Kanal

Sejatinya, Kita Ini Hanya Negara Peminta Makan

Sepantasnya kita memberi nilai tukar yang lebih layak kepada hasil-hasil pertanian. Sebab hanya dengan itu kita masih punya harapan untuk menjadikan negara ini negeri yang memberi makan dunia, bukan menadah tangan dan hanya meminta. Menjadi petani adalah pekerjaan ilahiah. Tinggal kita bersama berusaha agar yang ilahiah itu juga menjadi pekerjaan yang layak dalam kacamata dunia. “Tujuan puncak pertanian bukanlah semata-mata menanti hasil panen,”kata petani sekaligus filsuf pertanian, Masanobu Fukuoka,” melainkan mengolah dan menyempurnakan manusia.”

Oleh    : Darmawan Sepriyossa

Pada peletakan batu pertama Institut Pertanian Bogor (IPB), tahun 1953, Bung Karno berkata, ”Pangan merupakan hidup matinya bangsa kita.” Dan Presiden Jokowi, melalui berbagai pernyataan resmi beliau di waktu-waktu lalu, meyakinkan kita bahwa ia seorang presiden yang tak hanya patriotik, namun juga Soekarnois.

Maka wajar publik terheran-heran—sebagaimana kebiasaan para pejabat– ketika tiba-tiba menggelegar rencana untuk mengimpor beras sebanyak dua juta ton, sepanjang 2023 ini. Bukan karena mengimpor adalah perbuatan haram; ia mubah saja. Yang haram tentu saja manakala pemerintah membiarkan rakyatnya bertumbangan karena kelaparan, seperti yang konon tengah terjadi di Korea Utara, di tengah tertutupnya pintu untuk pemberitaan yang transparans.

Namun kita juga tahu, 70 tahun setelah optimisme Soekarno di IPB itu, kita masih menyaksikan negeri ini belum berjaya dalam soal pangan. Bahkan ada nilai rasa bahwa frase “belum berjaya” itu pun masihlah sebuah eufimisme. Itu terjadi dalam banyak hal.

Meski Indonesia adalah negara maritim dengan luas laut yang membuat iri negara lain,  konsumsi ikan masyarakat Indonesia jauh lebih rendah ketimbang negara seret lautan seperti Malaysia, bahkan Singapura. Dua belas tahun lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat rata-rata konsumsi ikan Indonesia hanya 31,5 kilogram per kapita per tahun. Jauh di bawah Malaysia dan Singapura yang mencapai 55,4 kilogram dan 37,5 kilogram per kapita.

Kini, walau tetap saja di bawah dua negara serumpun itu, angka tersebut mengalami peningkatan. Pada 2022 lalu tingkat konsumsi ikan Indonesia mencapai 55,37 kg per kapita, menyamai Malaysia pada 12 tahun lalu. Tetapi angka itu masih di bawah target, yakni pada angka 59,3 kg per kapita per tahun. Jangan keburu bangga. Target itu sejatinya masih sangat rendah bila dibandingkan dengan tingkat konsumsi ikan per kapita di negara-negara dengan industri maritim yang maju. Sebut saja Jepang yang mencapai 100 kg per kapita/tahun, Singapura 90 kg per kapita, Malaysia 80 kg per kapita, dan Norwegia 75 kg per kapita. Lihat, dalam 12 tahun itu Singapura bahkan meninggalkan angka pencapaian Malaysia. Untuk 2024, KKP menargetkan tingkat konsumsi ikan rata-rata sebesar 62,5 kg/kapita.

Angka itu jelas tak menunjukkan bahwa negeri ini punya garis pantai sepanjang 88.000 km, alias negara dengan panjang pantai terpanjang kedua di dunia. Berkaitan dengan itu, bukankah kita pun telah sama-sama mafhum bahwa untuk melengkapi santapan kita, negeri ini pun sampai harus mengimpor garam?

Bukan karena sadar kesehatan dan ramai-ramai jadi vegan bila angka konsumsi daging Indonesia malah lebih tragis: keciiil dibandingkan negara-negara Asia maupun Eropa. Data Organization of Economic Cooperation and Development (OECD), konsumsi daging ayam Indonesia hanya sebesar 8,1 kilogram per kapita pada 2021. Itu jauh di bawah rata-rata dunia, sebesar 14,9 kg per kapita.

