasi matra. Mengabaikan pendekatan ini dapat memunculkan tanda tanya besar apakah Presiden RI lebih mengutamakan faktor politik kedekatan hubungan yang subyektif daripada memakai pendekatan profesional dan substantif. 

“Presiden RI harus betul-betul memastikan calon Panglima TNI yang diusulkannya tidak memiliki catatan buruk, khususnya terkait pelanggaran HAM,” paparnya.

Adanya pemberitaan yang mengaitkan nama Andika Perkasa dalam kasus pembunuhan tokoh Papua Theys Hiyo Eluay, sambung Hussein, harus ditanggapi secara serius. Sudah seharusnya Presiden RI melakukan penggalian informasi secara komprehensif terhadap seluruh kandidat dengan melibatkan lembaga-lembaga kredibel guna memperkuat pertimbangan Presiden RI dalam mengambil keputusan yang tepat. 

“Dengan diajukannya Jenderal Andika Perkasa sebagai calon tunggal Panglima TNI, menunjukkan bahwa Presiden RI tidak memiliki komitmen terhadap Penegakan HAM secara serius sebagaimana komitmen politiknya,” tandasnya.

Hussein juga mengungkapkan, adanya laporan yang menyebutkan dugaan harta kekayaan KSAD Andika Perkasa dengan nilai yang fantastis harus segera diklarifikasi dan dijelaskan kepada publik. Sebagai prajurit yang tunduk pada Sapta Marga yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, adanya laporan kepemilikan kekayaan hingga berjumlah Rp 179,9 Miliar harus dijelaskan secara transparan dan akuntabel sehingga terang benderang. 

“Sehingga kami menilai penting untuk dilakukan audit harta kekayaan Andika Perkasa oleh KPK. Selama berkarir di Militer, Jendral Andika hanya melaporkan LHKPN pada Juni 2021. Artinya, selama 3 tahun menjadi KSAD belum pernah melapor LHKPN. Ini melanggar Pasal 4 ayat (3) Peraturan KPK No. 4 Tahun 2020, yang mewajibkan Jendral Andika untuk melapor LHKPN,” tutup dia. 

Diketahui selain Imparsial, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) di antaranya, KontraS, LBH Jakarta, HRWG, Setara Institute, Public Virtue Research Institute, Amnesty International Indonesia, Inisiatif Untuk Demokrasi dan Keamanan (IDeKa), Indonesia Corruption Watch (ICW), ELSAM, PBHI Nasional, LBHM, LBH Pers, ICJR. 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Willi Nafie

Jurnalis, setia melakukan perkara yang kecil untuk temukan hal yang besar
Back to top button