Inersia

Profil Nano Riantiarno, Pendiri Teater Koma yang Berpulang

Hari ini Indonesia berduka. Kabar duka tersebut datang dari dunia seni teater. Nano Riantiarno, pendiri Teater Koma sekaligus aktor tersebut meninggal dunia pada Jumat (20/1/2023). Kabar duka tersebut, disampaikan oleh aktris senior, Widyawati.

“Iya. Sebagai teman, tentunya saya sangat bersedih, karena mendengar sebelumnya beliau sempat sakit,” kata Widyawati kepada Inilah.com, Jakarta, Jumat (20/01/2023).

Nano meninggal sekitar pukul 07.00 WIB lewat pada usia 73 tahun di rumahnya, kawasan Bintaro, Jakarta Selatan.

Profil Nano Riantiarno

Norbertus Riantiarno atau yang akrab dengan sapaan Nano adalah seorang aktor, penulis, sutradara dan tokoh teater Indonesia.  Lahir pada 6 Juni 1949, Nano terkenal aktif di dunia seni peran sejak 1965 di kota kelahirannya, Cirebon. Usianya saat itu baru menginjak 16 tahun. 

Memainkan peran kecil di pementasan Caligula yang ia dapatkan berkat kemampuan dalam menghafal naskah secara utuh. Sekaligus juga saat itu menggantikan pemeran aslinya yang sedang sakit. 

Sejak perannya yang pertama itu, Nano melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Jakarta. Kemudian tahun 1971 masuk ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta. 

Mengutip dari teaterkoma.org, pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat itu menikah dengan seorang aktris Ratna Karya Madjid Riantiarno pada 23 April 1952 dan dikaruniai tiga orang putra.

Teater Koma

Bergabung dan menjadi bagian Teguh Karya, salah seorang darmawan terkemuka dan ikut mendirikan Teater Populer tahun 1968. Tepat pada tanggal 1 Maret 1977 berdiri secara resmi Teater Koma. 

Sampai saat ini Teater Koma menjadi salah satu kelompok teater paling produktif di Indonesia. Sampai tahun 2006, Teater Koma sudah menggelar sekitar 111 produksi panggung dan televisi.

Film layar lebar sekaligus karya perdananya adalah CEMENG 2005 (The Last Primadona), yang di produksi oleh Dewan Film Nasional Indonesia. 

Karya Nano di Dunia Teater

Sudah berkecimpung sejak tahun 1965 di dunia hiburan Indonesia, tidak heran kalau karya yang di hasilkan Nano juga banyak. Berikut beberapa karya Nano Riantiarno:

  • Rumah kertas
  • J.J Atawa Jian Juhro
  • Maaf. Maaf. Maaf”
  • Kontes 1980
  • Trilogi Opera Kecoa (Bom Waktu, Opera Kecoa dan Opera Julini)
  • Konglomerat Burisrawa
  • Pialang Segitiga Emas
  • Suksesi
  • Opera Primadona
  • Sampek Engtay
  • Banci Gugat 
  • Semar Gugat
  • Tanda Cinta
  • Dsb

Selain drama yang dibuatnya, Teater Koma juga pernah memanggungkan karya dari penulis kelas dunia, antara lain:

  • Woyzeck karya Georg Buchner
  • The Threepeny Opera karya Betroit Brecht
  • The Good Person of Shechzwan karya Betroit Brecht
  • The Comedy of Errors karya William Shakespeare
  • Romeo Juliet karya William Shakespeare

Karir

Selain karya yang banyak, andil Nano dalam dunia seni teater juga tidak kalah banyak. Sempat keliling dunia, mengamati teater rakyat dan kesenian tradisi. 

Akhirnya menjabat sebagai Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (1985-1990). Menjadi anggota Komite Artistik Seni Pentas untuk Kias (Kesenian Indonesia di Amerika Serikat), 1991-1992. Dan juga anggota Board of Artistic Art Summit Indonesia, 2004.

Juga menjadi konseptor dari Jakarta Performing Art Market atau Pastojak (Pasar Tontonan Jakarta I), 1997, yang kemudian di selenggarakan selama satu bulan di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki.

Menulis sekaligus menyutradarai pentas multi media kolosal, seperti Rama-Shinta (1994), Opera Mahbharata (1996), Opera Anoman (1998) dan Bende Ancol (1999).

Penghargaan

Perjalanan kariernya, Nano Riantiarno banyak mendapat sejumlah penghargaan, sebagai berkat karena konsistensinya di panggung teater Indonesia. 

Di tahun 1993, Nano dianugerahi Hadiah Seni, Piagam Kesenian dan Kebudayaan dari Departemen P&K, atas nama Pemerintahan Republik Indonesia. Lima tahun berikutnya, Nano kembali menerima Penghargaan Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia.

Menteri Pariwisata dan Budaya juga pernah memberikan penghargaan berupa Piagam sebagai Seniman dan Budayawan berprestasi pada 1999. Tidak hanya dalam negeri, pada tingkat internasional Nano pernah meraih Sea Write Award dari Raja Thailand di Bangkok atas karyanya Semar Gugat tahun 1998. 

Pada tahun 2020, masuk dalam nominasi kategori ‘Aktor Pendukung Pilihan Tempo’ dan berhasil menang dengan karya yang dinominasikan dalam film Bidadari Mencari Sayap.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button