Angka konsumsi daging di Indonesia, sebesar 2,2 kg per kapita, juga di bawah rata-rata dunia yang tercatat 6,4 kg per kapita. Lalu, konsumsi daging domba di Indonesia tercatat sebesar 0,4 kg per kapita di bawah rata-rata dunia 1,3 per kapita.  Padahal, pola konsumsi ideal manusia mensyaratkan tak boleh kurang dari 2,9 kilogram daging per tahun. Tidak hanya itu, menurut OECD, meningkatnya permintaan daging dapat menjadi penanda peningkatan pendapatan suatu negara.

Angka konsumsi susu rakyat kita pun masih rendah. Pada 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah rata-rata konsumsi susu di Indonesia baru 16,27 kg per kapita per tahun. Angka tersebut jauh di bawah Malaysia yang tercatat 26,20 kg perkapita per tahun, Thailand yang mencatatkan 22,2 kg per tahun, atau bahkan negara miskin Myanmar yang bisa mencatatkan 26,7 kg per tahun.

Apalagi rendahnya tingkat konsumsi susu per kapita Indonesia itu pun diakibatkan rendahnya populasi sapi perah di Indonesia. Itu membuat susu kebanyakan adalah barang impor. Tercatat, impor susu Indonesia sejak tahun 2018 hingga 2022 adalah 162 ribu ton, 188 ribu ton, 197 ribu ton, dan 205 ribu ton. Belum lagi impor susu dalam bentuk bubuk full cream atau whole milk powder.

Catatan kekurangan ini sengaja dibatasi hanya pada tiga jenis pangan yang berkaitan erat dengan protein hewani, yang diakui memengaruhi langsung kualitas pertumbuhan fisik dan kecerdasan manusia. Melihat angka-angka di atas, harus diakui bahwa hampir seabad kita merdeka—pada 2045 nanti–, harapan para founding fathers untuk menyaksikan rakyat Indonesia yang maju, yang tak gampang diakali dan menjadi kuli bangsa lain, masih jauh dari terwujud.

Kita bisa membuat daftar catatan yang lebih membuat miris lagi. Bersangkutan dengan makanan, ternyata hingga saat ini kita hanyalah bangsa yang ‘meminta diberi makan’ negara lain. Bukan bangsa yang bisa berbangga dan membusungkan dada dengan ‘memberi makan’ bangsa-bangsa lain. Kita yang telah lama membanggakan kesuburan tanah ini, sejatinya hanya pengimpor aneka bahan makanan.

Data BPS menunjukkan, sepanjang Januari-November 2022 Indonesia telah mengimpor 326,5 ribu ton beras. Pada  periode yang sama Indonesia juga telah mengimpor sebanyak 8,43 juta ton gandum.

Data tahun sebelumnya, 2021, BPS mencatat volume impor kedelai mencapai 2,49 juta ton senilai 1,48 miliar dollar AS; impor kacang tanah sebesar 287,09 ribu ton, impor kacang hijau sebesar 114,44 ribu ton, impor jagung 8,99 ribu ton, dan ubi jalar seberat 38 ribu kg. Yang terakhir kurang diminati karena barangkali berkaitan dengan produksi gas perut yang akan merusak hubungan sosial. Lihatlah, hampir semua yang kita makan tidaklah ditanam dan dipetik dari tanah yang kita banggakan.

Benar bahwa seperti ekonom Faisal Basri bilang, sejak di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno pun Indonesia kerap mengimpor beras dalam jumlah cukup besar, yaitu 600.000 ton di tahun 1952, seperti tercatat dalam “Almanak Pertanian 1954”. Jumlah tersebut turun menjadi 300.000 ton pada 1953, 1954, dan 1955.

Dalam “Impor Beras Sejak Orde Baru Soeharto Hingga Kini” Faisal menulis, Indonesia hanya sempat tidak mengimpor beras sama sekali pada 1985-1986. Pada tahun itu Indonesia justru mengekspor beras masing-masing 106.000 ton pada 1985 dan 231.000 ton pada 1986.

Tetapi juga mesti dicatat, tiga tahun berturut-turut mulai 2019, Presiden Jokowi sempat bangga lantaran berhasil tidak mengimpor beras. Sayangnya, kini kebanggaan Jokowi itu tenggelam dengan rencana pemerintah melakukan impor dengan jumlah “wah!”, justru menurut banyak pengamat pertanian, di masa panen raya di kalangan petani.

