Perangkap Hobbesian dalam Perang Israel-Iran


Saling serang bersenjata antara Israel-Iran bukanlah sekadar gesekan geopolitik biasa dalam politik internasional. Itu mencerminkan kondisi klasik yang dijelaskan oleh filsuf politik Thomas Hobbes (1588–1679) sebagai state of nature (keadaan alamiah), yakni situasi di mana tidak ada otoritas tertinggi yang dipercayai dalam politik internasional yang mampu menjamin keamanan kolektif antarnegara. 

Akibatnya, masing-masing pihak merasa perlu bertindak secara sepihak demi mempertahankan kedaulatannya. Peristiwa seperti ini dikenal sebagai Hobbesian Trap (Perangkap Hobbesian), dan menjadi topik diskusi dalam pembahasan teori realisme dalam ilmu hubungan internasional.

Istilah Hobbesian Trap muncul dalam literatur hubungan internasional modern sebagai interpretasi terhadap siklus konflik dan ketidakpercayaan yang terjadi dalam sistem internasional yang anarkis. 

Konsep ini merujuk pada pemikiran Hobbes dalam bukunya Leviathan (1651), khususnya bagian tentang kondisi state of nature, di mana manusia hidup dalam ketakutan terhadap kekerasan dari sesama, sehingga cenderung menyerang terlebih dahulu demi mempertahankan diri. Meskipun Hobbes tidak pernah secara eksplisit menggunakan istilah ini, para ilmuwan hubungan internasional mengadopsi dan mengembangkannya untuk menjelaskan dinamika antarnegara dalam sistem tanpa otoritas pusat.

Gambaran Hobbesian Trap dapat ditemukan dalam berbagai konflik besar sepanjang sejarah modern, seperti Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, di mana kedua negara saling mencurigai niat satu sama lain dan terus meningkatkan kekuatan militer sebagai bentuk pertahanan yang justru memicu perlombaan senjata. 

Pola serupa juga terlihat dalam konflik India–Pakistan, yang ditandai dengan ketegangan permanen dan krisis berulang, terutama terkait isu Kashmir. Dalam Perang Rusia–Ukraina, ketakutan Rusia terhadap ekspansi NATO mendorong tindakan militer yang kemudian memperkuat ancaman dari Barat, menciptakan lingkaran kekerasan. Sementara itu, konflik bersenjata antara Israel dan Iran menunjukkan eskalasi berbasis ketidakpercayaan mendalam, di mana setiap tindakan pertahanan dibaca sebagai agresi, dan tidak ada ruang bagi perdamaian berkelanjutan. Keempat kasus ini mencerminkan dinamika khas Hobbesian Trap: rasa takut dan ketidakpercayaan yang terus memperpanjang konflik.

Bayang-bayang Ketakutan dan Kecurigaan Israel dan Iran

Israel dan Iran merefleksikan dinamika khas dari Hobbesian Trap. Keduanya dibayangi oleh rasa takut dan kecurigaan mendalam terhadap satu sama lain. Israel, misalnya, sering dipersepsikan oleh negara-negara Muslim di sekitarnya sebagai entitas yang merampas wilayah Palestina. 

Untuk mempertahankan eksistensinya di wilayah yang dikelilingi oleh negara-negara Arab, Israel sejak awal harus menghadapi serangan militer dari para tetangganya. Namun, di balik kemenangan militer, Israel terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan: terhadap negara-negara Arab yang secara geografis mengepungnya, terhadap kelompok perlawanan seperti Hamas, serta terhadap Iran, yang dianggap sebagai rival ideologis dan potensial ancaman nuklir.

Iran pun mengalami rasa takut dan ketidakpercayaan serupa. Sejak Revolusi 1979 menggulingkan Shah Reza Pahlavi—sekutu dekat AS dan Israel—pemerintahan Republik Islam merasa terancam oleh intervensi Amerika Serikat. 

Iran memandang AS sebagai aktor yang terus mencoba menggulingkan pemerintahannya, sehingga mendorong pengembangan program nuklir sebagai jaminan pertahanan. Ketegangan ini diperburuk oleh konflik sektarian, terutama karena Iran menganut Syiah sementara mayoritas negara Arab menganut Sunni. Iran juga membentuk jaringan proksi di kawasan seperti di Yaman, Suriah, dan Palestina.

Rasa takut yang menyelimuti kedua negara ini digambarkan Hobbes sebagai situasi bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua), di mana rasa tidak aman memicu tindakan pre-emptif dan menciptakan lingkaran aksi dan reaksi yang terus berulang. Dalam sistem internasional yang anarkis, ketidakamanan (insecurity) menjadi faktor utama yang memperpanjang konflik.

Selamat dari Perangkap Hobbesian

Untuk keluar dari Hobbesian Trap, negara atau aktor internasional harus menghentikan siklus ketakutan, kecurigaan, dan anarki yang memicu konflik berkepanjangan. Meski secara kelembagaan telah ada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), praktiknya lembaga ini kerap gagal menjadi penengah efektif, terutama ketika konflik melibatkan negara besar. 

Dewan Keamanan PBB terhambat oleh hak veto anggota tetap dan keberpihakan politik yang melemahkan efektivitas hukum internasional. Dalam situasi ini, logika kekuatan kembali menguat, menciptakan sistem yang semakin anarkis.

Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah mendorong reformasi keanggotaan Dewan Keamanan PBB. Komposisi lima negara anggota tetap merupakan warisan pasca-Perang Dunia II yang tidak lagi mencerminkan konfigurasi politik abad ke-21. Negara-negara berkembang dari Asia, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin telah lama mengkritik minimnya representasi mereka. Reformasi diperlukan, bukan hanya untuk meningkatkan legitimasi, tetapi juga mencerminkan keragaman geopolitik dan peradaban dunia.

Selain representasi geografis, dimensi keagamaan juga perlu diperhatikan, mengingat konflik seperti Israel–Iran sering melibatkan kelompok berbasis agama. Reformasi ini diharapkan mampu mengurangi ketimpangan kekuasaan global dan menciptakan mekanisme penengah yang lebih adil—jalan awal untuk membebaskan dunia dari jeratan Hobbesian Trap.