Kanal

Populasi Dunia Menyusut, Bersyukur atau Khawatir?

Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada pertengahan November 2022 lalu menyebutkan, populasi dunia sudah mencapai 8 miliar. Ada kekhawatiran dunia tak bisa lagi mendukung pertumbuhan populasi. Namun, justru dunia lebih mengkhawatirkan penurunan populasi.

Pertumbuhan populasi global dibentuk oleh kelahiran dan kematian. Pertumbuhan populasi juga memicu kekhawatiran tentang apakah akan ada cukup makanan, air, dan energi untuk mendukung pertumbuhan populasi. Sementara aktivitas manusia tidak diragukan lagi mendorong krisis iklim yang akan menyulitkan pertumbuhan populasi.

Namun, Bos Tesla dan Twitter Elon Musk pernah mengatakan bahwa penurunan populasi karena tingkat kesuburan yang rendah adalah risiko yang jauh lebih besar bagi peradaban daripada pemanasan global. Sementara sebuah kolom baru-baru ini di surat kabar Inggris The Sunday Times secara naif berpendapat bahwa Inggris harus ‘memajaki orang-orang yang tidak memiliki anak’ untuk mengatasi tingkat kesuburan yang menurun.

China dan Jepang

Negara dengan jumlah warga terbesar di dunia, yakni China mengalami penurunan populasi tahun lalu untuk pertama kalinya dalam enam dekade. Perubahan bersejarah yang diperkirakan akan menandai dimulainya periode panjang penurunan jumlah warganya dengan implikasi mendalam bagi ekonominya dan dunia.

Populasi China turun sekitar 850.000 menjadi 1,41175 miliar pada akhir 2022, kata Biro Statistik Nasional negara itu. Dalam jangka panjang, pakar PBB melihat populasi China menyusut hingga 109 juta pada 2050, lebih dari tiga kali lipat penurunan perkiraan mereka sebelumnya pada tahun 2019.

Itu menyebabkan ahli demografi domestik meratapi bahwa China akan menjadi tua sebelum menjadi kaya, memperlambat ekonomi karena pendapatan turun dan utang pemerintah meningkat karena melonjaknya biaya kesehatan dan kesejahteraan. “Prospek demografis dan ekonomi China jauh lebih suram dari yang diperkirakan. China harus menyesuaikan kebijakan sosial, ekonomi, pertahanan, dan luar negerinya,” kata ahli demografi Yi Fuxian.

Namun, Kepala Biro Statistik Nasional Kang Yi mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir dengan penurunan populasi karena penawaran tenaga kerja secara keseluruhan masih melebihi permintaan. Tingkat kelahiran China tahun lalu hanya 6,77 kelahiran per 1.000 orang, turun dari tingkat 7,52 kelahiran pada tahun 2021 dan menandai tingkat kelahiran terendah dalam catatan.

“Jumlah wanita China usia subur, yang didefinisikan pemerintah sebagai 25 sampai 35 juta, turun sekitar 4 juta,” kata Kang Yi. Tingkat kematian tertinggi sejak 1974 selama Revolusi Kebudayaan adalah 7,37 kematian per 1.000 orang, dibandingkan dengan tingkat 7,18 kematian pada 2021.

Sebagian besar penurunan demografi adalah hasil dari kebijakan satu anak di China yang diberlakukan antara 1980 dan 2015 serta tingginya biaya pendidikan yang membuat banyak orang China tidak memiliki lebih dari satu anak atau bahkan tidak memiliki anak sama sekali.

Selain China, Jepang dalam beberapa tahun terakhir telah mencoba mendorong rakyatnya memiliki lebih banyak anak dengan janji bonus uang tunai dan manfaat yang lebih baik. Tetapi, menurut survei, Jepang tetap menjadi salah satu tempat termahal di dunia untuk membesarkan anak.

Kelahiran di Jepang jatuh ke rekor terendah baru tahun lalu, menurut perkiraan resmi, turun di bawah 800.000 untuk pertama kalinya – momen penting yang terjadi delapan tahun lebih awal dari perkiraan pemerintah. Itu kemungkinan besar memicu penurunan populasi lebih lanjut di negara di mana usia rata-rata warganya adalah 49 tahun, tertinggi di dunia hanya di belakang negara kota kecil Monako.

“Bangsa kita berada di titik puncak apakah dapat mempertahankan fungsi sosialnya,” kata Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, dalam pidato kebijakan pada pembukaan sesi parlemen tahun ini.

Kishida berjanji untuk mengambil langkah-langkah mendesak mengatasi tingkat kelahiran yang menurun di negara itu. “Sekarang atau tidak sama sekali ketika menyangkut kebijakan tentang kelahiran dan membesarkan anak – ini adalah masalah yang tidak bisa menunggu lebih lama lagi,” tambahnya.

Jepang adalah negara termahal ketiga di dunia untuk membesarkan anak, menurut YuWa Population Research, di belakang China dan Korea Selatan, negara-negara yang juga mengalami penyusutan populasi yang merupakan tanda-tanda mengkhawatirkan ekonomi global.

Negara-negara lain juga menghadapi populasi yang menua dan menyusut. Dalam sebuah proyeksi berdasarkan analis di Business Insider dan outlet lainnya ada negara yang diramalkan memiliki persentase penurunan populasi terbesar selama tiga dekade berikutnya (2020-2050).

Urutan pertama penurunan populasi adalah Bulgaria yang diperkirakan akan menurun sebesar 22,5 persen dari 6,9 juta pada tahun 2020 menjadi 5,4 juta pada tahun 2050.

