Kanal

Ridha Ibu, Kepemimpinan Empatik dan Masa Depan Indonesia

Kepemimpinan yang penuh empati pada sesama, datang dari karakter yang dibentuk seorang ibu kepada anak yang dirawat dan didik sejak kecil.

Oleh    : Widdi Aswindi

Bayangkan bila ibu kita seorang yang lumpuh, namun memiliki keinginan kuat untuk berhaji. Sementara saat itu kondisi kehidupan kita tengah didera melarat papa. Barangkali yang kita lakukan dari hari ke hari, manakala sang ibu mengingatkan akan keinginannya itu, tak lain kecuali merayunya untuk melupakan niat tersebut. Itu pun mungkin sedikit lebih baik dibanding memarahi sang ibu dan menyebutnya tak tahu diri.

Kita tahu, tidak demikian dengan pemuda Uwais Al-Qarni. Dalam kepapaan kehidupannya, pemuda Yaman itu terus bekerja keras dan mengumpulkan uang. Setelah terkumpul agak banyak, dengan kepingan dirham itu dibelinya lembu, bukan unta yang harganya “wah”. Itu pun hanya cukup untuk membeli anak lembu, yang harus dipeliharanya delapan bulan hingga dirasa cukup kuat untuk dinaiki sang ibu.

Dengan lembu yang dinaiki sang Ibu, Uwais menyusuri jalanan pada jarak lurus 1.119 kilometer dari Yaman ke Mekkah. Sebagian di antaranya menyeberangi gurun pasir yang terik di siang hari dan dingin membekukan tulang saat malam. Saat tiba prosesi haji, digendongnya sang ibu selama thawaf, sa’i dan perjalanan ke Mina serta Arafah untuk wukuf.

Dengan pengabdian setinggi itu, wajar bila sang ibu heran manakala Uwais di Arafah justru berdoa,”Ya Allah, ampunilah segala dosa ibuku.”

Di antara derai air mata syukurnya atas karunia putra sesalih itu, sang ibu bertanya bagaimana dengan dosa Uwais? “Bila dosa Ibu terampuni,” kata Uwais, “Ibu akan masuk Sorga. Cukuplah ridha Ibu yang akan membawa saya ke Sorga.” Sikap itu menerbitkan ridha sang ibu, menyebabkan keridhlaan Ilahi, membuat Uwais menjadi tokoh yang dikenal di langit meski ia bukanlah siapa-siapa di antara kebutaan jiwa warga bumi. Posisinya itu membuat Rasulullah Muhammad SAW meminta Sayyidina Ali dan Sayyidina Umar bin Khattab menjumpai Uwais di Yaman, dan memintanya mendoakan.

***

Dalam ajaran Islam, ibu memang menempati posisi utama untuk dihormati. Ingatlah kisah Juraij, seorang rahib di masa “pra-Islam” yang tak menjawab panggilan ibunya karena sedang shalat. Ia pun harus mengalami masa-masa tak menyenangkan karena doa buruk ibunya. Kisah itu bahkan menyebabkan perbedaan pandangan di antara pemeluk Islam tentang apa yang harus dilakukan jika ibu memanggil kita di saat sedang shalat. Banyak mazhab, Syafii dan Hanbali, misalnya, melalui Imam Ahmad bin Hanbal, menyatakan bahwa ketika seorang anak tengah melakukan shalat sunat, kemudian salah salah satu di antara kedua orang tuanya memanggil, dia harus menghentikan shalat untuk memenuhi panggilan itu.

Islam juga memprioritaskan ibu dibanding bapak dalam penghormatan dari anak mereka. Dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa seorang ibu dihormati tiga kali sebelum ayah.

Para ulama kemudian menjabarkan hak-hak seorang ibu dari anak-anaknya. Di antaranya adalah diperlakukan dengan baik, dipatuhi dan ditaati, dihibur manakala gundah, ditemani anak-anaknya di masa tua, dibantu segala keperluannya, dan sebagainya.

***

Karena sejatinya ibulah yang membangun watak seorang anak, ibu juga berperan dalam menentukan masa depan sebuah peradaban, sebuah negeri dalam bentuknya yang lebih kecil. Tak heran bila tradisi Islam pun menegaskan peran sentral ibu—kaum perempuan—itu dalam ketahanan sebuah peradaban atau negeri. “Wanita itu tiang negara, jika baik wanitanya maka baiklah negaranya. Rusak wanitanya maka rusak pula negaranya,”sabda Nabi Muhammad SAW.

Sebab, berkaitan dengan hak ibu dalam Islam, yakni merawat, memelihara dan mendidik anak sejak kecil, ibu yang pada akhirnya memberikan dan membentuk karakter sang anak. “Dari rumah, (datang) karakter, dari buku datang wawa-san,”kata cendikiawan terkemuka Indonesia, Mochtar Pabottingi dalam bukunya, Burung-burung Cakrawala.

Karena itulah, wajar bila peran seorang ibu senantiasa dikaitkan dengan peradaban. “Hanya ibu yang bisa memikirkan masa depan,”kata sastrawan kaliber Nobel dari Rusia, Maxim Gorky, “Karena mereka melahirkannya pada anak-anak mereka.”

Didikan seorang ibu juga terlihat nyata pada anak-anaknya. Jika anaknya itu kelak menjadi pemimpin, kreasi jiwa ibunya itu yang kemudian menonjol menjadi bagian dari karakter kepemimpinannya.

