Kanal

Perpustakaan Terbaik di Dunia

Malam itu, saya berjalan lunglai dari arah Masjidil Haram ke terminal Bab Ali, hendak pulang menuju hotel di kawasan Mahbas Jin. Seharian ini saya sudah berjalan kaki lebih dari 20 km. Meski tubuh lelah, tetapi hati dan pikiran rasanya segar dan lapang.

Saya baru saja menutup hari dengan shalat sunnah dan witir di pintu 90 Masjidil Haram, King Fahd Extension. Sepanjang jalan pulang, menjelang tengah malam, puluhan ribu orang masih hilir-mudik di area masjid. Saya menyusuri jalan dari halaman Zamzam Tower ke terowongan sisi kanan masjid.

Mungkin anda suka

Di dekat pintu keluar area sa’i, selepas jembatan Al-Nabi, saya melihat orang-orang berebut minum air zamzam. Pemandangan yang sebenarnya biasa tetapi selalu menyajikan adegan luar biasa yang berbeda-beda. Di tengah arus pejalan kaki, satu-dua petugas kebersihan masjid memandang saya, seolah memberi isyarat ‘adakah hadiah untuk saya?’. Saya merogoh saku dan memberi mereka masing-masing 5 riyal. “Jazakallah khair,” balas mereka.

Tinggal 200-an meter lagi saya tiba di terminal Bab Ali, di sebelah kanan jalan. Tinggal naik bus sekali, 5 menit sampai di pemondokan. Saya sudah membayangkan akan mandi air hangat dulu, lalu merebahkan badan di kasur. Besok subuh beraktivitas lagi untuk bertugas. Saya berusaha mempercepat langkah, meski kecil-kecil. Ingin segera sampai.

Namun, tiba-tiba langkah saya terhenti. Di depan mata, arah barat laut dari tempat saya berdiri, saya melihat sebuah bangunan sederhana. Tertulis di depan bangunan itu, ‘Maktabah Makkah Al-Mukaramah’, Perpustakaan Mekkah al-Mukaramah. Di belakang bangunan itu sebuah bukit batu. Malam itu langit begitu terang. Cahaya lampu berwarna tembaga membuat suasana menjadi syahdu. Detak jantung saya tiba-tiba melambat. Entah bagaimana suasana haru menyentak.

Benar. Inilah rumah tempat baginda Nabi Muhammad SAW dilahirkan. ‘Maulidurrasul’. Rumah di mana Sayyidah Aminah tinggal dan mendapatkan cahaya paling terang yang pernah ada di alam semesta, Cahaya Muhammad. Pada malam 12 Rabiul Awal 570 M, cahaya itu turun di rumah ini, melahirkan manusia terbaik di dunia. Penghulu para nabi dan rasul. Kekasih Sang Pemilik Alam Semesta.

Malam itu, entah bagaimana saya membayangkan cahaya itu turun. Melintasi bukit berbatu yang saya lihat itu. Membelah langit yang sama yang saya tatap itu. Memasuki bangunan yang kini menjadi sebuah ‘perpustakaan’. Perpustakaan terbaik di dunia, yang darinya kita menemukan orang yang pembendaharaan cinta, kasih sayang, pengetahuan, dan ilmu yang tak tertandingi siapapun dan apapun saja.

“Rohatil athyaru tasydu, fi layalil maulidi. Wa bariiqun-nuri yabdu, min ma’ani Ahmadi… Fi layalil maulidi, fi layalil maulidi.” Syair itu tiba-tiba terngiang di kepala saya: “Burung-burung pun berkicauan teramat bahagia di malam kelahiran Baginda Nabi. Dan kilatan cahaya terpancar menggambarkan sifat-sifat yang paling terpuji, yakni sifat Nabi Muhammad SAW. Di malam kelahirannya. Di malam kelahirannya.”

Di malam kelahiran Baginda Nabi, saya jadi bisa membayangkan seberapa jauh jarak yang ditempuh Abdul Muthalib ketika berlari dari ka’bah setelah mendengar kabar bahagia itu. Jarak yang tadi juga saya tempuh melalui langkah-langkah kaki saya yang hina.

Malam itu, Abdul Muthalib juga melihat cahaya yang sangat terang benderang di langit Mekkah. Dari atas ka’bah ia melihat cahaya itu mengarah ke rumah Aminah, puterinya yang tercinta yang tengah hamil besar. Abdul Muthalib pun bergegas menuju rumah Aminah. Di sepanjang jalan ia melihat banyak keajaiban, berhala-berhala yang roboh diterpa angin, sumur zamzam yang meluap-luap.

