Pintu 13 Masih Berdiri di Kanjuruhan: Stadion Megah Menyisakan Luka Lama


Sore itu, mendung menggantung di langit Kepanjen, Malang. Di bawahnya, Stadion Kanjuruhan berdiri dengan wajah baru, rumput hijau membentang rapi, pagar-pagar lebih bersahabat, dan kursi-kursi kini bernomor, berwarna cerah, seperti mengajak siapa pun untuk duduk dan melupakan malam kelam yang pernah ada. Tapi tidak semua bagian ikut direnovasi.

Di antara semua sudut yang telah diperbarui, ada satu bagian yang seolah membuat waktu berhenti. Di sanalah Pintu 13 berdiri kokoh dan sunyi. Tak seperti bagian lainnya, pintu itu dibiarkan dalam bentuk aslinya.

Dikelilingi dinding kaca transparan, Gate 13 seperti enggan disentuh. Tak boleh lagi dilalui, tak bisa lagi dibuka. Ia ditinggalkan seperti kenangan pahit yang menolak disingkirkan, diabadikan agar semua tahu, inilah saksi bisu dari malam kelam, saat 135 nyawa meregang di tengah desakan dan kepanikan. 

Di balik kaca, masih tampak jelas lekukan pintu bercorak biru yang dahulu tidak bisa terbuka lebar saat ribuan suporter mencoba menyelamatkan diri dari kepulan gas air mata. Hanya dua atau tiga orang yang bisa keluar bersamaan kala itu. Sisanya terjepit, terhimpit, dan tak pernah kembali.

Kanjuruhan2 Harris Muda.jpeg
Pintu 13 Stadion Kanjuruhan (Foto: Inilah.com/Harris Muda)

Di sekeliling pintu, tiga tiang berdiri menyangga bagian luar stadion. Tak lagi menjadi sekadar tiang penopang, namun menyerupai nisan bagi mereka yang tak selamat. Tertulis di permukaannya, satu demi satu nama korban, seolah tiap huruf menjadi doa yang tak sempat terucap.

Tak jauh dari sana, suara nyaring tak berasal dari sorak penonton, tapi dari lembaran-lembaran spanduk yang dipasang keluarga korban. “Tidak ada sepak bola seharga nyawa,” tulis satu spanduk. Yang lain berbunyi, “Anak kami dibunuh dan belum mendapat keadilan. Stadion Kanjuruhan adalah lokasi kejadian, bersorak di dalamnya sama saja melupakan!”. Wajah-wajah korban pun terpampang, seolah menatap siapa pun yang melintas, meminta agar jangan dilupakan.

Di luar stadion, warung kopi Bu Sri (bukan nama asli) masih buka sejak pagi. Lapaknya berdiri persis di balik pagar besi putih yang mengelilingi stasiun. Di sela mengaduk kopi, Bu Sri mengakui kalau masih banyak keluarga korban yang tidak terima Arema kembali bermain di Kanjuruhan.  “Makanya poster dan spanduk itu dipasang mas, ada kekecewaan dari mereka,” ucapnya dengan bahasa Jawa yang kental. 

Malam yang Mengerikan

Malam kelabu 1 Oktober 2022 masih membekas di benak Bu Sri, meski saat itu ia tak berada langsung di dalam stadion. Dari cerita warga sekitar yang datang silih berganti ke warung kecilnya, ia dapat membayangkan kepanikan yang terjadi. “Ada yang bilang malam itu banyak yang teriak-teriak minta tolong. Terutama di pintu 13,” ucap perempuan tersebut. 

“Ada juga yang bilang banyak anak-anak kecil jadi korban, pas digendong bapaknya, udah lemes. Polisi juga bingung, semuanya panik,” tambahnya. 

Kanjuruhan3 Harris Muda.jpeg
Bagian dalam pintu 13 Stadion Kanjuruhan (Foto: Inilah.com/Harris Muda)

Protes keluarga korban Tragedi Kanjuruhan memang tidak hanya disuarakan melalui spanduk saja. Sebelum Arema memutuskan kembali bermarkas di sana, keluarga korban yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Keadilan Korban Kanjuruhan (JSKK) sudah menegaskna sikap mereka: menolak Singo Edan berkandang di Kanjuruhan. 

“Kami keluarga berpandangan bahwa tidak sepatutnya pertandingan tersebut digelar di Stadion Kanjuruhan terutama di tengah kondisi keluarga korban masih kesulitan mencari dan mendapatkan keadilan. Hal ini tentu tentu sangat menyakiti hati,” ucap salah keluarga korban, Rizal Putra Pratama melalui pernyataannya.

Namun, penolakan yang disampaikan ujung-ujungnya tidak digubris. Hari itu, Sabtu (24/5/2025), Arema FC kembali menjamu Semen Padang FC dalam laga pamungkas Liga 1 musim 2024/2025. Ini merupakan laga resmi kedua mereka di Stadion Kanjuruhan. 

Kali ini, tak ada sorakan, tak ada nyanyian, tak ada Aremania di tribunnya. Suasana stadion terasa janggal. Ini buntut hukuman dari Komdis PSSI usai kericuhan di laga perdana saat Arema FC dibantai Persik Kediri 0-3 di stadion ini, 11 Mei lalu. Waktu itu, gas air mata memang tak lagi hadir, tapi kemarahan dan trauma belum benar-benar hilang. Bis tim lawan dilempari batu, staf Persik terluka.

Mau tidak mau, di laga kedua, suasana hening menyelimuti Kanjuruhan. Tanpa Aremania, yang tersisa hanya deru sepatu para pemain dan suara instruksi dua pelatih di lapangan tepi. 

Di medan laga, Singo Edan kembali gagal tampil menggigit. Dua gol dari Semen Padang tak hanya mengubur harapan Arema menutup musim dengan kemenangan, tapi juga memperpanjang catatan tanpa gol di Kanjuruhan pasca-renovasi.

Kekalahan 0-2 dari Semen Padang malam itu menambah derita. Bagaimana tidak, dalam dua laga terakhir mereka di Kanjuruhan pasca-renovasi, Arema FC belum mencetak satu pun gol. Dua laga, nol gol, dua kekalahan. Seolah stadion ini menolak menjadi saksi kemenangan hingga luka yang dulu disembuhkan.

Kanjuruhan kini memang telah diperbarui. Tapi luka yang ditinggalkan Tragedi Kanjuruhan tak bisa ditambal dengan beton atau dicat ulang. Pada akhirnya, stadion itu kini menyiratkan pesan, kalau dia berdiri di atas cerita yang belum selesai, dan keadilan yang belum datang.