Israel, terutama Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, bersorak gembira ketika Presiden AS Donald Trump mengumumkan militer negaranya telah membom tiga fasilitas nuklir Iran, termasuk Fordow.
Diyakini menggunakan bom khusus GBU-43/B MOAB yang dijuluki ‘induk semua bom’ dan bisa meluluhlantakkan sasaran tersembunyi hingga 100 meter di bawah tanah, AS mungkin telah menghancurkan fasilitas nuklir Fordow, yang paling ingin dimusnahkan oleh Israel.
Trump mengancam Iran untuk tak membalas, tapi hanya beberapa jam dari serangan Sabtu (21/6/2025) jelang tengah malam itu, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Aragachim menyatakan bombardemen terhadap tiga fasilitas nuklir itu sebagai ‘pernyataan perang dari AS kepada Iran’.
“Dunia tak boleh lupa bahwa adalah Amerika Serikat, yang di tengah proses diplomasi, telah mengkhianati diplomasi dengan mendukung aksi-aksi agresif rezim pelaku genosida dan pelanggar hukum Israel,” kata Aragachim seperti dikutip luas oleh media massa global.
Iran, kata Aragachim, berhak melawan dengan kekuatan penuh setiap agresi AS dan kejahatan yang dilakukan rezim lalim mereka. Iran berhak membela diri dan membela kepentingan nasionalnya.
Pernyataan lebih eksplisit disampaikan oleh Duta Besar Iran di PBB, Ali Bagrein. Ia dengan tegas menyebut Iran akan membalas setimpal serangan AS itu dan menghentikan agresi oleh siapa pun, termasuk AS.
Langkah Trump itu sudah pasti disambut gembira oleh pemerintahan Benjamin Netanyahu dan kelompok-kelompok pro Israel dalam pemerintahan dan masyarakat AS.
Tapi tindakan ini juga sekaligus dikecam oleh bagian lain dalam masyarakat AS, dari masyarakat biasa, sampai pakar dan elite.
Mereka menilai Trump telah menjerumuskan AS dalam perang yang dipicu orang lain dan terjadi di wilayah orang lain. Ironisnya, Trump yang menolak penglibatan AS dalam perang Rusia-Ukraina, menyampaikan jualan politik antiperang yang membuatnya dua kali memenangkan Pemilu di AS.
Trump dinilai telah membuat perjudian sangat membahayakan, bukan saja bagi AS, tapi juga dunia.
Analis Carnegie Endowment for International Peace, Karim Sadjadpour, dalam postingannya di platform media sosial X menilai Trump naif beranggapan Iran yang dipojokkan oleh serangan militer akan manut guna mencapai kesepakatan diplomatik mengenai nuklirnya.
Dia justru khawatir Iran malah beranggapan sebaliknya. Buktinya, Menlu Aragachim dan Dubes Bagrein malah menyatakan bahwa Iran bertekad melancarkan perang habis-habisan.
“Serangan AS ini malah bisa membuka babak baru ketimbang mengakhiri perang AS-Iran yang sudah berlangsung 46 tahun,” kata Sadjadpour.
Kritik paling pedas dilontarkan oleh salah satu lawan politik Trump, Senator Bernie Sanders, yang menyebut Trump sangat tidak konstitusional.
“Satu-satunya entitas yang boleh menyatakan negara ini berperang adalah Kongres AS. Presiden AS tak punya hak ini,” kata Sanders di depan massa pendukungnya, tak lama setelah Trump mengumumkan klaim keberhasilannya membom tiga fasilitas nuklir Iran itu.
Sanders mengkritik cara otoriter Trump dalam mengambil kebijakan politik yang seharusnya tak boleh dia lakukan. Trump kerap dianggap melanggar konstitusi AS, termasuk melibatkan militer (Garda Nasional) dalam protes sipil di AS.
* * *
Pandangan Sanders itu merepresentasikan kecenderungan besar di AS saat ini menyangkut penglibatan AS dalam perang di luar negeri.
Jauh sebelum Trump menyerang Iran, sentimen antiperang di AS telah meluas.
Kini, Trump mungkin bakal menghadapi protes antiperang yang jauh lebih luas dan dahsyat ketimbang yang dihadapi Presiden Richard Nixon dan Presiden Lyndon Johnson pada 1960-an dan 1970-an ketika rakyat AS menentang Perang Vietnam.
Ironisnya, salah satu basis pendukung Trump adalah masyarakat antiperang AS yang jumlahnya tergolong signifikan.
Jika hal itu tak dikelola dengan baik oleh Trump, maka posisi politiknya terancam. Apalagi tahun depan AS akan menggelar Pemilu Sela yang dapat menghasilkan komposisi parlemen yang total beroposisi dengan Trump. Jika ini terjadi, maka skenario-skenario buruk bisa tercipta, termasuk pemakzulan.
