Timur Tengah Memanas, Harga Minyak Bisa Melebihi Asumsi APBN Bikin Sri Mulyani Sulit Tidur


Tensi geopolitik global meningkat dipantik penyerangan Israel ke Iran, dikhawatirkan mendorong kenaikan harga minyak mentah (crude oil). Jika harganya di atas asumsi APBN 2025 sebesar US$82 per barel, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bakal sulit tidur nyenyak.

“Risiko premium dari konflik Israel dan Iran, sekitar 10 dolar AS per barel. Berdasar hitungan fundamental, kisaran harga minyak saat ini, 65- 67 dolar per barel. Selama tidak terjadi eskalasi atau perluasan perang, atau pergantian rezim, harga minyak masih di kisaran sekarang,” kata Kepala Ekonom BCA, David E Sumual di Jakarta, Minggu (22/6/2025).  

Pada Jumat (20/6/2025), harga minyak mentah Brent tercatat naik 2,8 persen, sehingga ditutup di US$78,85 per barel. Harga ini tertinggi sejak 22 Januari 2025 yang mencapai US$79 per barel.

Sejauh ini, kata dia, harga crude oil dunia, masih di bawah asumsi APBN 2025 sebesar US$ 82 per barel. Artinya, belanja subsidi energi masih aman dan tidak menimbulkan tekanan berat terhadap fiskal. Namun akan berbeda cerita jika harga minyak dunia melenting di atas US$82 per barel dalam waktu lama.

Misalnya, kata David, jika harga minyak menembus US$95 per barel, potensi lonjakan subsidi dan pelebaran defisit anggaran, bakalan terjadi.

“Kalau harga minyak lebih dari 95 dolar AS, akan ada tekanan ke APBN dan defisit. Bisa meningkat ke arah 2,9 persen dari PDB, asumsi kurs stabil Rp16.500 per dolar AS,” ujarnya.

Pos belanja subsidi energi, menurut David, sangatlah sensitif untuk saat ini. Selama Juni, harga minyak global melonjak sekitar 20 persen. Lonjakan terjadi di tengah memanasnya ketegangan perang Iran-Israel yang memicu gangguan pasokan energi global.

Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan, pemerintah menghadapi dilema dalam menetapkan harga BBM di dalam negeri.

“Kalau harga BBM subsidi tidak dinaikan, beban APBN membengkak. Di samping itu, kenaikan harga minyak dunia akan semakin menguras devisa untuk impor BBM. Ujung-ujungnya memperlemah kurs rupiah terhadap dollar AS, yang sempat Rp17.000 per dolar AS,” kata Fahmy.

Masalahnya, lanjut Fahmy, jika harga BBM subsidi harus dinaikkan, dipastikan melahirkan inflasi tinggi. Harga seluruh barang bakal meroket dalam waktu cepat. “Saat ini, daya beli rakyat sedang terpuruk. Jika harga barang naik, masyarakat bakal semakin sulit memenuhi kebutuhannya,” ungkapnya.

Dalam kondisi ketidakpastian ini, kata Fahmy, pemerintah jangan menjadi pemberi harapan palsu alias PHK. Dengan santainya menyebut, perang Iran-Israil tidak akan mengganggu perekonomian Indonesia.

Pemerintah sebaiknya bersikap realistis dengan mengantisipasi penetapan harga BBM subsidi, berdasarkan indikator terukur. Kalau harga minyak dunia masih di bawah US$100 per barel, harga BBM subsidi tidak perlu dinaikkan.

“Sebalinya, jika di atas 100 dolar AS per barel, pemerintah tak punya pilihan kecuali menaikkan harga BBM subsidi. Ini yang berat untuk rakyat. Mudah-mudahan ada jalan keluar dari tantangan ini,” pungkasnya.

Sebelumnya, Sri Mulyani mengaku was-was dengan dinamika konflk di Timur Tengah pasca serangan Israel ke Iran, terhadap perekonomian Indonesia.

Eskalasi konflik kedua negara itu, memicu harga minyak naik lebih dari 8 persen, dari US$70 menjadi US$478 per barel.

“Ini adalah suatu kejadian yang bisa langsung memengaruhi kondisi perekonomian secara sangat signifikan, baik melalui harga komoditas maupun dari sisi nilai tukar, suku bunga, dan aliran modal,” kata Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (17/6/2025).