Trump Murka! CNN dan New York Times Disomasi Buntut Berita soal Iran-Israel


Presiden AS Donald Trump lagi-lagi bikin geger. Kali ini, ia melayangkan surat somasi ke dua raksasa media, CNN dan New York Times. Musababnya? Laporan mereka soal perang Iran versus Israel yang dianggap Trump ‘ngawur’!

CNN sendiri mengonfirmasi bahwa Trump sudah mengutus pengacaranya untuk mengirim surat ancaman hukum, menuntut agar pemberitaan mengenai perang Israel-Iran segera dicabut. Penyebabnya jelas: laporan kedua media tersebut yang mengutip intelijen AS soal kerusakan situs-situs nuklir Iran.

Pada 24 Juni lalu, CNN dan New York Times merilis hasil penilaian awal Komando Pusat AS (CENTCOM). Laporannya gamblang, yakni serangan AS ke fasilitas nuklir Iran pada 22 Juni 2025 tidak menghancurkan inti program nuklir Teheran, beda jauh dari klaim Trump yang berapi-api.

Mendengar ini, Trump tentu saja meradang. Ia langsung menuding CNN dan New York Times menyebarkan berita bohong alias hoaks! “SITUS-SITUS NUKLIR IRAN SUDAH BENAR-BENAR HANCUR!” teriak Trump di akun Truth Social-nya, seperti dikutip dari AFP, Sabtu (28/6/2025).

Bocoran Intelijen dan Ancaman Trump

Menariknya, laporan intelijen yang bikin Trump murka itu sebenarnya sudah dikonfirmasi oleh sejumlah pejabat pemerintah AS. Meski begitu, para pejabat ini menyebut informasi intelijen tersebut tidak terlalu meyakinkan, dan bahkan ada dugaan bahwa kebocoran itu sengaja dilakukan untuk ‘mengerjai’ Presiden AS itu.

Trump pun tak tinggal diam. Ia menuntut agar semua pihak yang membocorkan laporan intelijen itu segera diproses hukum. 

Tak cukup sampai di situ, pada Rabu (25/6/2025), Trump secara pribadi bahkan menyerukan pemecatan para jurnalis dari kedua kantor berita tersebut. Ini jelas bukan main-main!

CNN dan New York Times Melawan!

Tapi, namanya juga media besar. CNN dan New York Times tak gentar. Pada Kamis (26/6/2025), juru bicara CNN dengan tegas membantah tuduhan Trump dalam surat somasi. Mereka menyatakan 100 persen mendukung jurnalisnya dan menegaskan bahwa laporan yang mereka buat semata-mata demi kepentingan publik.

New York Times pun tak mau kalah. Melalui pengacaranya, David E. McCraw, mereka mengeluarkan pernyataan yang serupa. McCraw menegaskan bahwa rakyat AS punya hak untuk tahu semua informasi yang melibatkan uang pajak mereka.

“Publik Amerika punya hak untuk mengetahui apakah serangan [AS] terhadap Iran, yang didanai oleh uang para pembayar pajak dan berdampak besar bagi setiap warga negara, berhasil atau tidak,” tulis McCraw, lugas.

Ia menambahkan, “Kita mengandalkan badan intelijen kita untuk memberikan penilaian yang tidak memihak dan kita semua butuhkan dalam demokrasi untuk menilai kebijakan luar negeri negara kita dan kualitas keputusan para pemimpin kita.”

Tak tanggung-tanggung, McCraw menegaskan New York Times tak akan mencabut berita yang sudah dipublikasi dan tak akan minta maaf atas pemberitaan yang akurat tersebut. Menurutnya, menyembunyikan informasi atau mengabaikan hak publik untuk tahu itu bukan langkah bertanggung jawab bagi sebuah kantor berita.

McCraw bahkan menohok, “Dan akan lebih tidak bertanggung jawab lagi bagi seorang presiden untuk menggunakan ancaman litigasi pencemaran nama baik untuk mencoba membungkam sebuah publikasi yang berani melaporkan bahwa para ahli intelijen yang terlatih, profesional, dan patriotik yang dipekerjakan oleh pemerintah AS mengira bahwa Presiden mungkin telah salah dalam pernyataan awalnya kepada negara.”

Rekam Jejak Trump dan Ancaman Hukumnya

Perlu diingat, Trump memang punya sejarah panjang dalam urusan ancam-mengancam lewat jalur hukum. Sepanjang karier bisnisnya, ia kerap mengancam akan menuntut berbagai pihak, meski pada akhirnya banyak yang tidak ditindaklanjuti.

Tahun lalu saja, Trump sempat menjadikan beberapa media besar, termasuk CBS News, sebagai sasaran kemarahannya karena mewawancarai Wakil Presiden Kamala Harris saat pemilu. Langkah Trump ini pun dikecam oleh sejumlah ahli Amandemen Pertama yang menganggap ancaman hukumnya sebagai upaya mengintimidasi ruang redaksi.

Jadi, akankah somasi ini benar-benar berujung di meja hijau? Atau hanya gertakan sambal ala Trump? Kita tunggu saja kelanjutannya!