Kanal

Beda Nasib Anak Presiden

“Dalam politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, 

Anda bisa bertaruh itu direncanakan seperti itu”

– Franklin D. Roosevelt-

Ya…memang dalam dunia politik tidak ada sebuah kebetulan, semua sudah direncanakan dengan matang.  Politics is the art of possible. Politik ialah seni kemungkinan, demikian disampaikan Otto von Bismarck, pemikiran kanselir pertama Kekaisaran Jerman abad ke-19 itu menyiratkan makna bahwa dalam politik segala rupa bisa terjadi.

Hal yang tidak mungkin dapat menjadi mungkin di Politik. Demikian pula sebaliknya. Apa saja peluang yang mungkin harus dicoba sekuat tenaga dalam usaha-usaha mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Karena itu, para politisi seringkali mau melakukan kompromi demi mencapai kepentingan yang diinginkan mereka.

Sama halnya seperti apa kata Machiavelli, seorang negarawan yang kerap disebut sebagai peletak batu pertama pijakan bagi politik modern. Machiavelli tidak sekadar memandang poltik sebagai sebuah seni yang mengatur kota/negara, melainkan juga sebagai sebuah seni kemungkinan.  

Melalui bukunya Il Principe (The Prince–Sang Pangeran) dan Discorsi (Discourse–Diskursus), Machiavelli memandang politik melalui dua  konsep metafisis : Virtu  dan fortuna. Kenapa di sebut metafisis? Karena keduanya tidak bisa dibuktikan, baik secara sosiologis maupun secara empiris (meta-empiris), namun dampaknya nyata dalam kehidupan yang dalam hal ini adalah konsekuensi dari tindakan politis.

Dalam konsep Machiavellian, virtu dapat diartikan sebagai sebuah kepiawaian, rasionalitas dan kalkulasi strategis untuk mengantisipasi suatu kejadian. Sedangkan fortuna diartikan sebagai sesuatu yang tak terduga dan tak berpola. Fortuna tidak bisa dikalkulasikan secara strategis teknis sehingga oleh Machiavelli disejajarkan dan di paralelkan, misalnya  dengan banjir yang tidak bisa diduga : Bisa membawa penghidupan atau kehancuran. Dengan kata lain, karena di dalam fortuna terdapat ketakterdugaan, maka fortuna dapat disebut sebagai sebuah kemungkinan (possibility).

Demikian pula yang kemudian terjadi belakangan ini dalam dunia politik di Indonesia. Munculnya sosok anak muda seperti Gibran Rakabuming Raka dengan segenap sokongan partai besar di Indonesia tentu bukan sebuah kebetulan belaka.

Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, Henri Subiakto, dalam sebuah opininya menyebut keinginan menjadikan Gibran cawapres itu nyata, bukan berasal dari halusinasi para pengamat dan media.

Tak hanya MK yang putusannya sudah mendukung skenario tersebut, peraturan KPU pun sehari setelah keputusan MK, sudah ada revisi dan dikirim ke partai partai disesuaikan dengan skenario ini. Maka akan mulus lah rencana deklarasi pasangan Prabowo Gibran.  

Faktor “tumbu oleh tutup”, menurut Henri, menjadi dasar rencana besar ini akhirnya perlahan terwujud, dimana keinginan Prabowo yang kerap kalah dalam Pilpres bertemu dengan kepentingan keluarga besar pak Jokowi dan elit-elit di sekitarnya, yang tidak ingin kehilangan kekuasaan.

Titik temu itulah, menurut Henri, yang kemudian mendorong munculnya skenario penyelamatan bersama yang saat ini bisa terlihat.”Bahwa master mind koalisi pak Prabowo memang berniat sejak lama mencawapreskan tokoh muda Gibran Rakabuming Raka menjadi tokoh yang dipilih mendampingi Capres Prabowo,” ujar dia, dalam opininya.

post-cover
Putra sulung Presiden Joko Widodo Gibran Rakabuming Raka digandeng Ketua umum PDI-P Megawati Soekarnoputri saat menghadiri pelantikan Wali Kota Semarang di Semarang, senin (30/1/2023). (Foto: Dokumentasi Gibran).

