Politik Adil yang Beradab


Politik Indonesia kerap terjebak dalam pusaran kekuasaan yang lebih mementingkan kepentingan elite daripada rakyat. Dalam situasi seperti ini, kita seakan lupa bahwa bangsa ini memiliki fondasi moral dan ideologis yang kuat, yakni Pancasila.

Pancasila bukan sekadar rangkaian kata elok dalam pembukaan konstitusi, melainkan etika publik yang harus menjadi pedoman perilaku politik. Di tengah realitas politik yang terus berubah, Pancasila semestinya menjadi kompas moral untuk menegakkan keadilan dan menjunjung peradaban.

Dua sila yang paling relevan dalam konteks ini adalah sila kedua dan kelima, yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab” serta “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Kedua sila ini dapat menjadi landasan evaluatif atas praktik politik yang dijalankan saat ini.

Pasalnya, kedua sila tersebut terlalu sering hanya dijadikan slogan. Mereka dikutip dalam pidato, tapi dilanggar dalam keputusan. Kita menyaksikan politisi yang berbicara tentang keadilan, namun dalam praktiknya menindas. Mereka bicara adab, tapi lantas merendahkan lawan politik.

Sistem yang Adil

John Rawls, filsuf politik asal Amerika Serikat, menegaskan bahwa sistem yang adil adalah sistem yang dapat diterima oleh mereka yang paling dirugikan. Prinsip ini mengajak kita melihat ulang bagaimana kebijakan publik menyentuh kelompok rentan. Pandangan Rawls sejalan dengan gagasan Amartya Sen, ekonom peraih Nobel, yang menekankan pentingnya memperluas kapabilitas manusia. Menurut Sen, keadilan tidak cukup diukur dari distribusi kekayaan, tetapi dari kemampuan manusia untuk hidup secara bermartabat.

Tanya yang lantas bisa kita apungkan dalam hal ini adalah: apakah politik kita hari ini sudah memberi ruang martabat bagi, misalnya, warga Papua? Bagi buruh migran yang diperas majikan dan agen? Bagi petani yang tanahnya digusur demi ekspansi tambang dan infrastruktur?

Kasus kekerasan di Desa Wadas adalah salah satu contoh nyata. Warga yang mempertahankan tanah leluhur mereka dari penambangan batu andesit justru dihadapkan pada represivitas aparat. Lalu, di mana letak keadilan sosial jika suara warga dibungkam dengan gas air mata?

Jika Pancasila benar-benar dijadikan dasar negara dalam arti yang utuh, maka pendekatan yang digunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seharusnya mengedepankan dialog, bukan kekerasan. Nilai-nilai “kemanusiaan yang adil dan beradab” menuntut partisipasi aktif warga, bukan dominasi atau pemaksaan kehendak. Keadilan tidak tumbuh dari intimidasi, melainkan dari keterlibatan yang bermakna dalam setiap proses pengambilan keputusan.

Peradaban Politik dan Ketimpangan

Dalam konteks itu, kita perlu bertanya pula ihwal bagaimana peradaban dalam politik kita. Politik yang beradab sejatinya lahir dari penghormatan terhadap martabat manusia. Ia menempatkan setiap orang sebagai sesama warga negara yang layak dihargai, bukan dimusuhi. Maka, politik yang berpijak pada peradaban akan menolak cara-cara yang merendahkan, menjauhi polarisasi, dan menghindari penghinaan. Karena pada akhirnya, keberadaban politik bukan hanya cermin etika elite, tetapi juga fondasi kepercayaan publik.

Sejalan dengan itu, ekonom peraih Nobel, Joseph Stiglitz, dalam bukunya The Price of Inequality, menegaskan bahwa ketimpangan ekonomi tak bisa dilepaskan dari ketimpangan politik. Ketika akses terhadap kekuasaan hanya terbuka bagi segelintir elite, maka gagasan tentang keadilan sosial hanya tinggal mimpi yang mengawang-awang. Tidak akan ada keadilan sejati jika satu keluarga bisa menguasai tujuh jabatan strategis, sementara ribuan sarjana kita menganggur dan hanya bisa bersuara lewat kolom komentar media sosial.

Ketimpangan yang terjadi bukan hanya persoalan angka atau data statistik semata, melainkan juga soal perasaan mendalam tentang keterpinggiran dan ditinggalkan. Banyak rakyat merasa bahwa dunia politik selama ini hanya berpihak pada kelompok yang sudah berkuasa dan memiliki kekayaan sejak lama, sehingga mereka yang mayoritas terdampak justru sering terlupakan.

