Sukses Formula E Jakarta Harus Diukur Lewat Data, Bukan Klaim Sepihak


Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu menilai kesuksesan gelaran Formula E Jakarta 2025 tidak bisa hanya diukur dari antusiasme publik atau klaim sepihak, melainkan harus berbasis data ekonomi yang transparan dan terverifikasi.

“Ukuran keberhasilan tidak cukup dari eksposur atau jumlah penonton, tapi harus mencakup transparansi anggaran, promosi yang menarik pengunjung, keterlibatan sektor swasta dan UMKM, serta dukungan logistik yang memadai,” ujar Yannes kepada inilah.com, Rabu (25/6/2025).

Menurutnya, dampak ekonomi bersih dari acara seperti Formula E hanya bisa dihitung jika semua pengeluaran dan pendapatan disandingkan secara akurat. Hal ini mencakup total belanja pengunjung, kontribusi pajak, peningkatan hunian hotel, keuntungan UMKM, serta pemasukan dari sponsor dan iklan.

“Klaim dampak ekonomi triliunan rupiah perlu diverifikasi oleh lembaga independen yang berkompeten. Jika tidak, manfaat acara ini lebih terasa sebagai pencitraan global ketimbang peningkatan ekonomi lokal,” imbuhnya.

Hal senada disampaikan Sekretaris Komisi E DPRD DKI Jakarta, Justin Adrian Untayana. Ia meminta evaluasi menyeluruh terhadap penyelenggaraan Formula E 2025, terutama dari sisi keuangan dan dampaknya terhadap warga Jakarta.

Justin menyoroti data penonton yang menurun dalam dua tahun terakhir. Pada 2023, Project Director Jakarta E-Prix menyatakan ada 100 ribu penonton. Namun pada 2024, hanya tercatat 23 ribu orang yang hadir pada balapan 21 Juni lalu.

“Dengan asumsi semua membeli tiket Grandstand Rp1 juta, maka total pendapatan dari tiket hanya sekitar Rp23 miliar. Padahal, commitment fee yang harus dibayar Jakpro mencapai Rp110 miliar,” ujar Justin, Selasa (24/6/2025).

Ia mengaku tidak mengetahui secara pasti pendapatan dari sponsor atau sumber lain, namun menilai tanpa transparansi keuangan yang memadai, ajang Formula E rawan menjadi beban anggaran.

“Apalagi kalau dibiayai dari BUMD. Itu artinya uang rakyat justru digunakan untuk menutup kegiatan yang belum tentu berdampak langsung pada pelayanan publik atau pembangunan daerah,” tegasnya.