Market

Ancaman Houthi Lebih Buruk bagi Ekonomi Dunia Ketimbang Gaza


Perang di Gaza dinilai bukan ancaman besar bagi perdamaian dunia dan keamanan internasional. Pernyataan ini mungkin terdengar sinis bahkan mungkin kurang informasi, namun ini benar. Kecuali satu pihak di luar Gaza yang bisa merogoh kocek dunia lebih dalam. Pihak itu adalah Houthi, Yaman.

Mungkin anda suka

Pada tingkat keamanan, terlepas dari intensitas, kekejaman dan jumlah korban sipil, perang di Gaza hanya merupakan perang regional yang sempit dimana hanya ada dua pihak yang berperang secara serius. Dapat dikatakan bahwa Tepi Barat yang diduduki semakin menjadi medan perang, namun hal ini masih satu langkah di bawah eskalasi penuh.

Mengutip Al Jazeera, secara ekonomi, perang di Gaza sendiri tidak berdampak banyak pada dunia. Pengeboman yang brutal, penyerangan yang tidak pandang bulu terhadap warga tak bersenjata dan infrastruktur sipil, penderitaan manusia, kesengsaraan, pengungsian, kelaparan dan penyakit memang membangkitkan rasa belas kasihan internasional. Namun, bahkan jika keadaan menjadi lebih buruk, hampir dapat dipastikan bahwa pertempuran di Gaza akan tetap terkendali karena bisnis di tempat lain akan terus berjalan seperti biasa. 

Kecil Tapi Nekad

Keseimbangan kepentingan ini mungkin terganggu oleh tindakan kelompok kecil namun nekad. Adalah Houthi Yaman yang membahayakan pelayaran melalui Bab el-Mandeb yang strategis antara Laut Merah dan Samudera Hindia, sebuah jalur yang merupakan tersempit ketiga terbesar di dunia untuk pengiriman minyak setelah Selat Hormuz dan Malaka. Lebih dari enam juta barel melewatinya setiap hari, terutama dalam perjalanan menuju Eropa.

Rata-rata kapal yang melaju dengan kecepatan 16 knot (30km/jam), melewati Bab el-Mandeb dan Suez membutuhkan waktu sembilan hari lebih sedikit dibandingkan mengelilingi Afrika. Jalur ini juga lebih murah. Para ahli kelautan memperkirakan bahwa rute yang lebih pendek menghemat setidaknya 15 persen biaya transportasi.

Namun ada dampak tidak langsungnya. Serangan terhadap lalu lintas maritim di jalur itu meningkatkan tarif asuransi, kompensasi bahaya bagi awak kapal, dan biaya lainnya. Oleh karena itu, meskipun perang di Gaza tidak menimbulkan kerugian apa pun bagi warga negara netral, sikap Houthi di Laut Merah dapat membuat harga melonjak, pertama harga minyak, tetapi kemudian hampir semua hal lainnya akan menyusul.

Bisakah serangan Houthi dihentikan? Langkah pertama adalah diplomasi, namun hampir tidak ada negara yang mengakui Houthi atau berbicara dengan mereka, apalagi memiliki pengaruh. Satu-satunya pengecualian adalah Iran, yang pada prinsipnya mendukung Houthi tetapi tidak dapat mengendalikannya. Tidak ada yang tahu hubungan mereka saat ini, tetapi jika Iran memang tidak ingin konflik meningkat, maka kelompok Houthi mungkin akan bertindak bertentangan. Jadi, Iran pun mungkin tidak bisa berbuat banyak.

Sanksi tidak akan berhasil karena berbagai sanksi yang dijatuhkan terhadap Yaman gagal menghentikan pertempuran di sana selama sekitar satu dekade terakhir. Serangan terhadap pelayaran internasional yang meningkat dengan penculikan Galaxy Leader pada bulan November dan kemudian berpuncak pada serangan roket dan drone terhadap kapal kargo komersial tak bersenjata dan kapal angkatan laut bersenjata berat dari beberapa negara bukanlah hal baru bagi Houthi.

Pengalaman Menyerang Kapal di Laut Merah

Mereka memiliki sejarah menyerang kapal-kapal di Laut Merah. Selama konflik mereka dengan koalisi Arab yang dipimpin Saudi, pada bulan Januari 2017, mereka menyerang kapal fregat Al Madinah menggunakan tiga kapal peledak tak berawak yang dikendalikan dari jarak jauh, sehingga memaksa Angkatan Laut Kerajaan Saudi untuk mundur dari perairan Yaman.

