Senja Merah di Bilbao: Ketika Spurs Menulis Sejarah, dan United Menelan Luka


Langit Bilbao malam itu tidak hanya menyimpan mendung, tetapi juga kabut duka dari ribuan pendukung Manchester United. Stadion San Mamés yang megah berubah menjadi panggung tragedi bagi Setan Merah dan menjadi altar kemenangan suci bagi Tottenham Hotspur, klub yang selama ini lebih sering ditertawakan ketimbang ditakuti.

Manchester United menuliskan babak paling menyakitkan lainnya dalam kisah panjang berdirinya klub. Final Liga Europa 2025 seharusnya menjadi panggung penebusan, tapi justru menjadi titik nadir. Tottenham Hotspur mencetak sejarah dengan skor akhir 1-0. Cukup untuk mengubur ambisi Setan Merah dan membuat sejarah baru bagi Spurs.

Gol itu datang seperti mimpi buruk yang nyata, di menit ke-42. Brennan Johnson, striker asal Wales itu pun sukses mengakhiri puasa gelar Spurs selama 17 tahun—sebuah sentuhan, sontekan, dan pukulan telak ke jantung United. André Onana pun terkapar, dan di tribun, ribuan pendukung merah hanya bisa terdiam. 

Namun, wajah haru tak kuasa menahan tangis terjadi di tribun pendukung Spurs. Mereka telah terlalu lama menunggu hari ini, dan malam itu penantian berakhir dalam keajaiban. Mereka seakan tak percaya, tim kesayangannya diambang mengangkat trofi bergengsi perdana dalam sejarah klub.

Manchester United datang dengan beban sejarah dan ekspektasi, tapi yang bermain di lapangan seolah hanya bayangannya. Bruno Fernandes mencoba menjadi lilin di tengah angin ribut, Casemiro —sosok veteran yang diandalkan sebagai jangkar— terlihat lambat. Sebaliknya, Tottenham bermain dengan hasrat seorang penantang sejati. Mereka tidak hanya ingin menang. Mereka ingin dikenang.

Ruben Amorim berdiri di garis pinggir, jasnya berkibar ditiup angin malam, wajahnya tegang. Ia tahu betapa pentingnya laga ini. Sebuah trofi Eropa bukan hanya penyelamat musim tetapi sekaligus menjadi penyelamat kariernya. Namun malam itu, segala taktik dan strategi runtuh di hadapan energi muda Spurs dan keberanian mereka untuk bermimpi lebih besar. 

Sosok gagah, bak Singa dengan wajahnya yang garang terus menerus membakar semangat para pemain Spurs. Dia adalah Ange Postecoglou pelatih Tottenham yang pernah berseloroh di musim perdananya bahwa ia akan memenangkan trofi di musim kedua bersama Spurs. Ucapannya bukan hanya ilusi, Bilbao jadi saksi perjuangan yang tak pernah padam. 

Trofi ini diraih Ange Postecoglou di musim keduanya bersama Spurs, setelah direkrut pada 2023. Ini sekaligus memperpanjang rekor pribadinya, yang sebelumnya juga membawa tim juara di musim kedua melatih bersama South Melbourne, Brisbane Roar, Timnas Australia, Yokohama F Marinos, dan Celtic.

Pada September lalu, Ange Postecoglou juga pernah berkata bahwa ia selalu memenangi trofi di musim kedua. Kini, usai membawa Spurs juara, ia meluruskan hal tersebut. Postecoglou menegaskan bahwa itu bukan maksud dirinya ingin sombong.

”Orang-orang salah menafsirkan. Itu bukan saya yang membanggakan diri sendiri. Saya hanya membuat pernyataan dan saya mempercayainya. Saya punya hal ini di dalam diri saya, lebih dari apa pun,” kata Postecoglou, dikutip dari BBC.

Peluit panjang ditiup. Para pemain United ambruk, sebagian berlutut, sebagian menyembunyikan wajah di balik jersey merah. Malam 22 Mei 2025 adalah malam ketika kejayaan masa lalu tidak menjamin kemenangan hari ini. Itu adalah senja merah. Bukan karena matahari terbenam, tapi karena hati yang patah dan mimpi yang retak.

Di sisi lain, para pemain Spurs berpelukan, meneteskan air mata, dan bersorak bagai pahlawan pulang perang. Di antara mereka, berdiri kapten Son Heung-min, pria Korea Selatan yang telah setia selama satu dekade, dan kini akhirnya mengangkat trofi pertamanya. Sebuah klub yang telah lama diragukan kini berdiri sebagai juara Eropa. Mereka tak sekadar mengalahkan United tapi juga mengalahkan mitos. 

Son Heung-min mengaku akhirnya merasa seperti legenda klub setelah memimpin the Lilywhites meraih trofi pertama dalam 17 tahun. “Katakan saja saya seorang legenda. Kenapa tidak? Hanya hari ini,” kata pemain Korea Selatan, yang telah berada di Spurs selama satu dekade, dilansir laman Reuters.

“Tujuh belas tahun, tidak ada yang melakukannya. Jadi dengan pemain yang luar biasa, ya hari ini adalah harinya. Mungkin hari ini saya akan mengatakan bahwa saya adalah legenda klub ini,” ujarnya.

Hasil ini membuat Man United gagal tampil di kompetisi Eropa mana pun musim depan. Sementara Tottenham yang berada di posisi 17 klasemen Liga Inggris berhak tampil di Liga Champions Eropa setelah keluar sebagai juara.

Bilbao mencatat sejarah. Tapi bagi dua klub ini, catatan itu berbeda rasa. Untuk Spurs, manis, haru, dan legendaris sementara bagi United, getir, pedih, dan menyesakkan. Ini bukan sekadar pertandingan. Ini adalah pengingat bahwa sejarah bisa berubah arah, dan mimpi besar hanya datang bagi mereka yang berani percaya seperti Spurs malam itu.