Purnawirawan, Gibran, dan Surya Paloh


Baru-baru ini (26/04/2025) sejumlah purnawirawan prajurit TNI (terdiri 103 jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal dan 91 kolonel) mengajukan 8 tuntutan sebagai pernyataan sikap aspiratif terhadap kondisi sosial, ekonomi dan politik terkini. Tuntutan disampaikan kepada Presiden RI Prabowo Subianto dan Masyarakat Indonesia karena disampaikan di depan publik. Surat tersebut tertanda tangan Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi dan Tyasno Soedarto, Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, dan Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, dengan diketahui Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno (mantan Wakil Presiden RI ke-6).

Sebagai masyarakat yang hidup di negara demokrasi, kita sangat menghargai dan menghormati aspirasi para senior purnawirawan tersebut. Hal itu sangat wajar karena dilandasi kecintaan mereka kepada bangsa dan negara. Namun, pandangan yang berbeda tentu juga perlu didengarkan dan dihormati pula agar masyarakat mendapatkan informasi yang berimbang dan komprehensif.

Delapan tuntutan yang diajukan forum purnawirawan ini mencakup isu-isu fundamental dalam ketatanegaraan dan kebijakan publik. Tuntutan untuk mengembalikan UUD 1945 ke versi asli misalnya, secara implisit menolak empat kali amandemen reformasi yang telah memperkuat demokrasi konstitusional kita. Jika dikembalikan ke versi asli, sistem presidensial bisa kembali menjadi sangat sentralistik, membuka ruang pelanggaran HAM, dan melemahkan prinsip checks and balances yang dijunjung tinggi sejak reformasi 1998.

Kritik terhadap IKN (Ibu Kota Nusantara) juga menjadi bagian dari tuntutan forum ini. Kritik sah secara demokratis, apalagi jika dikaitkan dengan isu anggaran dan lingkungan. Namun, bila kritik tersebut digunakan sebagai alat delegitimasi politik terhadap presiden sebelumnya (Joko Widodo), ini bisa menimbulkan polarisasi elite yang merugikan semangat persatuan nasional. Evaluasi terhadap proyek IKN sebaiknya dilakukan oleh tim independen yang mencakup akademisi, birokrat, pelaku usaha, komunitas, dan media.

Tuntutan untuk menghentikan proyek strategis nasional seperti PIK2 dan Rempang, serta menolak tenaga kerja asing (TKA) China tanpa data valid, menunjukkan kecenderungan populisme dan potensi xenofobia. Di tengah globalisasi, keberadaan TKA tidak bisa dihindari sepenuhnya. Pengawasan perlu, tetapi bukan melalui sentimen rasial. Dalam konteks ini, prinsip sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab seharusnya menjadi acuan.

Penertiban tambang sesuai UUD Pasal 33 sangat relevan dengan semangat keadilan sosial. Namun implementasinya memerlukan koordinasi lintas sektor dan tata kelola yang jujur dan berintegritas. Tuntutan reshuffle kabinet pun sah sebagai kritik, tetapi tidak boleh ditunggangi oleh kepentingan politik masa lalu yang ingin mengatur ulang peta kekuasaan.

Tuntutan agar Polri ditempatkan di bawah Kemendagri menyentuh struktur kelembagaan dan netralitas hukum. Secara hukum, perubahan ini memerlukan revisi undang-undang dan kajian mendalam. Potensi politisasi aparat daerah menjadi risiko serius yang perlu dipertimbangkan.

Apa Salah Gibran?

Dari sudut hukum positif, sejauh ini tidak ada pelanggaran konstitusional atau pidana yang secara langsung melibatkan Gibran. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memungkinkan Gibran maju di Pilpres memang kontroversial karena dipimpin oleh pamannya (Anwar Usman), tapi itu adalah domain etik dan integritas lembaga, bukan pelanggaran langsung oleh Gibran. Kasus akun fiktif Fufufafa dan tuduhan manipulasi opini publik belum terbukti berdampak hukum apalagi dikaitkan langsung ke Gibran. 

Tuduhan ketidakmampuan atau dugaan adanya “masalah psikologis” tak berdasar karena tak ada evaluasi resmi medis ataupun psikologis atau hasil kerja yang bisa jadi dasar pemakzulan. Pasal 7A UUD 1945 menyatakan bahwa: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Artinya, belum ada dasar hukum atau bukti kuat untuk memberhentikan Gibran lewat jalur konstitusional.

Kenapa Banyak Tudingan?

Beberapa kemungkinan penyebab serangan terhadap Gibran:

  • Kecemasan kolektif (collective anticipatory anxiety) atas munculnya sosok muda dengan latar dinasti politik, berasal dari kalangan sipil dan berpotensi menjadi presiden RI pada tahun 2029.
  • Perasaan kehilangan pengaruh di kalangan elite lama, termasuk sebagian purnawirawan, yang tidak nyaman dengan transisi kepemimpinan dan koalisi baru.
  • Asumsi bahwa Gibran “tidak layak atau tidak cakap” karena usia, kapasitas dan pengalaman — ini mencerminkan bias kognitif (cognitive bias) yang mengabaikan bahwa sistem demokrasi membuka ruang kesetaraan bagi siapa pun yang memenuhi syarat untuk menjadi wapres dan/atau presiden. Kompetensi dan kecakapan politik memerlukan jam terbang pada posisi saat ini di dalam sistem politik demokrasi bukan berada di luar sistem.
  • Trauma politik sebagian elite terhadap masa lalu Orde Baru yang militeristik, membuat munculnya “anak presiden” memunculkan ketakutan akan kemunduran demokrasi.