Dalam konteks ini, seorang pemimpin yang beradab harus mampu memandang kekuasaan bukan sebagai hak istimewa atau alat untuk kepentingan pribadi semata. Ia harus menyadari bahwa kekuasaan sejatinya adalah sebuah amanah, sebuah tanggung jawab moral yang harus dipertanggungjawabkan secara jujur kepada seluruh rakyat, tanpa terkecuali.

Harapan Tidak Boleh Padam

Dalam lagu Sunday Bloody Sunday, U2 berteriak: “How long must we sing this song?” Pertanyaan ini seolah menggambarkan kegelisahan publik terhadap siklus kekecewaan dalam politik kita. Namun, harapan kita sama sekali tidak boleh padam. Politik yang adil dan beradab tetap mungkin diwujudkan jika Pancasila dikembalikan sebagai nilai yang hidup, bukan sekadar hiasan konstitusional.

Nilai-nilai Pancasila harus tercermin dalam kebijakan, dalam pembentukan undang-undang, dan dalam praktik pemerintahan sehari-hari. Implementasinya tidak boleh berhenti di tingkat seremoni. Demokrasi Pancasila bukan hanya tentang pemilu lima tahunan. Ia menuntut keterlibatan aktif warga dalam mengawasi, mengkritik, dan memberi masukan terhadap jalannya pemerintahan.

Konsep demokrasi deliberatif dari Jürgen Habermas mengajarkan pentingnya ruang diskusi yang rasional, setara, dan terbuka. Tentu saja, ini selaras dengan semangat musyawarah dalam sila keempat. Dan ruang-ruang diskusi itu kini hadir dalam bentuk baru berupa forum daring, media sosial, dan inisiatif warga. KawalPemilu dan KawalAnggaran adalah contoh bagaimana teknologi mendukung keterbukaan.

Meski demikian, untuk menciptakan keadilan yang sistemik, kita tidak bisa hanya mengandalkan partisipasi warga. Diperlukan reformasi struktural, terutama dalam sistem kepartaian dan pendanaan politik. Selama politik dikuasai oligarki dan biaya politik sangat mahal, maka keterwakilan hanya akan dimonopoli oleh mereka yang memiliki kapital besar.

Politik yang adil dan beradab mensyaratkan inklusivitas. Kaum muda, perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok minoritas harus diberi ruang nyata untuk terlibat dan berkontribusi. Tanpa keberagaman suara dalam ruang politik, kebijakan yang dihasilkan rentan mengabaikan kebutuhan sebagian besar warga. Inklusivitas bukanlah sekadar simbolik, melainkan prasyarat agar demokrasi benar-benar hidup dan bermakna.

Keadilan bukan berarti semua mendapatkan hasil yang sama, melainkan semua mendapatkan kesempatan yang sama. Dan peradaban bukan kelemahan, tapi kebijaksanaan. Politik yang beradab mampu menerima kritik, bukan membungkamnya. Negara yang tahan kritik adalah negara yang tumbuh dewasa. Sebaliknya, negara yang alergi kritik cenderung stagnan dan rapuh karena menutup diri dari koreksi yang konstruktif.

Pancasila milik seluruh rakyat Indonesia. Politik yang benar-benar berpijak pada Pancasila adalah politik yang mendengarkan suara rakyat, bukan hanya suara segelintir elite penguasa. Oleh karena itu, kita butuh lebih dari sekadar ritual pergantian pemimpin. Kita membutuhkan transformasi nilai dan sistem yang mendasar. Peralihan dari politik transaksional menuju politik yang berbasis etika publik menjadi keniscayaan agar demokrasi dapat berjalan dengan sehat dan bermartabat.

Sejatinya, politik yang adil dan beradab bukan sekadar cita-cita idealistis semata, melainkan fondasi nyata yang menopang keberlangsungan sebuah bangsa yang bermartabat. Ketika pemimpin dan rakyat mampu saling menghargai, mendengar dengan sungguh-sungguh, serta merangkul perbedaan, terciptalah ruang bersama yang produktif, sebuah ruang yang menumbuhkan kepercayaan sekaligus memperkokoh persatuan.

Hanya dengan politik yang adil dan beradab, bangsa ini bisa melangkah maju tanpa harus mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.