Kanal

Food Estate Babat Hutan, Harga Beras Meroket Alam Disalahkan


“Raung buldozer gemuruh pohon tumbang, berpadu dengan jerit isi rimba raya. Tawa kelakar badut-badut serakah berbuat semaunya… Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi, punah dengan sendirinya akibat rakus manusia…”
(Iwan Fals, musisi senior)

Potongan lagu berjudul ‘Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi’ di atas, kiranya bisa menggambarkan kegundahan hati sang mother nature (alam). Malang betul nasibnya, sudah ‘tubuh’ dikoyak demi Food Estate, kini jadi sasaran tembak alias kambing hitam ketika beras langka dan harganya meroket.

Munculnya gagasan proyek Food Estate berawal dari peringatan Badan Pangan Dunia (FAO) pada 2020 lalu, mengenai ancaman krisis pangan yang akan melanda pascapandemi COVID-19. Meski bukan gagasan baru, proyek Food Estate ala Presiden Joko Widodo (Jokowi) diklaim berbeda dari proyek Food Estate pemerintahan sebelumnya.

Praktiknya sami mawon, proyek Food Estate Jokowi tidak ada ubahnya dari proyek Food Estate pemerintahan sebelumnya, sama-sama menjadi ancaman terhadap alam. Target luas lahan proyek Food Estate sangat eksploitatif, yakni di Papua (1,2 juta hektar), Kalbar (120 ribu hektar), Kalteng (180 ribu hektar), Kaltim (10 ribu hektar), Maluku (190 ribu hektar), Sumut (60 ribu hektar), Sumsel (235 ribu hektar), NTT (5 ribu hektar), dan diperkirakan masih bisa bertambah seiring dengan perkembangan proyeknya. Luas lahan yang mencapai jutaan hektar ini jelas hanya akan bisa disediakan dengan melibatkan kawasan hutan.

Food Estate ternyata menghadapi berbagai masalah dalam realisasinya. Permasalahan utama yang muncul adalah soal kelayakan lahan. Menurut catatan Center of Economic and Law Studies (CELIOS), untuk di wilayah Kalteng saja, sebanyak 30 persen lahan merupakan lahan gambut yang seharusnya difungsikan sebagai pengatur hidrologi tapi dipaksakan beralih fungsi. Lalu bagaimana hasilnya? 

Masih dari sumber yang sama, ada enam output dari proyek yang dipaksakan ini. Pertama, deforestasi yang melepaskan lebih dari 250 ribu ton karbon dioksida ke atmosfer, kemudian gagal panen klaster singkong seluas 600 hektar, ditambah produksi 17 ribu hektare sawah yang gagal capai target. 

post-cover
Lahan proyek Food Estate di Kalteng. (Foto: Green Peace)

Yang keempat, adanya upaya memaksakan menanam jagung melalui media polybag, ada juga indikasi menghamburkan keuangan negara yang ditaksir mencapai Rp1,5 triliun, dan yang terakhir, membuat masyarakat lokal tersingkir dari basis sumber daya agraria tempat mereka mencari kebutuhan sehari-hari.

Kegagalan Food Estate makin terlihat ketika masyarakat menjerit karena harga beras meroket dan mulai sulit ditemui. Menengok data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), per tanggal 26 Februari 2024, harga beras berkualitas super I terpantau Rp17 ribu per kg atau naik 0,89 persen. Kemudian beras kualitas super II dipatok Rp16.550 per kg atau naik 1,27 persen. 

Sedangkan beras kualitas medium I dijual Rp15.700 per kg atau naik 1,29 persen dan beras kualitas medium II mencapai Rp15.550 atau naik 0,97 persen. Meski di awal Maret 2024, harga beras medium turun  menjadi Rp14.320 per kg, tetap saja masyarakat harus antre mengular demi dapat beras. Kepadatan antrean warga yang ingin membeli beras murah terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Kepadatan antrean terjadi di Kecamatan Banggai, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Tidak hanya di Majene, kepadatan antrean juga terjadi di Kota Tebing Tinggi, Sumatra Utara. Mereka rela berpanas-panasan demi beras murah yang disediakan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Tebing Tinggi dengan Perum Bulog. Kejadian serupa juga terjadi Kota Serang, Banten. Puluhan ibu-ibu rumah tangga berebut beras murah. Mereka rela antre berjam-jam hingga berdesak-desakan dan saling dorong antara satu sama lain.

