News

Siswa SD Dicolok Matanya, Mengapa Masih Kecil Sudah Melakukan Kekerasan?

Perilaku kekerasan anak kembali terjadi. Kasus terakhir, seorang siswa SD di Menganti, Gresik, Jawa Timur harus kehilangan penglihatannya setelah matanya ditusuk oleh kakak kelasnya. Apa yang terjadi dengan anak-anak sehingga tega melakukan kekerasan terhadap teman-teman lainnya?

Siswi kelas 2 SD di Menganti, Gresik itu buta usai matanya dicolok dengan tusuk bakso oleh kakak kelasnya. Samsul Arif (36) ayah korban mengatakan, peristiwa menimpa anaknya itu terjadi karena tak mau memberi uang jajan ke pelaku.

Samsul mengatakan kejadian bermula saat anaknya mengikuti kegiatan lomba Agustusan di sekolah. Saat itu korban tiba-tiba ditarik siswa yang diduga kakak kelasnya ke lorong di antara ruang guru dan pagar sekolah. Di sanalah, kata Samsul, pelaku diduga melancarkan aksinya dengan memaksa SAH memberikan uang jajannya. Namun, korban menolak sehingga matanya dicolok dengan tusuk bakso.

Hasil pemeriksaan menunjukkan ada kerusakan pada syaraf mata kanan SAH sehingga mengalami buta permanen. Samsul akhirnya melaporkan peristiwa tersebut ke Polres Gresik.

Menjadi Keprihatinan Publik

Apa yang dilakukan kakak kelas terhadap korban ini jelas membuat miris banyak pihak. Hanya karena keinginannya tak dituruti, yakni meminta uang jajan, dengan mudahnya si anak melakukan kekerasan kepada adik kelasnya. Seakan tanpa belas kasih.

Kekerasan yang dilakukan anak-anak makin memprihatinkan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat selama periode 2016-2020 ada 655 anak yang harus berhadapan dengan hukum karena menjadi pelaku kekerasan. Rinciannya, 506 anak melakukan kekerasan fisik dan 149 anak melakukan kekerasan psikis. 

Jumlah anak yang berhadapan dengan hukum ini konsisten berada di atas 100 orang per tahun selama 2016-2019. Angkanya kemudian turun menjadi 69 anak pada 2020, dengan rincian 58 anak sebagai pelaku kekerasan fisik dan 11 anak pelaku kekerasan psikis.

Di seluruh dunia sejak lama muncul kekhawatiran besar timbulnya perilaku kekerasan di kalangan anak-anak dan remaja. Masalah yang kompleks dan meresahkan ini perlu dipahami secara cermat oleh orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya.

Orang tua dan orang dewasa lainnya yang menyaksikan perilaku tersebut mungkin merasa khawatir, namun mereka sering kali berharap bahwa anak kecil tersebut akan tumbuh lebih baik dan membiarkan perilaku kekerasan seperti itu. Padahal kekerasan pada anak di usia berapa pun, termasuk di usia dini perlu selalu ditanggapi dengan serius. Hal ini tidak boleh langsung dianggap sebagai “hanya sebuah fase yang sedang mereka lalui!”

Perilaku kekerasan pada anak-anak dan remaja dapat mencakup berbagai macam perilaku. Seperti kemarahan yang meledak-ledak, agresi fisik, perkelahian, ancaman atau upaya untuk menyakiti orang lain (termasuk pikiran ingin membunuh orang lain), penggunaan senjata, kekejaman terhadap hewan, pembakaran, perusakan properti dan vandalisme dengan sengaja.

Faktor-faktor yang Meningkatkan Risiko Perilaku Kekerasan

Menurut The American Academy of Child and Adolescent Psychiatry (AACAP) , sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa interaksi kompleks atau kombinasi berbagai faktor menyebabkan peningkatan risiko perilaku kekerasan pada anak-anak dan remaja. Faktor-faktor ini meliputi perilaku agresif atau kekerasan sebelumnya, menjadi korban kekerasan fisik dan/atau kekerasan seksual, paparan kekerasan di rumah dan/atau komunitas atau menjadi korban bullying.

Bisa juga karena faktor genetik (keturunan keluarga), paparan di media seperti internet, televisi, film atau game online tentang kekerasan, penggunaan obat-obatan terlarang dan atau alkohol serta keberadaan senjata api di rumah. 

Bisa juga karena kombinasi faktor sosial ekonomi keluarga yang penuh tekanan. Misalnya saja kemiskinan, kekurangan yang parah, putusnya perkawinan, pengasuhan anak tunggal, pengangguran, hingga kehilangan dukungan dari keluarga besar. Bisa pula akibat kerusakan otak akibat cedera kepala.

Ada beberapa tanda peringatan atau cikal bakal perilaku kekerasan pada anak. Karena itu begitu terlihat ada tanda-tanda ini harus dilakukan evaluasi dengan cermat. Misalnya saja kemarahan yang hebat, sering kehilangan kesabaran atau meledak-ledak, iritabilitas yang ekstrim, impulsif yang ekstrim, serta menjadi mudah frustrasi. Orang tua dan guru harus berhati-hati untuk tidak meminimalkan perilaku ini pada anak.

Apa yang bisa dilakukan jika anak menunjukkan perilaku kekerasan? Kapan pun orang tua atau orang dewasa lainnya merasa khawatir, mereka harus segera mengatur evaluasi komprehensif oleh ahli kesehatan mental. Perawatan dini oleh seorang profesional seringkali dapat membantu. 

Tujuan pengobatan biasanya berfokus pada membantu anak untuk belajar bagaimana mengendalikan amarahnya, mengungkapkan kemarahan dan frustrasi dengan cara yang tepat, bertanggung jawab atas tindakannya, dan menerima konsekuensinya. Selain itu, konflik keluarga, masalah sekolah, dan masalah masyarakat harus diatasi.

Bagaimana Mencegah Perilaku Kekerasan pada Anak?

Studi penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar perilaku kekerasan dapat dikurangi atau bahkan dicegah jika faktor-faktor risikonya dikurangi atau dihilangkan secara signifikan. Yang paling penting, upaya-upaya tersebut harus diarahkan untuk secara signifikan mengurangi paparan anak-anak dan remaja terhadap kekerasan di rumah, komunitas, dan melalui media. Jelas, mengonsumsi kekerasan mengarah pada perilaku kekerasan.

Selain itu, ada beberapa strategi yang dapat mengurangi atau mencegah perilaku kekerasan. Di antaranya penggunaan program seperti pelatihan orang tua, program dukungan keluarga dan sebagainya tentang kekerasan oleh anak-anak. Juga pendidikan seks dan program parenting bagi remaja, identifikasi dini dan program intervensi bagi remaja yang melakukan kekerasan serta memantau anak-anak yang menonton kekerasan selama waktu layar mereka termasuk internet, tablet, ponsel pintar, TV, video, dan film.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button