Setibanya di rumah Aminah, Abdul Muthalib masih takjub melihat cahaya yang semula ia lihat di langit kini berpendaran dari kamar puterinya. Bibirnya gemetar. “Ternyata benar kabar itu…” Bisiknya. Ia pun melangkahkan kaki memasuki rumah mulia itu.

Di depan matanya, Aminah terlihat sangat bahagia menggendong seorang bayi laki-laki, senyum tak berhenti mengembang di wajahnya, “Lahirnya bayi ini membuat seluruh dunia seolah bagaikan lautan cahaya dan aku sedang berenang di dalamnya!” Kata Sayyidah Aminah.

“Berita bahagia, wahai Abdul Muthalib! Engkau mempunyai seorang cucu laki-laki yang rupawan! Belum pernah ada bayi seperti dirinya di muka bumi ini,” kata seseorang di rumah itu.

Bayi itu tertidur dalam selimut putih dengan wajah yang tenang. Wajahnya memancarkan cahaya. Dengan tangan gemetar, Abdul Muthalib mengambil alih bayi itu dan memeluknya.

Betapa bahagia Abdul Muthalib. Matanya berbinar, air mata mengambang di pelupuknya. “Mari kita beri nama bayi ini Muhammad,” katanya, “Semoga cucuku ini disukai di manapun dan dipuji di manapun! Inilah sebabnya aku menamainya Muhammad. Rawatlah dia dengan baik, seluruh dunia akan mengenalnya!”

Hari ini, kita semua bukan hanya mengenalnya, tetapi mencintainya. Dialah nabi agung pembawa rahmat bagi sekalian alam. Kalau bukan karena Muhammad, tak mungkin kita ada di sini dengan dada bergemuruh merayakan iman dan Islam. Kalau bukan karena Muhammad, tak mungkin malam itu saya berdiri menatap ‘Maulidurrasul’ dengan lutut bergetar, bibir yang tergigit, hati yang rapuh, dan air mata yang tumpah.

Sayang sekali hari ini rumah tempat lahir Rasulullah itu tidak diperlakukan dengan baik. Rumah itu diubah menjadi perpustakaan yang usang dan tak terawat. Di sekelilingnya dipasang berbagai blokade, pembatas yang mencegah orang masuk. Dinding-dindingnya dipenuhi himbauan agar tempat itu tak dipakai untuk shalat. Tak dijadikan tempat ‘penyembahan’, karena berpotensi kemusyrikan.

Boleh dibilang, Kerajaan Arab Saudi memang anti terhadap semua situs peninggalan sejarah Nabi dan keturunannya. Berbagai tempat seperti Jannatul Ma’la dan Jannatul Baqi, yang pernah saya ceritakan sebelumnya, diratakan dengan tanah. Situs-situs lain peninggalan para sahabat diubah menjadi hotel dan area komersial. Dan rumah tempat lahir Baginda Rasul dijadikan perpustakaan—bahkan konon juga akan diratakan dengan tanah. Meski mendapat penolakan keras dari seluruh dunia.

Padahal, tanpa masa lalu, kita semua tak akan sampai ke hari ini. Tanpa sejarah, kita semua hanyalah rencana dalam peta peradaban. Tanpa Nabi Muhammad, seandainya beliau tak terlahir ke dunia, tak akan ada jutaan orang berbondong-bondong ke Mekkah dan berhaji ke baitullah. Seandainya semua orang mengerti ini, maka tak akan ada orang yang menyia-nyiakan apapun yang ditinggalkannya.

Malam itu, saya menunda kepulangan. Saya berdiri di tepian pembatas hijau, menatap sebuah ‘perpustakaan’. “Inilah perpustakaan terbaik di dunia.” Batin saya. Di bawah langit malam yang indah, saya merenungi kelahiran Sang Nabi. Tak ada lagi lelah. Karena semua tentang Rasulullah telah menghilangkan lelah, duka, dan nestapa dunia.

Allahumma shalli wasallim wabarik ‘ala dzatil-ahmadiyyah. Wa ‘ala aalihi wa shahbihi waman tabi’ahum bi ihsan…

FAHD PAHDEPIE

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Lihat Juga
Close
Back to top button