Anggota Komisi I DPR RI Habib Idrus Salim Aljufri bersama Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF RI) menggelar acara nonton bareng (nobar) film ‘Gaza: Hayya 3’ di Tangcity Mall XXI, Tangerang, Banten, Senin (23/6/2025).
Acara ini dihadiri oleh lebih dari 80 peserta dari berbagai kalangan, termasuk majelis taklim, organisasi perempuan, dan perwakilan media.
Dalam sambutannya, Habib Idrus menegaskan bahwa menonton film ini bukan sekadar hiburan, melainkan bentuk perjuangan. Film ‘Gaza: Hayya 3’ merupakan kelanjutan dari film ‘Hayya’ yang mengangkat kisah metaforis tentang kekejaman penjajahan Israel, dikemas dalam balutan cerita keluarga, cinta, dan perjuangan.
Menurut Habib Idrus, dengan menonton film ini, masyarakat Indonesia menunjukkan keberpihakan terhadap rakyat Palestina. Ia berharap film ini dapat menjangkau lebih dari 1,5 juta penonton dan memicu gelombang solidaritas nasional.
“Gaza bukan hanya soal konflik luar negeri, tapi tentang bagaimana bangsa ini menjaga kemanusiaan sebagai nilai dasar yang tak boleh mati,” ujarnya.
Dukungan terhadap Peran LSF RI
Habib Idrus juga menyatakan dukungannya terhadap LSF RI sebagai lembaga yang menjaga moral dan etika dalam perfilman nasional. Ia memandang LSF tidak hanya sebagai badan sensor administratif, tetapi bagian dari upaya menciptakan ruang budaya yang edukatif.
Sambutannya ditutup dengan pantun yang mendapatkan sambutan hangat dari penonton: “Jalan-jalan ke Kota Tua, melihat sejarah yang telah lalu. LSF hadir untuk kita semua, menyajikan film-film yang bermutu.”
Ketua LSF RI Naswardi dan Ketua Subkomisi Sosialisasi LSF Titin Setiawati turut hadir memperkaya makna acara. Titin menjelaskan bahwa hingga pertengahan 2025, LSF telah mengeluarkan 42 Surat Tanda Lulus Sensor (STLS), termasuk untuk 17 film dari negara-negara Islam yang kaya nilai spiritual dan sosial.
Ia juga menekankan bahwa proses sensor film tidak dilakukan secara sepihak. Jika ada adegan yang tidak sesuai, film akan dikembalikan kepada pembuatnya untuk direvisi.
Selain itu, Titin menyoroti pentingnya edukasi masyarakat untuk menonton film sesuai klasifikasi usia, mengingat data menunjukkan lebih dari 50 persen pelajar pernah menonton film yang tidak sesuai kategorinya.
Dalam sesi tanya jawab, salah satu peserta menanyakan tentang sensor film impor dan konten di media sosial. Titin menjelaskan bahwa semua film, baik lokal maupun asing, harus mengantongi STLS agar bisa tayang di bioskop.
Namun, LSF tidak memiliki wewenang untuk menyensor konten yang beredar di media sosial. Hal ini menyoroti masih lemahnya regulasi di ruang digital dan urgensi pembangunan literasi media di masyarakat.
Kisah di Balik ‘Gaza: Hayya 3’
Aktor utama film ‘Gaza: Hayya 3’, Adhin Abdul Hakim berbagi pengalaman emosional saat syuting di Timur Tengah, termasuk saat ia sempat tertahan oleh tentara Israel ketika hendak memasuki Al-Quds.
“Film ini bukan sekadar proyek seni, melainkan perjalanan spiritual yang membuka kesadaran,” ucapnya.
Sutradara Jastis Arimba menambahkan bahwa ‘Gaza: Hayya 3’ dibangun dengan metafora, di mana tokoh Beni melambangkan kekerasan Israel.
Ia juga mengumumkan bahwa 40 persen dari keuntungan film akan didonasikan langsung untuk perjuangan rakyat Palestina.
Acara ditutup dengan antusiasme dan haru dari para peserta, membuktikan bahwa solidaritas dapat dinyalakan dari layar bioskop. Habib Idrus berhasil menunjukkan bahwa perjuangan dapat dimulai dari keberanian memilih tontonan yang bermakna, mengingatkan bahwa nurani kemanusiaan tetap hidup.