Revisi UU Pemilu Harus Dibahas Inklusif, Jangan Sampai Putusan MK Jadi tak Berarti


Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati mengingatkan DPR dan penyelenggara pemilu agar revisi undang-undang dibahas secara inklusif dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Neni mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru ini akan sia-sia jika masih didominasi para elite.

Neni memandang revisi sistem pemilu harus memperhatikan keberagaman kondisi sosial-politik di berbagai daerah, menjamin keterwakilan kelompok marjinal, serta memastikan bahwa pemilu bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan, melainkan ruang pendidikan politik dan artikulasi aspirasi rakyat.

“Oleh karena itu, pembahasan revisi undang-undang harus dilakukan secara inklusif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan penyelenggara pemilu, partai politik, masyarakat sipil, akademisi, kelompok perempuan dan pemilih muda, serta komunitas adat dan disabilitas,” kata Neni kepada Inilah.com, Minggu (29/6/2025).

Dengan pendekatan partisipatif dan berbasis bukti, Ia menambahkan, Indonesia dapat menghasilkan sistem pemilu yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil dan bermakna secara demokratis. Di satu sisi, Neni menilai pemisahan pemilu nasional dan lokal bukanlah solusi jika para elite masih dominan.

“Putusan MK ini akan menjadi sia-sia jika hanya bergeser dari ’serentak yang kacau’ menjadi ‘terpisah yang tak berarti’. DEEP menolak pendekatan kosmetik. Jika sistem elektoral tetap dikuasai elit partai dan calon-calon yang hanya kuat secara finansial, maka frekuensi pemilu yang lebih banyak hanya memperbesar ruang transaksi, bukan kualitas demokrasi,” jelas Neni.

Menurutnya, pemisahan pemilu membuka peluang untuk memulihkan kembali ruang kontestasi lokal yang selama ini terbenam oleh euforia nasional. DEEP Indonesia melihat hal ini sebagai momentum strategis untuk mendorong munculnya pemimpin lokal berbasis rekam jejak, bukan popularitas instan.

“Namun ini tidak akan terjadi jika tidak dibarengi dengan reformasi politik partai di daerah dan pembatasan oligarki politik lokal,” sambungnya.

Dengan begitu, Neni menyebut pihaknya mendesak agar pemisahan ini tidak berhenti di jadwal teknis, tetapi harus menyentuh desain ulang sistem pemilu yang lebih adil. Termasuk sistem pencalonan, pendanaan politik, ambang batas pencalonan, dan pendidikan pemilih. “Tanpa itu, yang terjadi hanya pengulangan siklus kerusakan lima tahunan yang lebih sering dan lebih mahal,” tegas Neni.