Tentu pemerintah menolak Food Estate dianggap gagal. Di sela-sela kunjungannya di Gudang Bulog Batangase, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi menyalahkan alam, menyebut kelangkaan dan naiknya harga beras dikarenakan El Nino yang menyebabkan gagal panen.

post-cover
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meninjau ladang jagung di Food Estate, Keerom, Papua, Kamis (6/7/2023).  (Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden).

Dalih ini menggelitik Direktur Kajian Hukum Agraria dan Lingkungan CELIOS Mhd Zakiul Fikri untuk menyentil balik. Menurutnya, jika pemerintah sudah tahu ada faktor alam yang mempengaruhi gagal panen, seharusnya bisa diantisipasi dengan menjaga kelestariannya, bukan makin dirusak dengan adanya proyek Food Estate. 

“Faktor alam ini jadi paradoks bagi sektor pangan kita, terutama beras ya. Kenapa? Karena seharusnya untuk menjaga suhu panas bumi yang semakin naik maka pemerintah kita harusnya melindungi dan melestarikan tutupan hutan alam dengan baik. Bukan malah membukanya untuk Food Estate,” tutur dia kepada Inilah.com.

Pembelaan terhadap Food Estate memang tengah gencar digaungkan pemerintah. Plt Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Prihasto Setyanto mengeklaim ada sejumlah lokasi Food Estate yang berhasil. Ia merincikan, Food Estate di Humbang Hasundutan seluas 418,29 hektare, telah menghasilkan produk hortikultura, seperti bawang merah.

Kemudian, tutur dia, Food Estate Temanggung dan Wonosobo seluas 907 hektare telah berhasil panen bawang merah, cabai, bawang putih, kentang. Selain itu, Food Estate di Gunung Mas, Kalteng juga disebut sudah panen jagung seluas 10 hektare dan singkong seluas 3 hektare. Lalu di Sumba Tengah NTT dan kabupaten Keerom, Papua yang telah mampu panen jagung seluas 500 hektare. “Kenyataannya banyak yang berhasil, petani yang merasakan hasilnya sudah memiliki mobil sendiri, alsintan (alat mesin pertanian) sendiri,” ujar pria yang juga menjabat sebagai direktur jenderal Hortikultura Kementan itu.

post-cover
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah. (Foto: rmol).

Terlepas gagal atau tidaknya proyek ini, akan jadi mubazir jika Food Estate disetop tengah jalan, mengingat sudah banyak uang negara digelontorkan. Pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah berpandangan, pemerintah ke depan harus mengevaluasi dan menyiapkan langkah kebijakan yang bersifat inkremental, yang memberikan sentuhan inovasi untuk pengembangan bukan mengubah potensi lahan yang sudah ada.

“Anggarannya sudah terlanjur mengucur banyak,  jadi harus ditata ulang. Didasarkan pada potensi daerahnya. Kalau misalkan daerahnya tumbuh subur jagung ya tanam jagung saja di situ, tapi kalau misalnya potensinya beras sama padi ya tanam padinya. Jadi maksud saya kita tidak perlu di tengah jalan mengubah yang awalnya singkong jadi jagung,” ucap dia kepada Inilah.com.

Berpijak dari apa yang disampaikan Trubus, ada baiknya pemerintah mulai pertimbangkan untuk lakukan pengembangan teknologi pertanian berbasis agribudaya ketimbang agribisnis semata. Fokus pada pemberdayaan petani pangan yang telah ada, beri mereka akses pada teknologi pertanian terbarukan, melindungi tanah-tanah pertanian mereka dengan sertifikasi hak atas tanah. Jangan lupa juga, untuk meringankan bunga pinjaman mereka, memastikan pupuk tersedia dengan baik, serta jaminan ada akses terhadap pasar yang stabil, insentif dan subsidi lainnya. 
[Rez/Reyhaanah/Clara/Vonita]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button