Gibran, sebagai figur muda, tentu patut diberi ruang. Namun ruang itu harus dijaga dengan asas etika, keadilan, dan kesetaraan kesempatan, bukan rekayasa prosedural atau celah hukum semata. Pernyataan Surya Paloh seolah memberi restu moral kepada Gibran. Tapi publik bertanya: apakah restu itu lahir dari telaah kebijaksanaan atau sekadar taktik posisi dalam pusaran kekuasaan? Dalam perspektif Pancasila, elite politik seharusnya menjadi panglima moral, bukan hanya aktor strategi. Secara yuridis, Mahkamah Konstitusi telah membuka jalan bagi Gibran melalui putusan kontroversial yang dituding mengandung konflik kepentingan. Namun, hukum dalam konteks negara hukum (rechtsstaat bukan machstaat) bukanlah sekadar legalitas prosedural, melainkan menjunjung tinggi etika konstitusional (constitutional morality). Pasal 22E UUD 1945 mengamanatkan bahwa pemilu harus langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Jika prinsip keadilan dan kesetaraan dikompromikan oleh celah-celah manipulasi, maka secara substantif nilai konstitusi telah dilanggar. Dalam hal ini, suara purnawirawan yang mengecam praktik-praktik menyimpang seharusnya dipandang sebagai pengingat sejarah, bukan musuh negara.

Surya Paloh: Menjaga Marwah Pancasila dan Konstitusi

Pernyataan Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, bahwa Gibran Rakabuming Raka tidak memiliki skandal, jadi usulan para senior purnawirawan TNI tersebut tidak tepat, tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka membuka babak baru dalam kontestasi legitimasi moral dan politik pasca-Pemilu 2024. Kita semua tahu bahwa pada Pilpres 2024 yang lalu, Partai NasDem adalah pengusung utama Anies R. Baswedan sebagai Capres bersama koalisi partai PKB dan PKS. Namun di tengah riuhnya suara publik, kritik para purnawirawan TNI, dan kecamuk opini internal elite partai, pernyataan tersebut seakan menjadi sinyal pergeseran posisi politik nasional yang tak bisa dilihat semata dari hitam-putih kalkulasi elektoral.

Di satu sisi, Gibran tampil sebagai representasi generasi baru yang melangkah cepat, namun menuai kontroversi karena jalur karier politiknya dipandang oleh sebagian pihak melampaui batas etika konstitusional. Di sisi lain, para purnawirawan — khususnya mereka yang tumbuh dalam kultur ketatanegaraan yang kuat — menyuarakan keprihatinan atas tercederainya prinsip keadilan, keterbukaan, dan kenegarawanan. Maka, muncul pertanyaan: dalam demokrasi Pancasila, ke mana arah moral politik bangsa ini bergerak? Sebagai partai nasionalis yang kuat dalam memegang amanat pendiri bangsa, fondasi utama berjalannya partai adalah Pancasila. Pancasila bukan hanya fondasi normatif, tetapi jiwa yang menggerakkan arah bangsa. Dalam sila keempat — Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan — terkandung semangat deliberatif, bukan sekadar kompetisi suara mayoritas.

Pernyataan Surya Paloh tentang Gibran, betapapun diplomatisnya, meski tidak cukup menjawab kegelisahan publik, namun menunjukkan positioning politik yang jelas dan tegas. Sebagai politisi senior, dan tokoh nasional, Surya Paloh bukan mau berdiri di barisan pemenang, mencari-cari posisi, melainkan di sisi kepentingan bangsa dan negara. Menjadi negarawan berarti menjaga jarak dari kekuasaan jika kekuasaan itu telah menanggalkan nilai. Namun ketika negara dan bangsa dirasakan akan menghadapi potensi perpecahan dan konflik sesama saudara sebangsa, ada potensi gangguan instabilitas nasional, maka watak kenegarawanan itu tampil ke permukaan. Surya Paloh telah melakukan apa yang dikerjakan tokoh dunia lainnya seperti Abraham Lincoln atau Nelson Mandela yang tak segan menegur bangsanya demi nilai, bukan elektabilitas dan kepentingan politik praktis semata.

Secara sosiologis masyarakat, suara rakyat hari ini tidak tunggal, tetapi ada riak gelombang keresahan. Banyak masyarakat, khususnya generasi muda dan kalangan sipil terdidik, merasa bahwa politik telah menjadi panggung pragmatisme, bukan idealisme. Kesan bahwa pemimpin bisa “diciptakan” oleh kekuasaan dengan mekanisme hukum yang lentur menciptakan jarak antara rakyat dan sistem. Gibran, sebagai simbol generasi baru, masih bisa menjadi tokoh penting bila tampil dengan kejujuran, kerendahan hati, dan keberanian menegakkan nilai, bukan sekadar menumpang pada arus apalagi di bawah bayang-bayang ayahnya yang mantan presiden. Para purnawirawan yang bersuara pun bukan semata nostalgia kekuasaan, tetapi penjaga nilai luhur bangsa yang dibangun dengan darah dan pengorbanan.

 Sementara itu, tokoh seperti Surya Paloh harus memilih tetap menjadi negarawan yang menjunjung Pancasila, bukan sekadar pragmatisme politik. Karena sejarah akan mencatat, bukan siapa yang menang dalam politik, tapi siapa yang tetap berdiri di sisi kebenaran saat banyak orang memilih diam. Akhirnya, politik Indonesia memerlukan pencerahan, bukan hanya pemenangan elektoral. Kebenaran harus diperjuangkan, bukan dinegosiasikan. Demi Indonesia yang ber-Pancasila, berkonstitusi, dan tetap bermoral publik. Salam Pancasila.