Saya tidak ingin masuk pada pelbagai kemungkinan di balik rencana itu. Namun, hanya melihatnya dari kacamata konvensional agama, yang melihat tangan di atas lebih baik dibanding tangan di bawah yang menadah, ternyata kita bukan bangsa yang layak berbangga. Dengan jelas kitab isa melihat, harapan untuk bisa berdiri di atas kaki sendiri, merasa bangga karena menanam, memproduksi dan memakan sendiri hasil bumi yang kita tanam dengan tangan dan keringat bangsa sendiri itu, bahkan kian menjauh. Data menegaskan kemandirian pangan itu kian menjadi maya dan fatamorgana.

Mungkin, berbagai kebijakan makro ekonomi kita juga yang membuat warga negara yang berkhidmat pada pertanian pun kian menyusut jumlahnya. Data lama tahun 2003, Indonesia memiliki kepala keluarga yang berkhidmat di pertanian sebanyak 31,17 juta. Sementara pada 2013, angka itu hanya tercatat 26,13 juta saja. Ada penurunan 5,04 juta KK selama satu dasawarsa. Namun, berdasarkan catatan BPS, per Februari 2022 masih terdapat 40,64 juta pekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Jumlah itu porsinya mencapai 29,96 persen dari total penduduk bekerja yang tercatat sebanyak 135,61 juta jiwa, sekaligus masih menjadi yang terbesar dibanding lapangan pekerjaan utama lainnya.

Tetapi, bisa saja pekerjaan itu hanya memberi penghasilan subsisten, yang kian hari semakin meminggirkan mereka. Kita sama-sama tahu, menjadi petani belum bisa membuat dada tegak. Negara pun seolah lupa betapa besar jasa mereka. Nasib petani seakan senantiasa ditakdirkan berjalan bersama keterpurukan. Akibatnya tak mengherankan bila anak-anak petani jarang melihat profesi itu pekerjaan bernilai tinggi yang patut disyukuri. Sementara dalam kurikulum dan tata nilai pengajaran, negara pun tak pernah mencoba menanamkan kebanggaan.

Anak-anak petani akhirnya melihat pekerjaan bapaknya tanpa bangga, malah nelangsa. Wajar bila mereka memilih bekerja ke sektor industri. Manakala hal itu berjalin-kelindan dengan globalisasi, mereka pun hanya menjadi buruh dunia, menjadi kacung para pengusaha global yang datang ke tanah-tanah yang sejak lama menjadi hak dan menghidupi bapak-kakek dan moyang mereka.

Jelas, seharusnya negara memberi arah yang jelas dan tegas. Kita perlu petani yang bangga karena pekerjaan itu seharusnya tak hanya menjadi lahan berbagi,  tapi juga menjanjikan secara materi. Kita perlu membuat bertani menjadi identitas yang membuat bangga karena nyata memberikan harapan.

Dengan segala cara, kita memang sepantasnya memberi nilai tukar yang lebih layak kepada hasil-hasil pertanian. Sebab hanya dengan itu kita masih punya harapan untuk menjadikan negara ini negeri yang memberi makan dunia, bukan menadah tangan dan hanya meminta.

Menjadi petani adalah pekerjaan ilahiah. Tinggal kita bersama berusaha agar yang ilahiah itu juga menjadi pekerjaan yang layak dalam kacamata dunia. “Tujuan puncak pertanian bukanlah semata-mata menanti hasil panen,”kata petani sekaligus filsuf pertanian, Masanobu Fukuoka,” melainkan mengolah dan menyempurnakan manusia.”

Bila kita berhasil mewujudkannya,  tak perlu merebak ketakutan dengan prediksi bahwa 2045 mendatang ada 450 juta warga Indonesia yang harus diberi makan. Sementara di sisi lain kita tahu,  ekonom Lester R Brown pada jurnal terkemuka “Foreign Policy” 2013 menulis, dunia ke depan pun akan rawan pergolakan akibat krisis pangan. Tanpa cetak biru strategi yang jelas, sesungguhnya kita hanya menanti tragedi terjadi pada anak cucu kita nanti. Dan seharusnya itu tidak dilakukan hanya dengan ekstensifikasi. Bukti telah mengajari, sekian juta hektare hutan ditebang pun tak menjamin melimpahnya pangan. [   ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button