Pilah Pilih Komisioner Komisi Yudisial


Seleksi calon anggota Komisi Yudisial (KY) untuk masa jabatan 2025–2030 kembali berlangsung. Dalam waktu yang tak terlalu lama, panitia seleksi (pansel) akan menjaring nama-nama yang akan diajukan kepada presiden untuk kemudian dipilih dan diserahkan kepada DPR guna menjalani proses uji kelayakan dan kepatutan. Rangkaian proses itu akan menentukan siapa saja yang akan duduk sebagai komisioner KY lima tahun ke depan.

Di atas kertas, proses seleksi tersebut tampak formal dan prosedural. Namun bila ditarik lebih dalam, ini bukan sekadar soal siapa yang mendaftar dan lolos, melainkan juga mencerminkan arah dan masa depan pengawasan etik terhadap lembaga peradilan, khususnya para hakim di negeri ini. Proses seleksi kali ini harus dilihat sebagai momentum untuk mengoreksi kekeliruan masa lalu dan menegaskan kembali misi utama KY sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 24B UUD 1945.

Menimbang Fungsi KY

Sebagai lembaga negara yang dibentuk berdasarkan amandemen konstitusi, Komisi Yudisial memiliki dua fungsi utama: pertama, mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR; kedua, menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dua fungsi ini menempatkan KY dalam posisi strategis dalam sistem peradilan, khususnya pada aspek etik dan moralitas hakim.

Namun sejak awal berdirinya, jalan KY tidaklah mulus. Hubungan antara KY dan Mahkamah Agung (MA) nyaris selalu diwarnai ketegangan. Rekomendasi KY terhadap pelanggaran etik sering tidak ditindaklanjuti. Bahkan pada beberapa momen, MA menantang legitimasi rekomendasi KY. Situasi ini diperparah oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2006 yang membatasi pengawasan KY hanya pada hakim non-MA serta tidak memberi kekuatan eksekutorial terhadap rekomendasi sanksi KY.

Akibatnya, publik kerap melihat KY sebagai lembaga yang “keras dalam niat, tetapi lemah dalam daya.” Ini bukan sepenuhnya kesalahan KY. Dalam banyak hal, kelemahan itu lahir dari sistem kelembagaan yang memang membatasi—bahkan secara sengaja mereduksi—kewenangan KY agar tidak terlalu mengganggu struktur kekuasaan kehakiman yang mapan.

Seleksi Adalah Penentu Arah

Di sinilah pentingnya memperhatikan proses seleksi anggota KY. Jika komisioner KY dipilih hanya berdasarkan kepatuhan administratif tanpa mempertimbangkan integritas, keberanian, dan pengalaman dalam advokasi hukum dan etika, maka kita sedang mengukuhkan lemahnya KY di masa depan.

Sebaliknya, apabila proses seleksi ini mampu menjaring individu yang tidak hanya memahami hukum, tetapi juga punya sensitivitas etik, integritas pribadi, dan kematangan sosial, maka kita punya alasan untuk berharap pada perbaikan dalam sistem peradilan. Dalam konteks inilah pansel berperan sangat sentral. Ia bukan hanya bertugas menjaring calon terbaik, tetapi juga menyaring mereka yang punya rekam jejak problematik.

Sebagai contoh, dalam seleksi kali ini kita harus lebih cermat dalam menilai kandidat yang berasal dari latar belakang tertentu seperti hakim karier, akademisi, advokat, atau aktivis masyarakat sipil. Masing-masing membawa kekuatan, sekaligus potensi konflik kepentingan. Seorang mantan hakim, misalnya, mungkin paham sistem peradilan secara internal, tetapi apakah ia punya keberanian untuk mengoreksi koleganya sendiri? Demikian pula seorang akademisi yang cakap dalam teori hukum—apakah ia punya keberpihakan pada reformasi etik yang konkret?

Keterbukaan dan Partisipasi

Dalam negara demokrasi, proses seleksi pejabat publik bukan hanya urusan internal pemerintah. Ia harus dibuka untuk partisipasi masyarakat. Dalam hal ini, pansel memiliki tanggung jawab moral untuk melibatkan publik secara aktif: menerima masukan, membuka rekam jejak calon, dan menjelaskan secara terbuka pertimbangan dalam seleksi.

Keterbukaan ini penting untuk membangun legitimasi moral terhadap hasil seleksi. Sejauh ini, kita belum melihat ruang yang cukup bagi masyarakat sipil untuk memberikan catatan terhadap para pendaftar. Bahkan dalam seleksi sebelumnya, tidak sedikit tokoh yang mengemuka karena relasi politik, bukan karena kapasitas dan integritas.

Transparansi akan menghindarkan seleksi dari jebakan kompromi politik dan memperkuat posisi KY sebagai lembaga pengawas etik. Perlu dicatat, penguatan lembaga pengawas tidak pernah lahir dari kompromi kekuasaan, tetapi dari komitmen terhadap kebenaran dan keadilan.

Perlu Ada Keberagaman

KY bukan lembaga teknokratik yang hanya membutuhkan keahlian hukum. Sebaliknya, lembaga ini membutuhkan keberagaman perspektif, latar belakang, dan pengalaman. Dalam sejarahnya, keberadaan aktivis HAM, jurnalis hukum, maupun tokoh agama dalam KY telah memberi nuansa tersendiri dalam memahami etik hakim.

Ke depan, komposisi KY harus mencerminkan spektrum luas dari masyarakat hukum dan keadilan di Indonesia. Jangan hanya didominasi oleh kelompok yang berasal dari dalam sistem peradilan, yang justru berisiko mempertahankan status quo. Dibutuhkan keberanian dari pansel untuk memprioritaskan calon yang mungkin tidak populer, tetapi punya rekam jejak dalam memperjuangkan nilai etik dan integritas.

Perluasan Peran KY

Harus diakui, fungsi KY perlu diperluas. Saat ini KY hanya terbatas pada mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan calon hakim agung. Padahal, dalam situasi di mana kepercayaan publik terhadap pengadilan menurun, KY semestinya dapat pula memberikan penilaian terhadap kualitas peradilan, mengawasi kode etik dalam semua jenjang, dan memberi masukan dalam proses rekrutmen hakim di semua level.

Tentu hal ini membutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan. Namun sebagai langkah awal, seleksi kali ini bisa menjadi batu loncatan. Dengan memilih anggota yang progresif dan visioner, KY dapat menyiapkan diri menjadi lembaga pengawas yang lebih aktif, partisipatif, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Memilah dengan Nurani

Last not but least, pilah-pilih calon anggota Komisi Yudisial bukanlah pekerjaan teknis. Ia adalah momen konstitusional yang menentukan arah keadilan di masa depan. Dalam proses ini, semua pihak—pemerintah, pansel, DPR, hingga masyarakat—harus terlibat aktif dan bertanggung jawab. Jangan sampai kita memilih orang yang salah hanya karena mereka terdengar aman atau tampak tenang. Karena dalam banyak kasus, etik dikompromikan bukan oleh musuh terbuka, tetapi oleh kawan yang terlalu patuh.

Jika kita gagal dalam seleksi ini, maka lima tahun ke depan KY akan kembali menjadi lembaga yang sunyi: hadir secara hukum, tapi absen secara moral. Namun bila kita berhasil memilih komisioner yang tepat, KY bisa menjadi pilar utama dalam merestorasi kepercayaan publik terhadap hukum dan keadilan.

Dan itulah yang menjadi tantangan kita hari ini: bukan hanya sekadar memilih, tapi memilah dengan nurani dan keberanian.