News

Perilaku Parpol Picu Keterwakilan Perempuan di Pemilu Tak Optimal

Tingkat keterwakilan perempuan dalam pemilu dinilai tak optimal. Persoalan ini dinilai terkait faktor struktural dan kultural.

“Kami melihat ada masalah partai politik dan juga soal kultural itu sendiri,” kata Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia Salabi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (30/3/2023).

Dia menjelaskan, terkait permasalahan struktural, hal itu merujuk penelitian Perludem yang mempertanyakan bagaimana metode pencalonan yang diterapkan oleh partai politik. Perilaku partai politik (parpol) yang tak menerapkan mekanisme tertentu saat merekrut perempuan untuk dicalonkan dalam pemilu menjadi pemicunya

“Ternyata ketika mereka mencalonkan perempuan, mereka asal comot. Untuk formalitas saja,” kata Amalia.

Selanjutnya, dari sisi kultural, Amalia mendapati pemilih perempuan memiliki antipati terhadap perempuan calon. Hal ini menyangkut ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik.

“Mereka melihat partai politik kualitasnya kurang baik, itu berdampak pada penolakan mereka terhadap perempuan calon,” kata Amalia.

Selain itu, dia menilai permasalahan kultural juga terletak pada representasi politisi perempuan di media.

Amalia menyebut, berdasarkan pantauan Perludem, stasiun televisi arus utama di Indonesia lebih banyak menyoroti politikus laki-laki. Kinerja pemimpin perempuan tidak sering dimuat.

Kondisi tersebut turut memengaruhi minimnya calon presiden dan calon wakil presiden perempuan di Indonesia.

Namun, Amalia menyatakan tren keterwakilan perempuan dalam pemilu menunjukkan peningkatan. Hal ini mengindikasikan perkembangan positif ke arah yang lebih baik.

“Sebenarnya trennya sudah lebih baik karena dalam sistem pemilu proporsional terbuka, memang trennya itu meningkat. Meskipun jumlahnya masih sedikit, baik itu dalam jumlah perempuan yang dicalonkan maupun perempuan yang terpilih terus meningkat,” ujar Amalia menegaskan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button