Berikutnya Lituania diproyeksikan menyusut sebesar 22,1 persen selama tiga dekade berikutnya. Populasi diperkirakan menyusut dari 2,7 juta menjadi 2,1 juta orang. Urutan ketiga adalah Latvia diperkirakan akan kehilangan populasi sebesar 21,6 persen antara tahun 2020 dan 2050.

Negara yang tengah mengalami perang yakni Ukraina, diproyeksikan populasinya turun dari 43,7 juta pada 2020 menjadi 35,2 juta pada tahun 2050, kerugian sebesar 19,5 persen. Berikutnya ada Serbia, Bosnia-Herzegovina, Kroasia, Moldova, Jepang, dan Albania.

Berdampak positif dan negatif

Penurunan populasi, juga dikenal sebagai depopulasi, menurut Worldpopulationreview, merupakan pengurangan jumlah individu yang tinggal di negara, kota, atau wilayah geografis tertentu dari waktu ke waktu.

Penurunan populasi dapat disebabkan oleh satu atau kombinasi dari banyak kemungkinan tren, termasuk penuaan, emigrasi, tingkat kelahiran dan/atau tingkat kesuburan di bawah tingkat penggantian populasi. Juga tingkat kematian bayi yang tinggi karena sistem perawatan kesehatan yang kurang berkembang, dan tingkat kematian yang tinggi karena perang dan kekerasan, penyakit, atau bencana lainnya.

Penurunan populasi memiliki dampak positif dan negatif pada suatu negara. Populasi yang menyusut dapat berarti lebih banyak sumber daya dapat dialokasikan untuk populasi dan kekayaan per kapita dapat meningkat.

Selain itu, populasi yang menurun mengurangi masalah yang terkait dengan kelebihan populasi di daerah yang terkena dampaknya, seperti peningkatan polusi, lalu lintas, harga real estat dan sewa, dan degradasi lingkungan.

Namun, penurunan populasi juga dapat menyebabkan populasi yang menua dan menyusutnya tenaga kerja, terutama dalam hal pekerja yang berpendidikan tinggi dan berketerampilan tinggi. Kekurangan ini dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup secara keseluruhan, program yang didanai pemerintah, dan PDB nasional.

Apa artinya penurunan populasi ini bagi dunia terutama di China? Penurunan populasi dan masyarakat yang menua pasti akan memberi Beijing tantangan jangka pendek dan jangka panjang. Singkatnya, itu berarti akan ada lebih sedikit pekerja yang mampu memberi makan perekonomian dan memacu pertumbuhan ekonomi lebih lanjut di satu sisi buku besar.

Di sisi lain, populasi jumlah lanjut usia (lansia) akan membutuhkan dukungan yang berpotensi mahal.

Feng Wang, profesor sosiologi di University of California, Irvine dalam tulisannya di The Conversation mengungkapkan, meningkatnya jumlah lansia dalam populasi China lebih dari sekadar masalah ekonomi.

Banyak dari orang tua ini hanya memiliki satu anak, karena kebijakan satu anak berlaku selama tiga setengah dekade hingga dilonggarkan pada tahun 2016.

Menurutnya, banyaknya orang tua lanjut usia dengan hanya satu anak yang dapat diandalkan untuk dukungan kemungkinan besar akan menimbulkan kendala yang parah – tidak terkecuali bagi orang tua lanjut usia, yang akan membutuhkan dukungan keuangan. Mereka juga akan membutuhkan dukungan emosional dan sosial lebih lama sebagai hasil dari harapan hidup yang lebih lama.

“Ini juga akan memberikan batasan pada anak-anak itu sendiri, yang perlu memenuhi kewajiban untuk karir mereka, menafkahi anak-anak mereka sendiri dan menghidupi orang tua mereka secara bersamaan,” ungkap Feng Wang.

Tanggung jawab akan jatuh pada pemerintah China untuk menyediakan perawatan kesehatan dan pensiun yang memadai. Tetapi tidak seperti di negara-negara demokrasi Barat yang telah memiliki pengalaman puluhan tahun untuk mengembangkan jaring pengaman sosial, kecepatan perubahan demografis dan ekonomi di China membuat Beijing berjuang untuk mengimbanginya.

“Bagaimana pemerintah China menanggapi tantangan yang dihadirkan oleh perubahan demografis yang dramatis ini akan menjadi kuncinya. Kegagalan memenuhi ekspektasi publik dalam menanggapinya dapat mengakibatkan krisis bagi Partai Komunis China, yang legitimasinya terkait erat dengan pertumbuhan ekonomi,” tambah Feng Wang.

Setiap penurunan ekonomi dapat memiliki konsekuensi yang parah bagi Partai Komunis China. Juga akan dinilai seberapa baik negara mampu membenahi sistem dukungan sosialnya.

Tindakan untuk memacu pertumbuhan populasi ini, atau setidaknya memperlambat penurunannya, datang terlambat untuk mencegah China segera kehilangan mahkotanya sebagai negara terbesar di dunia. Kehilangan prestise adalah satu hal, dampak politik dari setiap penurunan ekonomi akibat populasi yang menyusut adalah hal lain lagi.

Memperdebatkan apakah kita kekurangan atau kelebihan populasi tidak membantu dan mengganggu ketika, pada kenyataannya, sangat sedikit yang dapat kita lakukan untuk mempengaruhi pertumbuhan populasi.

Yang jelas, 8 miliar penduduk dunia saat ini tidak terlalu sedikit, juga tidak terlalu banyak, ini hanyalah jumlah orang di planet ini.

Daripada mencoba untuk menambah atau mengurangi jumlah orang, kita harus membangun sebuah planet yang memungkinkan setiap orang untuk hidup bebas, berkelanjutan dan bermartabat.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button