Siap-siap gigit jari! Musim panas ini, yang biasanya identik dengan belanja gila-gilaan, bakal lesu darah di Amerika Serikat (AS). Warga Negeri Paman Sam kini harus mikir seribu kali sebelum jalan-jalan, makan di restoran, atau borong barang di mal. Kenapa? Gara-gara bayangan tarif impor Trump yang bikin sentimen konsumen langsung ambruk.
Presiden AS Donald Trump, pada Senin (7/7/2025), memang tak henti bikin geger. Dia baru saja mengumumkan penerapan tarif baru yang berkisar antara 25 hingga 40 persen untuk 14 negara. Tak cuma itu, dia juga meneken perintah eksekutif untuk memperpanjang jeda ‘tarif resiprokal’ hingga 1 Agustus mendatang. Ini jelas bukan kabar baik bagi kantong rakyat!
Kekhawatiran itu bukan isapan jempol. Sebuah jajak pendapat dari Yahoo Finance/Marist, yang dirilis Senin lalu, menunjukkan fakta mengejutkan. Dari 2.011 orang dewasa yang disurvei, 81 persen mengaku khawatir pada berbagai tingkat soal dampak tarif terhadap keuangan pribadi mereka. Dan yang lebih ngeri, 60 persen cemas akan dampak negatif tarif tersebut terhadap perekonomian yang lebih luas. Rakyat sudah merasakan hawa-hawa tak sedap!
Lalu, apa yang pertama kali mereka pangkas? Anggaran hiburan jadi korban utama, dipangkas oleh 48 persen responden. Busana menyusul ketat di angka 45 persen. Dan yang paling menyedihkan bagi para pebisnis kuliner, 52 persen responden mengatakan mereka sudah mulai mengurangi frekuensi makan di restoran.
“Kita melihat kalibrasi ulang perilaku belanja dalam waktu nyata karena tingginya harga dan ketidakpastian yang semakin meningkat terkait apa yang akan terjadi selanjutnya,” begitu hasil jajak pendapat itu, seperti dilansir Xinhua. Konsumen kini mode ‘rem darurat’.
Tren ‘ngerem’ belanja ini bahkan sudah terlihat jelas dalam penjualan retail. Pada Mei lalu, penjualan retail inti di AS hanya naik tipis 0,23 persen dari April, menurut Monitor Retail CNBC/National Retail Federation (NRF) AS. Padahal, sebulan sebelumnya, indikator yang sama sempat melonjak drastis karena rumah tangga buru-buru membeli barang impor sebelum tarif itu resmi diberlakukan.
“Data pada Mei mengindikasikan bahwa ‘pull-forward’ terkait permintaan konsumen menjelang (penerapan) tarif kemungkinan telah menghilang,” ujar Presiden sekaligus CEO NRF, Matthew Shay. Artinya, efek belanja panik sudah lewat, kini tinggal dampak sebenarnya.
Penjualan elektronik dan peralatan rumah tangga anjlok 1,98 persen secara bulanan pada Mei. Angka ini sejalan dengan jajak pendapat Yahoo Finance/Marist yang menemukan bahwa 34 persen rumah tangga memutuskan untuk menunda pembelian barang mahal. Konsumen kini tak lagi impulsif, tapi sangat berhati-hati.
Indikator sentimen konsumen pun menggarisbawahi kegelisahan ini. Indeks Kepercayaan Konsumen The Conference Board untuk Juni turun 5,4 poin menjadi 93,0. Ini cerminan nyata bahwa tarif dan inflasi masih jadi momok utama bagi para konsumen.
Para ekonom sudah angkat bicara. Jeda berkepanjangan dalam pengeluaran diskresioner ini bisa berimbas ke seluruh industri yang bergantung pada ‘musim panen’ konsumen di musim panas. Bahkan, beberapa bisnis sudah mulai beradaptasi.
Rantai bioskop utama memperpanjang masa promo ‘Selasa hemat’ hingga tiga hari seminggu. Toko grosir nasional juga mati-matian promosi perlengkapan piknik merek toko sendiri. Ini upaya bertahan, agar asap dapur tetap mengepul.
Catatan dari Oxford Economics per 1 Juli menyebut, meningkatnya biaya berarti para peritel punya ruang terbatas untuk memangkas harga tanpa mengikis margin keuntungan. Ini dilema besar.
Ke depan, analis memprediksi, jika negosiator perdagangan kembali beretorika soal tarif atau jika penurunan suku bunga Federal Reserve di masa mendatang membantu mengendalikan inflasi, barulah permintaan yang terpendam (pent-up demand) bisa menghidupkan kembali belanja konsumen selama musim ‘kembali ke sekolah’ alias ‘back-to-school’.
Sebaliknya, jika ada putaran baru penerapan tarif, terutama yang menyasar alas kaki dan aparel –sektor yang persediaannya mulai menipis– kemungkinan besar bakal memicu penurunan pengeluaran yang lebih dalam. Jarak antara barang esensial dan barang sekunder alias ‘barang mewah yang tak terlalu penting’ bakal makin jauh.
Dengan sinyal kebijakan yang masih buram, konsumen AS kini mode super hati-hati dalam membelanjakan uangnya. Kondisi ini jelas menimbulkan bayangan suram pada periode yang biasanya menjadi musim paling menggeliat bagi perekonomian AS. Bersiaplah untuk musim panas yang tak sepanas biasanya!