Market

Risiko Besar di Balik Pertumbuhan Ekonomi Ditopang Konsumsi


Hari-hari ini, masyarakat dicekoki janji selangit para calon presiden (capres). Terutama angka-angka ekonomi dikerek tinggi-tinggi. Diimbuhi narasi-narasi indah. Namun, gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Hal ini sering kita dengar menjadi bahan obrolan warung kopi (warkop). Termasuk di sebuah kedai kopi di kawasan Petukangan Selatan (Petsel), Jakarta Selatan, Minggu (31/12/2023).

Namanya Lukman, pemilik kedai kopi ‘Jakarta Ngumpul’, memulai obrolan dengan gembar-gemborkan salah satu capres, jagoannya yang mematok angka pertumbuhan ekonomi 7 persen.

Angka ini cukup tinggi. Karena, sepuluh tahun SBY maupun Jokowi, ekonomi belum pernah tumbuh hingga 7 persen.

“Nah ini baru pemimpin yang paham betul bagaimana menata ekonomi Indonesia. Dia jagoanku, pasang target ekonomi tumbuh 7 persen. Sesuai dengan visi Indonesia Emas 2045. Beda dengan capresmu, enggak paham ekonomi kayaknya,” kata Lukman kepada Wahidin yang duduk tepat di depannya.  

Mendengar kalimat itu, Wahidin tak mau kalah. Pria yang berprofesi sebagai pengemudi Grab itu, menimpali begini. 

“Eh, nanti dulu Luk. Jagoanku, memang targetkan ekonomi hanya 5,5 persen. Karena di itu orang jujur, enggak mau muluk-muluk kayak jagoanmu. Yang (rezim) sekarang kan begitu, janji 7 persen tapi kenyataannya hanya 5 persenan,” papar Bang Way, sapaan akrab pria asal Cirebon itu.

Mendengar perdebatan itu, Maman yang usai menyeruput kopi, ikut buka suara. Kebetulan, capres favoritnya juga memasang target pertumbuhan ekonomi 7 persen. Hanya saja, capresnya itu, beda dengan jagoan Lukman.

“Sebentar Bang Way, capresku juga optimis bisa menumbuhkan ekonomi 7 persen. Program makan siang dan susu gratis, membuat rakyat sehat dan produktif. Sehingga potensi ekonomi tumbuh 7 persen semakin terang arahnya,” kata Maman yang kepalanya plontos itu.

Semakin siang, percakapan semakin serius dan panas. Satu sama lain saling berbantah. Hingga akhirnya semuanya terdiam. 

“Kamu semua kelihatannya enggak berkaca. Memangnya kalau capres kamu menang, kehidupannya bisa langsung berubah? Menjadi lebih sejahtera? Penghasilan naik? Ayo jawab,” kata Abidin, salah satu pengunjung warkop yang baru saja kena PHK.

Abidin pun membeberkan pengalaman pahitnya kena PHK di awal Desember 2023. Dia adalah karyawan di sebuah industri tekstil di Banten. “Tahun ini, sepertinya akan lebih banyak lagi pabrik yang bangkrut. Ribuan pekerja bakal kena PHK. Jadi, setop heboh copras-capres deh,” kata Abidin.

Pernyataan Abidin menunjukkan betapa kuatnya pesimistis terhadap masa depan perekonomian Indonesia. Manakala pemimpin hasil Pilpres 2024, sesuai keinginan pasar atau investor, maka persepsi miring Abidin, bisa berbalik.

Memang betul, tantangan ekonomi pada 2024 ini, naga-naganya lebih berat ketimbang sebelumnya.

Berdasarkan kajian INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), pertumbuhan ekonomi diproyeksikan di bawah 5 persen. Tepatnya 4,8 persen. Angka lebih rendah ketimbang target pemerintah dalam APBN 2024 sebesar 5,2 persen.

Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ditopang konsumsi punya plus-minus. Kunci adalah daya beli. Ketika daya beli masyarakat menguat maka ekonomi akan tumbuh tinggi. Begitu pula sebaliknya.

“Artinya, daya beli menjadi penentu bagi pertumbuhan ekonomi saat ini. Nilai plusnya lebih stabil, dibandingkan pertumbuhan ekonomi yang bersumberkan investasi atau ekspor-impor,” kata Tauhid saat dihubungi Inilah.com, Jumat (29/12/2023).

Artinya, lanjut dia, ketika Indonesia menghadapi gejolak global, maka hal ini menjadi tentu pertumbuhan ekonomi akan lebih stabil mengandalkan sisi konsumsi. “Maka paling tidak separuh daya ekonomi kita masih berjalan dan orang masih butuh buat makan,” ujarnya.

Sedangkan kelemahannya, kata Tauhid, perlu usaha yang lebih keras untuk mendorong agar kegiatan ekonomi bisa tetap mumpuni dan berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi.

“Perlu energi atau ekstra effort yang lebih besar, dibandingkan sisi lainnya dalam sumber pengeluaran kita, investasi, ekspor impor. Secara garis besar itu ya,” jelasnya.

Saat ini, misalnya, masyarakat menengah-bawah yang penghasilannya tidak naik, menjadi kelompok yang paling sulit bergerak. Di tengah mahalnya harga barang khususnya pangan, kelompok ini harus berjuang sekuat tenaga untuk mencukupi kebutuhannya. Kalau perlu ‘makan tabungan’ alias mantab.

