Prajurit Berjersey Garuda di Dadanya Itu Benar-benar Merobohkan Tembok China


Jakarta membara malam itu. Suhu menembus 30 derajat Celsius, tapi panas sesungguhnya bukan hanya datang dari cuaca. Ia memancar dari lautan merah yang menduduki tiap jengkal bangku Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta. Sebanyak 69.661 pasang mata mengarah ke satu titik yakni bola yang bergulir di lapangan hijau. Di sana, satu pertaruhan martabat pun bangsa digelar. 

 

Timnas Indonesia menjamu China dalam laga ke-9 Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia putaran tiga. Hasil ini bukan hanya pertaruhan martabat, tapi nasib untuk menjemput mimpi ke Piala Dunia 2026.  Bukan apa, jika Timnas Indonesia imbang, apalagi sampai kalah dari China, peluang lolos ke Piala Dunia 2026 akan mengecil. 

Kemenangan menjadi satu-satunya syarat agar bara api impian ke panggung besar itu terjaga. Setidaknya, tim Garuda bisa mengamankan spot di ronde ke-4 terlebih dahulu. Sebelum kick-off, langit Jakarta belum sepenuhnya gelap. Namun GBK sudah lebih dulu menyala. Duo musisi legendaris, God Bless dan Judika, membuka malam dengan gegap gempita. 

Lagu ‘Rumah Kita’ melesak ke dada, membawa gelombang rasa memiliki. Judika lalu menyusul dengan ‘Indonesia Pusaka’. Ribuan penonton kian larut dalam nyanyian, dan kala ‘Padamu Negeri’ menggema, udara seperti berhenti sejenak, tak ada yang tidak  terhanyut.

Namun pertunjukan sesungguhnya baru dimulai. Koreografi megah di tribune utara milik La Grande Indonesia (LGI) menampakkan sosok Raden Wijaya lengkap dengan pedang dan perisai berlambang burung Garuda. 

Di hadapannya, terhampar sebuah tembok besar yang secara implisit menggambarkan negara Tiongkok. Sang prajurit diilustrasikan tengah menghantam tembok itu hingga runtuh berkeping-keping. Sebuah simbol perlawanan.

Prajurit itu bukan satu nama. Ia adalah metafora, yang mewakili Ole Romeny, Egy Maulana Vikri, Ricky Kambuaya, Jay Idzes hingga Emil Audero. Malam itu, sang prajurit datang dengan perisai kuat dari Suku Dayak berbalut kain Ulos dari Suku Batak di badan dan tutup kepala dari Suku Jawa bersama kalung batu Mustika menjadi kekuatan. Tidak lupa hiasan dari negeri Papua bersama tangan menggenggam senjata tradisional dari Maluku. Mereka adalah satu tubuh yang mewakili kebesaran Nusantara.

Pertunjukan hari itu tidak hanya menjadi milik LGI, di sisi sebaliknya alias tribune selatan terpampang tifo yang tak kalah megah. Sosok Bart, karakter ikonik yang dikenal nakal dan penuh rasa ingin tahu, kali ini hadir mengenakan jersey merah-putih, menunggang burung Garuda, simbol bangsa, simbol harapan. 

Dengan teropong di tangan, ia menatap jauh ke arah tiga bendera: Kanada, Amerika Serikat, dan Meksiko. Ketiga negara tersebut adalah tuan rumah putaran final Piala Dunia 2026. Itu adalah tujuan Garuda. 

Laga Berlangsung Keras

Begitu wasit Rustam Lutfullin meniup peluit tanda kick off, atmosfer GBK kian membahana. Sorak-sorai, tepukan tangan  bak memecah gendang telinga. Selama 10 menit pertama pertahanan China digempur. Satu peluang tercipta dari kaki Ricky Kambuaya. Nyaris gol. Namun, setelah itu tim lawan bangkit dan menekan balik. 

Memasuki menit ke-13, tensi pertandingan meningkat drastis. Adu fisik dan tekel-tekel keras mulai mewarnai jalannya laga. Indonesia yang tampil lebih dominan, mencoba menembus pertahanan rapat China. Sejumlah umpan diarahkan ke kotak penalti, tetapi belum satu pun berujung ancaman serius. 

Dan ketika menit ke-44 tiba, semesta seperti tahu waktunya. Sang pengadil menunjuk titik putih tanda penalti untuk tuan rumah. Hadiah penalti itu lahir dari keberanian Ricky Kambuaya menyelinap masuk di kotak terlarang. Ia mengejar bola liar, menekuk langkahnya ke arah gawang, sebelum akhirnya dijatuhkan oleh bek lawan dalam situasi yang begitu genting. Wasit sempat membiarkan permainan terus berjalan, namun sorotan publik menuntut keadilan.

“Penalti, penalti, penalti,” begitu gema seisi GBK seakan mengintimidasi wasit, tak lama setelah kejadian itu. 

Hening sejenak menyelimuti stadion saat keputusan ditinjau ulang lewat tayangan Video Assistant Referee (VAR). Dan akhirnya, telunjuk sang wasit mengarah pasti ke titik putih keputusan yang menghembuskan napas kepercayaan di dada para pemain Garuda.

Romeny berdiri tenang di titik putih. Sorak suporter berubah jadi senyap yang menegangkan. Saat kakinya menghantam bola dan bola melesak ke sisi kiri gawang Wang Dalei, GBK meledak. 

Tangisan, pelukan, dan teriakan bercampur jadi satu dalam euforia. Romeny berlari ke pinggir lapangan, mengangkat dagu, dan kembali memperagakan selebrasi khasnya, tangan di bawah dagu yang tersirat mengatakan ‘angkat kepala mu, jangan pernah tunduk!’.

Satu gol. Satu kemenangan. Tapi maknanya lebih besar dari angka di papan skor. Ini bukan hanya tentang meruntuhkan tembok yang diyakini terlalu tinggi. Ini tentang bangsa yang berani menatap mata lawan, tak peduli seberapa besar namanya. Dan malam itu, di tengah hawa panas dan stadion yang gemetar oleh rasa cinta dan kebanggaan, 11 prajurit benar-benar merobohkan tembok China.