Market

Perpadi: Penggilingan Kecil di Desa Banyak Tergusur Investor Besar


Tak hanya petani yang sulit hidup sejahtera karena kurang didukung pemerintah. Pemilik penggilingan padi kelas gurem di daerah pun senasib.

Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi), Sutarto Alimoeso mengeluhkan derasnya investasi pengilingan beras. Dampaknya, banyak penggilingan kecil di daerah tutup.

“Kita harap pemerintah segera membatasi investasi baru perusahaan penggilingan padi dan beras di dalam negeri. Sebab, sudah terlalu banyak,” kata Sutarto, Sabtu (24/2/2024).

Sutarto yang mantan Kepala Bulog (Kabulog), benar adanya. Dikutip dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020, terdapat 169.789 unit penggilingan padi. Turun dibandingkan 2012 yang mencapai 182.199 unit.

Disebutkan BPK, sebesar 95,06 dari penggilingan padi 2020 itu,  adalah berskala kecil. Atau sekitar 161.401 unit. Sedangkan yang berskala besar hanya 0,62 persen, atau setara 1.056 unit.

Kemampuan penggilingan skala kecil adalah kurang 1,5 ton beras per jam, sedangkan yang besar bisa mencapai 3 ton beras per jam.

“Sekarang banyak pelaku bisnis pemodal besar. Nah pelaku bisnis pemodal besar inilah yang menjadi penentu harga gabah di lapangan. Jadi harga gabah itu ditentukan oleh pelaku-pelaku yang memiliki modal besar,” kata Sutarto.  

Akibatnya, kata dia, penggilingan padi di desa-desa menjadi tak kebagian. “Nah itulah yang saya selalu mengusulkan kepada pemerintah. Janganlah membangun pabrik-pabrik beras baru, apalagi pabrik beras besar. Lebih-lebih kalau itu dananya adalah dana investasi asing,” kata Sutarto.

Menurut Sutarto, kondisi perberasan di dalam negeri kini sudah berubah. Dia mengungkapkan, harga beras atau gabah di lapangan kini tak lagi terpengaruh posisi stok pemerintah.

“Kalau dulu, terus terang, dengan pemerintah punya stok yang cukup banyak itu menjadi ukuran. Itu akan menjadi konsideran para pelaku bisnis di lapangan. Jadi kalau mau menaikkan harga itu berfikir kalau pemerintah punya stok yang banyak. Itu satu,” kata Sutarto.

Kedua, terangnya, kini pengusaha beras skala besar jadi penentu harga di lapangan.

Dia menuturkan, saat ini terjadi kisruh beras, mulai dari harganya yang terus menanjak naik, hingga kemudian sempat langka di ritel modern, bukan lah terjadi tiba-tiba.s kita bersama untuk memperbaikinya.

“Kemudian kita tahu bahwa rantai distribusi gabah dan beras ini memang menunjukkan bahwa sangat panjang bahkan ada mungkin.  Pak Mujib (Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Mujiburrohman) setidak-tidaknya mengatakan sedikit rumit begitu ya atau ruwet. Inilah yang seharusnya menjadi prioritas kita bersama untuk memperbaikinya,” pungkas Sutarto.

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button