Didorong oleh keberhasilan itu, pada Mei dan Juli 2018, mereka menyerang dua kapal tanker minyak besar Saudi dengan rudal jelajah (buatan Iran), serupa dengan yang digunakan dalam serangan baru-baru ini. Kapal berbendera netral juga diserang pada periode yang sama. Yang lebih memperumit masalah adalah pada tahun 2021, Iran dan Israel terlibat dalam konflik angkatan laut yang tidak diumumkan di Laut Merah di sepanjang pantai Yaman.

Menyusul penyitaan Galaxy Leader, AS dilaporkan mempertimbangkan untuk memberi label Ansar Allah, nama resmi gerakan Houthi, sebagai “kelompok teror” karena terlibat dalam “pembajakan kapal di perairan internasional”. Namun AS mengambil tindakan dengan hati-hati, dilaporkan telah berkonsultasi dengan negara lain dan memutuskan untuk (belum) meresmikan pelabelan tersebut. Tidak ada laporan mengenai pembicaraan apa pun dengan Teheran, namun hal tersebut tidak dapat dikesampingkan karena Washington tentu saja tidak ingin mengambil risiko mendorong kakak laki-laki Houthi atau proksinya seperti Hizbullah ke dalam perang penuh di sekitar Gaza.

Namun, setelah serangan rudal terbaru terhadap kapal komersial, Washington dilaporkan mencoba membentuk koalisi 12 negara untuk melawan ancaman Houthi terhadap pelayaran. Kapal perang dari setidaknya empat angkatan laut negara yakni AS, Perancis, Inggris dan Israel sudah aktif di Laut Merah dan beberapa telah berhasil menggagalkan serangan terhadap diri mereka sendiri dan terhadap sasaran darat di Israel.

Dengan koalisi, jumlah kapal perang akan meningkat dan mereka dapat menyerang sasaran di Yaman seperti lokasi peluncuran, fasilitas komando, dan tempat penyimpanan rudal.

Selain kapal-kapal di Laut Merah, Houthi terus menargetkan Israel, tidak terpengaruh oleh kurangnya hasil nyata. Israel mencegat sejumlah rudal jarak jauh, beberapa melalui pertahanan antimisil berbasis darat, dan lainnya di Laut Merah di selatan Eilat dengan jet tempur Israel. Setidaknya pada satu kesempatan, pesawat paling modern Israel, F-35 digunakan.

Sadar sepenuhnya akan koalisi yang sedang berkembang, Houthi ingin mencegah koalisi tersebut menjadi aktif dan berfungsi. Awal bulan ini, Mohammed al-Bukhaiti, anggota biro politik Houthi, memperingatkan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab bahwa jika mereka bergabung dengan koalisi semacam itu, Houthi akan menargetkan anjungan minyak dan fasilitas penyimpanan minyak mereka. Ancaman ini realistis, karena infrastruktur minyak kedua negara berada dalam jangkauan rudal Houthi.

Setiap serangan besar-besaran terhadap fasilitas minyak di Semenanjung Arab jelas merupakan eskalasi dan bersifat global, karena akan mendorong harga minyak naik dan menaikkan tarif asuransi bagi kapal tanker internasional yang melakukan pemuatan di sepanjang pantai Arab Saudi dan UEA.

Pada Kamis (14/12/2023), harga minyak naik 1 persen didorong kekhawatiran tentang keamanan pasokan minyak di Timur Tengah usai serangan ke kapal tanker di Laut Merah. Mengacu Reuters, kontrak berjangka Brent naik US$1,02 atau 1,4 persen menjadi US$74,26 per barel. Sementara, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS naik 86 sen atau 1,3 persen menjadi US$69,47 per barel.

Kontrak berjangka Brent telah turun sekitar 10 persen sejak Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutu (OPEC+) mengumumkan babak baru pengurangan produksi pada 30 November. Dalam laporan bulanannya, OPEC menyebut biang kerok penurunan harga minyak mentah adalah kekhawatiran berlebihan terhadap pertumbuhan permintaan minyak.

Akan menjadi sebuah paradoks dan sinis jika konflik dengan begitu banyak penderitaan dan kehancuran yang gagal menggerakkan dunia justru meningkat melalui serangan terhadap kapal-kapal netral yang dilakukan Houthi ini.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button