Beda dengan kelompok miskin yang digelontorkan banyak program bantuan sosial (bansos) oleh pemerintah, cukup terbantu. Agar adil, kata Tauhid, pemerintah meringankan beban kelompok menengah.

Caranya, kata dia, bisa dengan membantu kelompok ini mengurangi cost atau pengeluaran. “Misalnya dengan tetap memberikan subsidi energi, BBM, LPG, biaya pendidikan dan kesehatan, serta lainnya. Ini perlu untuk menjaga daya beli dari kelompok menengah,” ungkapnya.

Tauhid benar. Untuk menumbuhkan ekonomi dengan menjaga konsumsi, perlu biaya tinggi. Padahal, outputnya acapkali tidak berkualitas. Karena pertumbuhan ekonomi yang terjadi, tidak signifikan menyerap tenaga kerja.

Karena, pertumbuhan ekonominya tidak meletakkan kepada bertumbuhnya investasi padat modal dan karya. Atau industrialisasi yang masif. Wajarlah, jika tidak banyak lapangan kerja yang muncul.

Per Agustus 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,86 juta jiwa. Hanya berkurang 560 ribu orang dibanding Agustus 2022.

Masih menurut BPS, angkatan kerja baru di Indonesia mencapai 3,5 juta jiwa tiap tahun. Mereka harus berjibaku dengan jutaan pengangguran lainnya untuk mendapatkan pekerjaan.  

Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang ditopang konsumsi, biayanya cukup mahal. Karena pemerintah harus menjalankan program bantuan sosial (bansos), perlindungan sosial (perlinsos) dan subsidi yang berbiaya besar. Agar masyarakat tetap memiliki daya beli.

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah mengetakan, anggaran untuk perlinsos, bansos dan subsidi per Novevember 2023, mencapai Rp10.60 triliun. Wow. Tahun ini, kemungkinan sama besarnya dengan tahun lalu.

Kalau sistem seperti ini tidak lekas diubah, maka beban APBN akan berat. Ancaman serius terhadap defisit. Yang biasanya diselesaikan dengan menambah utang.

Kerusuhan Sosial di Chile

Kajian INDEF ini, senada dengan analisa eks Menteri Keuangan (Menkeu) era SBY, Chatib Basri. Dia menyampaikan, pertumbuhan ekonomi saat ini yang ditopang konsumsi, punya risiko besar. Apalagi, tidak ada yang tahu sampai kapan kenaikan harga barang, kapan berhentinya. 

Ekonom senior asal UI ini, menyebut banjirnya program bansos saat ini, merupakan konsekuensi dari sistem ekonomi yang ditopang konsumsi. Dalam hal ini, kelompok menengahlah yang paling sengsara.

Untuk bertahan hidup, kata Chatib, kelompok menengah harus jebol celengan, alias mengambil duit tabungan di bank. Istilah yang ngetren saat ini, mantab. Atau makanan tabungan. 

Sedangkan kelompok masyarakat bawah atau miskin, agak lumayan nasibnya. Karena mendapat bantuan pemerintah melalui berbagai macam program bansos. Tidaklah terlalu sengsara.

Chatib pun merujuk pengalaman Chile yang baru saja mengalami kerusuhan sosial, Chilean Paradox. Di mana, kelompok menengah justru tidak dianggap oleh pemerintah Chile.

Pada September lalu, Chatib mendengar cerita Chilean Paradox langsung dari mantan Presiden Chile, Michelle Bachelet. Awalnya, perekonomian Chile sedang bagus-bagusnya.

Chile yang kaya minyak itu, menjadi negeri yang pertumbuhan ekonomi tertinggi di Amerika Latin. Angka kemiskinan terjun bebas dari 53 persen, tersisa hanya 6 persen. Jauh lebih oke ketimbang Indonesia.

Namun pada Oktober 2019, meletus kerusuhan sosial yang hampir berujung revolusi. Nah, peristiwa itulah yang disebut The Chilean Paradox.

Kerusuhan itu, dimotori kelas menengah Chile yang merasa dianaktirikan oleh pemerintah. Di mana, kebijakan pemerintah Chile terlalu fokus kepada kelompok masyarakat terbawah.

Sementara, kebutuhan kelas menengah terhadap pendidikan yang bagus dan fasilitas umum yang layak, tidak diperhatikan pemerintah Chile.

Intinya, pemerintah lebih fokus kepada masyarakat miskin yang porsinya hanya 10 persen itu. Sehingga meletuslah kerusuhan sosial itu.

“Pemerintah Indonesia harus belajar dari peristiwa ini. Beberapa tahun ke depan, kelas menengah akan mendominasi penduduk Indonesia. Kalangan ini, tidak membutuhkan bantuan sosial atau uang tunai. Namun fasilitas umum yang lebih baik,” kata Chatib.

Dalam satu dekade ke depan, kata Chatib, jangan kaget jika pemimpin Indonesia punya keberpihakan kepada kelompok menengah. Mereka yang concern terhadap peningkatan layanan publik yang selama ini menjadi atensi kelompok menengah.

“Dalam 10 tahun lagi, jangan heran jika presiden Indonesia  adalah sosok yang bisa menyelesaikan masalah sampah, parkir dan fasilitas umum, karena urbanisasi yang terjadi,” pungkasnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button