Ancaman pemakzulan bahkan sudah dilontarkan wakil rakyat AS tak lama setelah Trump membom Iran. Salah satu tokoh yang mengancam pemakzulan itu adalah legislator Alexandria Ocasio-Cortez, yang sama dengan Bernie Sanders, menilai Trump inkonstitusional karena menyerang Iran tanpa otorisasi Kongres.
Ocasio-Cortez menganggap Trump telah melanggar konstitusi negara dan kewenangan Kongres dalam menyatakan perang.
Situasi itu membahayakan AS, selain bisa memasukkan kembali AS dalam siklus perang yang ironisnya berusaha dihentikan oleh Trump.
Tak sedikit kalangan AS yang mengkhawatirkan justru Iran akan makin nekat. Iran mungkin tidak lagi hanya menyerang Israel, tetapi juga kepentingan-kepentingan AS di Timur Tengah, termasuk puluhan pangkalan militer mereka di Arab Saudi, Oman, Irak, Bahrain, Qatar, Kuwait, dan Uni Emirat Arab.
Dan menteri luar negeri, dubes Iran di PBB, dan apalagi pimpinan militer Iran, sudah berikrar untuk tidak tunduk kepada diplomasi yang disertai ancaman dan agresi.
Apabila Iran memutuskan menyerang fasilitas-fasilitas militer AS di Timur Tengah, maka akibatnya fatal, karena itu sama artinya mengharuskan Iran masuk atau melintasi wilayah-wilayah negara-negara Arab di mana fasilitas militer AS itu berada. Jika ini terjadi, perang bisa meluas, dan bukan sebuah hal yang mustahil Perang Dunia III bisa meletus.
Saat ini saja, Iran melepaskan rudal-rudal mereka dengan melintasi wilayah udara Irak, Suriah dan Lebanon, karena tak mau melintasi sejumlah negara Teluk dan Yordania, yang selain menolak menjadi medan perang Iran-Israel, juga terikat hubungan keamanan dengan AS.
* * *
Hal membahayakan lain adalah jika tafsiran perang lebih dari sekadar alat perang, tetapi juga apa pun yang menjadi representasi nasional dari negara-negara yang berperang.
Itu artinya segala fasilitas sipil dan kegiatan sipil, termasuk perdagangan minyak, dianggap sah sebagai target perang.
Dalam kondisi ini, perang tidak cuma terjadi di wilayah Iran dan Israel, tapi juga tempat-tempat lain yang dianggap memiliki kaitan dengan pihak-pihak yang berperang. Dan itu termasuk Selat Hormuz yang dijepit Oman dan Iran.
Iran yang berpengalaman menghadap perang panjang dengan Irak dari 1980 sampai 1988, ditambah terbiasa menghadapi sanksi internasional yang bahkan AS melakukannya sejak 1984, bisa nekat menutup koridor-koridor perdagangan global, termasuk Selat Hormuz yang menjadi jalur untuk 30 persen perdagangan minyak dunia.
Bayangkan akibatnya terhadap sistem harga global dan stabilitas perekonomian dunia.
Tindakan nekat bisa terjadi, apalagi selama ini Iran merasa terus-terusan diakali dan dikhianati oleh AS dalam bungkus diplomasi untuk pembebasan sanksi internasional dengan imbalan pelucutan program nuklir.
Saat ini saja ada konsensus di bagian terbesar elite Iran bahwa apa pun yang mereka lakukan akan dianggap tidak pernah cukup oleh Barat, khususnya AS.
Ironisnya, pada saat bersamaan AS tak pernah mau mengoreksi tindakan-tindakan agresif Israel di Timur Tengah, termasuk menghancurkan Gaza.
Jauh sebelum Iran merangkul nuklir, Israel sudah sering menyerang negara-negara Timur Tengah karena tuduhan memiliki senjata nuklir, termasuk menyerang reaktor nuklir Osirak di Irak pada 1981.
Ironisnya, Israel tak pernah terbuka kepada dunia dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengenai senjata nuklirnya. Lebih tak adil lagi, Israel tidak menandatangani Pakta Anti Penyebaran Senjata Nuklir (NPT) yang justru ditandatangani oleh Iran dan 188 negara lain, termasuk Indonesia.
Dunia seharusnya adil, bahwa bukan hanya Iran yang harus dilucuti karena Israel juga harus dilucuti. Hal ini bahkan telah diutarakan banyak pemimpin dunia, salah satunya mantan presiden dan perdana menteri Rusia, Dmitry Medvedev.
Rangkaian hipokrasi dan standard ganda seperti ini membuat tindakan AS di Iran saat ini terlihat makin memuakkan di mata dunia.