Artinya, kita bisa membayangkan pendidikan masa kecil seperti apa yang diterima para pemimpin keji seperti Hitler dan Stalin, misalnya. Sebab paling tidak, dari sejarah kita tahu Hitler dibesarkan ayahnya, Alois, seorang petugas bea cukai dan istri ketiganya, Klara. Dengan sebagian besar saudara kandung yang meninggal di masa kanak-kanak, Adolf kecil harus hidup dengan yang mendominasi ibunya. Sementara si ibu tak berdaya, Adolf kecil menjadi sasaran pemukulan dan penghinaan ayahnya, hingga meninggal saat Adolf masih berusia 14 tahun.

Stalin muda—dikenal sebagai “Soso” di keluarga—adalah seorang anak pembuat sepatu yang jatuh melarat. Frustrasi membuat sang ayah sering berlaku kejam dan alkoholik, yang mendorong ibu Stalin pergi, membawa Soso ke kehidupan yang juga penuh dera dan sulit.

Tapi bagaimanapun, dengan versi seperti apapun, batin seorang manusia pada hakikatnya merupakan bentuk yang tercipta dari dari “kasih sayang” ibunya.  “Kita lahir dari cinta; cinta adalah ibu kita,” kata Maulana Jalaluddin Rumi.

***

Sebaliknya, seorang ibu yang baik dan normal akan membentuk karakter terpuji dari seorang pemimpin, anak yang dilahirkannya di masa lalu. Di sisi lain, ibu juga memberi kesan kuat dan inspirasi pada putranya.

Itu yang terjadi pada banyak pemimpin. Anies Baswedan hanya di antaranya. Aktivitas ibunya, Prof Aliyah Rasyid, yang sarat dengan berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan, diakui Anies sangat membekas di batinnya. Ibu Aliyah, misalnya, banyak bergerak dalam memberikan beasiswa bagi siswa dan mahasiswa dari keluarga prasejahtera, terutama dari luar Jawa, melalui Yayasan Orbit Yogya.

Anies mengakui peran inspiratif ibunya itu dalam akun Facebook-nya. Pengakuan yang wajar menjadi alasan betapa Anies banyak membawa serta ibunya—yang telah ditinggal suami—ke beberapa even besar yang melibatkan dirinya.

“Hingga kini, 52 tahun kemudian, Ibu masih mengajar, masih membimbing di-sertasi dan masih terus dalam berbagai kegiatan sosial-keagamaan. Anak angkatnya, umumnya dari daerah-daerah yang bersekolah di Yogya. Mereka kini ada di mana-mana, bahkan salah satu anak angkatnya di Sorong, Papua Barat sana membuat Masjid dan pusat kegiatan dengan dinamai: Aliyah. Bersyukur beberapa waktu lalu sempat antar Ibu menengok dia, yang kini telah jadi “orang” di tanah asalnya di Papua,”tulis Anies, 22 Desember 2017.

Meneladani sang Ibu, kita tahu Anies juga aktif memajukan dunia pendidikan dan menjalankan kegiatan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Indonesia Mengajar” adalah gerakan masyarakat yang diinisiasi Anies untuk mengajak seluruh masyarakat Indonesia ikut mendorong peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Sejak berdiri pada 2009, Indonesia Mengajar sudah mengirim 1.157 pengajar muda ke berbagai lokasi terpencil, melibatkan lebih dari 106 ribu orang dengan interaksi lebih dari 38 juta kali.

Programnya yang lain, “Gerakan TurunTangan” yang bergerak dalam pemberdayaan di bidang pendidikan, sosial kemanusiaan, lingkungan, Kesehatan dan pendidikan politik, juga mencatatkan keikutsertaan lebih dari 53.000 orang relawan. Basis aktivitas gerakan itu meluas hingga 77 daerah di seluruh Indonesia.

Penerima Nobel Perdamaian, Albert Schweitzer, pernah bilang bahwa kepemimpinan sejatinya adalah urusan tentang memberikan contoh teladan. Tidak hanya itu, kepemimpinan juga soal gembur atau kerasnya sang pemimpin berkaitan dengan rakyatnya. Wajar bila sejarah kemudian banyak mencatat  bahwa para pemimpin yang peduli rakyatnya itu sebagai orang besar. Mereka yang tahu, bahwa persoalan rakyat seharusnya diletakkan lebih tinggi dari dirinya. Mungkin seperti Umar bin Khattab, yang diceritakan kerap melakukan inspeksi sendirian, malam-malam, guna tahu dan mencari solusi bagi masalah rakyatnya. Cerita tentang Umar yang memaksa memanggul sendiri karung tepung untuk satu keluarga miskin, telah mengilhami dan menggemburkan hati kita di masa kanak-kanak.

Teladan yang beredar mendunia, karena juga tercatat dicontoh Presiden AS, Theodore Rossevelt. Ia pernah disebut kalangan Gedung Putih sebagai “Harun Al Rosevelt”-laiknya Harun Al Rasyid yang bijak– karena hobinya menyelinap malam-malam untuk menemani para polisi bertugas, para tentara—rakyat kecil AS– berjaga.

Kita yang hidup di Jawa, sejak lama telah mengetahui hubungan erat sikap empati dengan kepemimpinan ini. Seorang bijak dalam sejarah Jawa, mungkin filosof dalam sebutan di Eropa, Ki Ageng Suryomentaram, pernah bicara bahwa apabila kepentingan kekuasaan berlandaskan sesuatu yang salah,kekuasaan pun hanya akan menjadi hasrat menguasai orang lain. “Sementara berkuasa, atau dipercaya,”kata beliau,”Sebenarnya ada untuk mengenakkan orang lain.”

Di masa ini kita lebih mungkin mendapatkannya dari ratu talk-show Oprah Winfrey. “Leadership is about empathy,”kata Oprah. “Tentang kemampuan untuk berhubungan dan terhubung dengan orang-orang dengan tujuan menginspirasi dan memberdayakan hidup mereka.” [  ]

*Praktisi dan pegiat survey

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button