Jauh sebelum putusan MK, narasi untuk menjadikan Gibran cawapres sudah berdengung. Informasi yang didapatkan Inilah.com, dalam sebuah kesempatan Prabowo Subianto bersama dengan Ketua Umum salah satu ormas islam terbesar di Indonesia, terlontar bahwa ia, Prabowo, sudah memutuskan untuk menggaet Gibran sebagai cawapres.

Terlepas dari narasi-narasi negatif yang kemudian menyerang pencalonan Gibran Rakbuming Raka, Jokowi sebagai ‘master mind’ tentu tak bisa dikesampingkan. Asa menjaga kekuasaan seperti yang diucapkan Henri Subiakto rasa-rasanya juga dimiliki Presiden sebelum Jokowi.

Ambil contoh Puan Maharani. Ia sempat pula digadang-gadang menjadi calon presiden. Ketika itu, politisi PDIP Effendy Simbolon terang-terangan mengusulkan Puan bergandengan dengan Anies Baswedan.

Bukan tangan hampa, Puan setidaknya membawa sederet pengalaman baik di eksekutif, sebagai menteri koordinator PMK (pembangunan manusia dan kebudayaan) dan di legislatif menjadi Ketua DPR RI. Sementara di partai, Puan kini menjabat Ketua DPP PDIP, orang berpengaruh kedua di partai terbesar di republik saat ini.

Meski kemudian diujung cerita, Ibunya Megawati Soekarnoputri, Presiden RI ke-5 memutuskan untuk mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres, setidaknya Puan sudah diset sedemikian rupa untuk nantinya menjadi penerus ‘trah’ Soekarno sebagai pemimpin negeri.

Serupa, demikian pula dengan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pemilu tahun 2024 harusnya menjadi ujung cerita rencana SBY menset Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres, sebelum mimpi itu direbut Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Andai saja Anies Baswedan tidak ‘berselingkuh’ tentu tidak ada kalimat “For You, saya turun gunung” dari SBY ke Prabowo Subianto.

Cerita SBY sudah menset AHY sebagai cawapres 2024 sudah didengar narasumber Inilah.com sekitar 2016, atau satu tahun menjelang pelaksanaan Pilkada DKI tahun 2017. Saat itu, si narasumber ini diberi pertanyaan oleh dua orang politisi partai demokrat yang kini menjadi petinggi di partai berlambang mercy tersebut. “Apa pendapatmu kalau AHY dicalonkan menjadi Gubernur DKI”. Pertanyaan yang kemudian berujung hitungan matematis bagaimana kemudian Pilkada DKI dijadikan etalase bagi AHY ke publik bahwa kini penerus SBY sudah ‘lahir’ ke dunia politik Indonesia.

“Prematur” memang, sebab AHY ketika itu masih berpeluang besar secara karir di dunia milter. Ini juga yang kemudian diakui, SBY dalam sebuah wawancara dengan salah satu media online. Alasan tidak adanya sosok yang bisa dicalonkan dan usulan dari kader demokrat, elite PPP, PAN, dan PKB, menjadi landasan SBY ketika itu menarik anaknya dari dunia militer ke dunia politik.

“Terus terang, kami mengabaikan, karena sekali lagi, sama seperti pikiran banyak orang, Agus kariernya cemerlang di militer dan punya kans untuk sukses dalam karier yang bersangkutan,” kata SBY ketika itu.

