Market

Utang Jokowi Rp8 Ribu Triliun, Bayi Baru Lahir Tanggung Rp29 Juta

Utang Pemerintahan Jokowi ditengarai sudah bertengger di atas Rp8.000 triliun. Sebab, tiap kuartal Bank Indonesia terus membeli Surat Berharga Negara dengan nilai tak kurang dari Rp200 triliun.

Hitung-hitungan itu datang dari Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho. “Dengan utang sebanyak itu dan jumlah penduduk sebanyak 275 juta jiwa, artinya setiap penduduk bahkan bayi baru lahir di Indonesia sudah menanggung utang sebanyak Rp29 juta,” katanya di Jakarta, Selasa (21/3/2023).

Demikian Hardjuno mengomentari Kementerian Keuangan yang mencatat, posisi utang pemerintah hingga 28 Februari 2023 mencapai Rp7.861,68 triliun. Jumlah tersebut naik Rp106,7 triliun dari posisi utang bulan sebelumnya. Rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) saat ini mencapai 39,09 persen.

Pendapatan per Kapita Bersifat Distortif

Sementara GDP per kapita, kembali Hardjuno mengatakan, tercatat 3.892 dolar AS atau Rp60 juta per tahun alias Rp5 juta per bulan. Yang artinya setiap penduduk, dari bayi, anak kecil, ibu rumah tangga, pengangguran, mahasiswa, ayah pekerja, memiliki penghasilan Rp5 juta sebulan.

Jika rata-rata keluarga di Indonesia memiliki anggota 4 orang, maka setiap keluarga Indonesia rata-rata memiliki penghasilan Rp20 juta.

Saat utang yang ditanggung tiap-tiap penduduk angkanya sudah pasti dan harus dibayar, menurutnya, pendapatan Rp60 juta setiap bayi yang baru lahir adalah angka yang distortif.

Pasalnya, Hardjuno menggarisbawahi, GDP per kapita tidak memisahkan apakah penghasilan itu dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan asing atau oleh perusahaan lokal. “Semua output ekonomi dihitung sebagai GDP,” timpal dia.

Di sinilah, kata dia, tampak betapa struktur keuangan nasional begitu memberatkan masyarakat. Hardjuno pun menegaskan pertumbuhan utang pemerintah Indonesia bisa dikatakan sudah tidak masuk akal.

Terjebak pada Pendapatan Menengah Bawah

Dengan beban utang sebesar itu, sambung dia, Indonesia telah terjebak dalam situasi middle-low income trap (negara berpendapatan menengah bawah). “Hal ini mengonfirmasikan utang tidak mempunyai peranan besar dalam merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara,” tuturnya.

Ia pun mengkhawatirkan, Indonesia akan kehilangan beberapa generasi alias lost generations lantaran kekurangan gizi, kurang pendidikan, dan penurunan status kesehatan dari berjuta anak Indonesia.

“Ini sebagai dampak memburuknya situasi ekonomi akibat tumpukan utang pemerintah. Mirisnya lagi, utang dipakai untuk hal-hal yang tidak produktif,” timpal Hardjuno.

Menurutnya, ekonomi Indonesia akan sulit berkembang. Sebab, keuangan negara tersandera untuk pembayaran pokok dan bunga utang.

Pertumbuhan Utang Jauh di Atas Pertumbuhan Ekonomi

Mirisnya lagi, sambung Hardjuno, setiap tahun pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 5 persen. Sementara pertumbuhan utang jauh di atas itu.

Dari 5 persen pertumbuhan tiap tahun, 3 persen berasal dari konsumsi yang artinya tidak menambah nilai dalam rantai ekonomi alias tidak menyerap pekerjaan dan menambah pendapatan negara di masa depan. Hanya 2 persen pertumbuhan ekonomi yang menggerakan dan memajukan ekonomi.

Angka ini tidak akan cukup memenuhi pertumbuhan utang negara karena angka utang sudah mengarah pada pola gali lubang tutup lubang.

“Pada akhirnya, situasi ini pula lah yang bisa menjelaskan mengapa tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia masih berada pada level yang teramat tinggi,” timpal dia.

Utang Tidak Produktif dan Abaikan Pertanian-Sektor Riil

Menurut Hardjuno, Indonesia telah berkali-kali melewatkan kesempatan (missopportunity) untuk melepaskan diri dari middle-low income trap, tapi itu tidak dimanfaatkan dengan baik.

Sebab, pembuat kebijakan berulang kali membuat kesalahan fatal yaitu, utang yang tidak produktif dan mengabaikan sektor paling penting, yaitu pertanian dan sektor riil. “Maka tak heran GDP per kapita Indonesia jauh di bawah Malaysia dan juga Thailand,” ungkap dia.

Lebih jauh ia menceritakan, krisis 1998 telah membuat perbankan dalam negeri hancur karena digunakan pemilik dan oligarki dalam kejahatan BLBI dan Obligasi Rekap BLBI.

“Kredit properti adalah kredit yang dikucurkan kepada konglomerat pengembang super blok mewah, mal-mal mewah, apartemen, dan kawasan-kawasan elit, yang sifatnya spekulatif,” ucapnya.

Kondisi itu berbeda dengan properti kelas bawah yang sampai hari ini masih mengalami backlog (kekurangan suplai).

Utang Membengkak, Ketimpangan Makin Lebar

Lebih lanjut, Hardjuno mengatakan lengsernya Presiden SBY meninggalkan utang sebesar Rp2.700 triliun. Sementara 9 tahun pemerintahan Presiden Jokowi telah menambah utang sebesar Rp5.300-an triliun.

Utang pemerintah Indonesia per akhir Desember 2022 bahkan mencapai Rp7.733,99 triliun. Posisi utang pemerintah tersebut bertambah Rp825,03 triliun dibandingkan akhir 2021 yang sebesar Rp6.908,87 triliun.

Menjelang pemilihan umum 2024, seluruh elemen bangsa ini, menurut Hardjuno musti sadar apa masalah mendasar bangsa ini. Karena tanpa itu, yang akan terjadi rakyat akan selalu dikorbankan dalam perebutan kekuasaan para elit.

Sehingga tak heran selalu ada gesekan fisik di tingkat bawah saat pesta demokrasi. Anggaran negara terus saja dihambur-hamburkan untuk para elit yang bersandar pada penambahan utang.

Sementara uang di bank yang disimpan oleh rakyat disalurkan kepada konglomerat. “Kalau terus dibiarkan, ketimpangan makin lebar dan rakyat makin sengsara,” imbuh Hardjuno.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button