Putusan MK Timbulkan Krisis Konstitusi, JPPR Desak Kodifikasi UU Pemilu

syahidan.jpg

Kamis, 10 Juli 2025 – 09:30 WIB

Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra (ketiga kanan) bersama Anggota Majelis Hakim MK Ridwan Mansyur (kiri), Daniel Yusmic Foekh (kedua kiri), Arief Hidayat (ketiga kiri), Enny Nurbaningsih (kedua kanan) dan Arsul Sani (kanan) memimpin jalannya sidang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (24/6/2025). (Foto: Antara/Muhammad Adimaja)

Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra (ketiga kanan) bersama Anggota Majelis Hakim MK Ridwan Mansyur (kiri), Daniel Yusmic Foekh (kedua kiri), Arief Hidayat (ketiga kiri), Enny Nurbaningsih (kedua kanan) dan Arsul Sani (kanan) memimpin jalannya sidang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (24/6/2025). (Foto: Antara/Muhammad Adimaja)

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden segera melakukan kodifikasi Undang-Undang Pemilu.

Hal ini dinilai mendesak sebagai tindak lanjut Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 dan merespons Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal.

“Bahwa berpedoman pada pasal 10 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut, maka DPR atau Presiden, poin pertama dan utama, harus berdasarkan ketentuan UUD 1945,” kata Koordinator Nasional JPPR, Rendy N.S. Umboh dalam keterangannya, Jakarta, Kamis (10/7/2025).

JPPR menyoroti pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah yang akan digelar dalam rentang 2–2,5 tahun setelah Pemilu nasional, atau setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, Pilkada diproyeksikan berlangsung di tahun 2031 atau 2032.

Demikain juga soal Pemilu DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota, JPPR menekankan bahwa penyelenggaraan harus tetap mengacu pada UUD 1945 yang mewajibkan pemilihan umum dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

“Bahwa JPPR berpandangan, tidak ada alasan yang dapat dibenarkan apabila pemilihan umum anggota DPRD tidak dilaksanakan setiap lima tahun sekali in casu dilaksanakan melebihi lima tahun sekali,” kata Rendy.

Rendy menegaskan bahwa ketentuan Pasal 22E ayat 1 dan 2 UUD 1945 sudah jelas, lugas, dan tidak memiliki ruang untuk tafsir yang berbeda. Karena itu, pelaksanaan Pemilu DPRD harus dijalankan sesuai amanat konstitusi tanpa penafsiran lain, baik oleh DPR, Presiden, maupun Mahkamah Konstitusi.

“Bahwa Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945), maka segala sesuatu harus berdasarkan hukum. Teori Hukum Hans Kelsen menyebutkan bahwa Undang-Undang Dasar atau Konstitusi merupakan norma tertinggi (grundnorm) dalam hierarki norma,” ujar Rendy.

JPPR menilai bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 memiliki masalah konstitusional yang serius, terutama terkait penundaan Pemilu DPRD dengan jeda waktu 2–2,5 tahun.

“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait Pemilu DPRD dipisah dengan jeda 2–2,5 tahun setelah Pemilu 2029, adalah inkonstitusional,” ujarnya.

Ditegaskan, penyelenggaraan Pemilu DPRD harus tetap dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali sesuai Pasal 22E ayat 1 dan 2 UUD 1945.

“Bahwa putusan final dan mengikat Mahkamah Konstitusi harus diletakkan secara ideal, objektif, proporsional dan konstitusional, bahwa putusan tersebut adalah dalam hal menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,” katanya.

Dengan demikian, JPPR mendesak agar proses kodifikasi Undang-Undang Pemilu segera dijalankan secara menyeluruh dan konsisten dengan UUD 1945 demi memastikan kepastian hukum dan menjaga prinsip demokrasi di Indonesia.
 

Topik
Komentar