Soal kekalahan AHY di Pilkada, itu tidak jadi soal, sebab pengalaman dalam berkompetisi lah yang kemudian dicari.

post-cover
Bakal pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menerima piagam dukungan dari KIM yang diserahkan Ketum Golkar Airlangga Hartarto (kanan) dengan disaksikan Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (kiri) di Indonesia Arena, Jakarta, Rabu (25/10/2023). (Foto: Antara)

“Targetnya etalase pertama AHY sebagai salah satu kekuatan politik nasional dari generasi baru. Yang kemudian akan diorbitkan menjadi capres atau cawapres pada pemilu 2024,” ujar narasumber Inilah.com, yang enggan disebutkan namanya.

Meski kini gagal pula di pemilu 2024, namun asa menjadikan AHY menjadi orang nomor satu di republik ini tidak padam, setidaknya itu yang kemudian tergambar dari pernyataan Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat, Hinca Panjaitan.

“Sebagai pemimpin partai Anda harus melakukan itu. Nah, realitas perjalanan politiknya kemudian juga kita ukur, ya sudah mungkin hari ini, kali ini belum masa kami. Kami tentu bersiap lagi untuk masa yang akan datang,” ujar Hinca di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/9/2023).

Yang perlu juga diingat, AHY adalah Ketua Umum Partai Demokrat dan Puan Maharani ialah Ketua DPP PDIP, sehingga peluang menjaga asa masih tetap ada.

Kembali ke urusan Gibran, Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, ada hal yang kemudian tidak dilakukan Presiden SBY dan Megawati dalam mempersiapkan keturunannya menjadi pemimpin negeri. Keduanya dinilai tak memanfaatkan “momentum” atau bahasa lainnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berhasil memanfaatkan konsep “aji mumpung” dalam membesarkan keluarganya.

“Apalagi SBY beliau baru mengusung AHY ketika beliau tidak lagi pegang kendali penuh kekuasaan,” ujar dia, kepada Inilah.com.

Jokowi dinilai Pangi cermat dalam membaca peluang untuk membesarkan Gibran Rakbuming Raka menjadi Wali Kota Solo, Kaesang Pengarep sebagai Ketua Umum PSI dan menantunya Bobby Nasution menjadi Wali Kota Medan.

“Baik Bobby, Gibran, Kaesang, dia (Jokowi) lakukan semuanya dengan momentum atau dengan waktu ketika beliau (Jokowi) pegang kendali penuh (sebagai presiden),” kata Pangi.

Lewat tangan dingin Jokowi pula, sambung Pangi, kemudian pidato Gibran saat deklarasi pertama sebagai cawapres di Indonesia Arena, Gelora Bung Karno, Rabu (25/10) merebut simpati banyak orang.

post-cover
Keluarga besar Presiden Joko Widodo. (Foto:dok Jawapos)

“Terlihat didalam pendaftaran kemarin kan kelihatan mereka memyampaikan program visi dan misi nya lebih terukur, dan tentu itu ada design, ada arsiteknya, yang memaintend itu, dan itu menurut saya dibelakangnya tidak bisa lepas dari irisan tangan dinginnya pak Jokowi,” kata Pangi.

Senada, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus memandang meski bukanlah Ketua Umum sebuah partai politik, namun Jokowi pada kenyataanya memegang kuasa atas Ketum Parpol. Hal itu yang kemudian membuatnya leluasa untuk menempatkan anaknya sebagai calon wakil presiden.

“Capaian sukses yang membedakan Jokowi dengan mantan Presiden lain dalam hal mempersiapkan anak-anaknya ya terkait konsolidasi kekuatan politik lintas partai dan tokoh, serta (mampu) memanfaatkan dukungan parpol-parpol itu untuk mendorong anaknya sendiri (sebagai cawapres),” kata Lucius.

Tak ayal dengan kekuatan yang kini masih dimiliki Jokowi, bukan cuma menempatkan diri sebagai king makernamun The Real King Maker di atas Megawati dan SBY.

“Presiden Jokowi mampu mengendalikan tiga hal, kepentingannya, aspirasi elit, dan kebutuhan publik. Sehingga The Real King Maker menemui relevansinya,” ujar Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro, kepada Inilah.com.

(Nebby/Clara)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button