News

Tiga Menteri Aktif Diduga Ikut Terlibat Bisnis PCR

Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng mempertanyakan etika moral tiga pejabat tinggi negara yang diduga berbisnis tes PCR atau Polymerase Chain Reaction.

“Secara etika saja, standar moral pejabat negara harus tinggi. Jangan menumpangi jabatan untuk bisnis. Itu etika moral yang sangat rendah. Sebaiknya yang seperti itu jangan terjadi,” ungkapnya kepada Inilah.com, Jakarta, Senin (1/11/2021).

Kata Salamuddin, pejabat tinggi negara yang berbisnis PCR di kala pandemi COVID-19, jelas tidak beretika. Padahal, mereka dipilih Presiden Joko Widodo (Jokowi) lantaran dinilai punya standar moral yang tinggi.

Dikatakan Salamuddin, masalah ini seharusnya tidak perlu terjadi, apabila negara hadir. Dalam artian, pemerintah menggratiskan segala macam test COVID-19. “Sebaiknya ini semua ditangani oleh negara secara gratis dan tak boleh dibisniskan. Harus sukarela dan gotong royong,” kata Salamuddin.

Ihwal adanya tiga pejabat tinggi negara yang berbinis PCR, pernah diungkap mantan Direktur Yayasan LBH Indonesia, Agustinus Edy Kristianto. Melalui akun facebook, Agustinus mengkritisi tiga kementerian. Ketiganya, menurut Agustinus, diduga terafiliasi (ada kaitannya) dengan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI).

Di mana, salah satu unit usaha PT GSI adalah GSI Lab yang menyediakan layanan tes COVID-19. Mulai PCR Swab Sameday (Rp275 ribu), Swab Antigen (Rp95 ribu), PCR Kumur (Rp495 ribu), S-RBD Quantitative Antibody (Rp249 ribu). Dalam situs resminya, GSI Lab mengklaim memiliki 1.000+ klien korporat, melaksanakan 700.000+ tes, menyalurkan 5.000+ tes gratis, dan donasi total Rp4,4 miliar.

Menurut Agustinus, ketiga pejabat negara itu, adalah pemutus kebijakan terkait penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia. Di tangan mereka-lah aturan wajib PCR dikendalikan. “Dia yang membuat kebijakan sebagai pemerintah, dia juga yang jualan barangnya!” tulis Agustinus.

Mengenai keabsahan data ini, Agustinus sesumbar pegang data. “Saya pegang salinan Akta PT Genomik Solidaritas Indonesia No 23 tanggal 30 September 2021. Notarisnya berkedudukan di Kabupaten Bekasi. PT itu dibuat April 2020, sebulan setelah kasus Covid-19 pertama di Indonesia. Modal dasar: Rp4 miliar (1 juta/lembar saham, 4.000 saham); Modal disetor: Rp2,96 miliar (1 juta/lembar saham, 2.969 saham),” ungkapnya.

Lebih dahsyat lagi, Agustinus membeberkan sejumlah perusahaan yang menjadi pemegang saham di GSI. Diantaranya adalah Yayasan Indika Untuk Indonesia (932 lembar); Yayasan Adaro Bangun Negeri (485 lembar); Yayasan Northstar Bhakti Persada (242 lembar); PT Anarya Kreasi Nusantara (242 lembar); PT Modal Ventura YCAB (242 lembar); PT Perdana Multi Kasih (242 lembar); PT Toba Bumi Energi (242 lembar); PT Toba Sejahtra (242 lembar); dan PT Kartika Bina Medikatama (100 lembar).

Dikutip dari Majalah Tempo edisi 30 Oktober 2021, Garibaldi Thohir mengakui bahwa Adaro berpartisipasi dalam penanganan pandemi COVID-19 sejak masuk Indonesia pada Maret 2020. Boy, sapaan akrabnya, mengatakan, tidak berniat mencari keuntungan namun ingin memudahkan masyarakat dalam memperoleh layanan tes PCR.  “Adaro berpatisipasi melalui yayasan,” ujar Boy.

Eksekutif Yayasan Adaro, Okty Damayanti bilang, kerja sama dengan sejumlah yayasan dan perusahaan untuk menyediakan tes PCR yang terjangkau.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Iwan Purwantono

Mati dengan kenangan, bukan mimpi
Back to top button