Market

Dukung Kemudahan Bisnis, DPR dan Pemerintah Perlu Dorong Revisi UU Kepailitan

Keberadaan UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) telah bergeser dari tujuan. Ada usulan agar beleid ini direvisi.

Managing Partner Dwinanto Strategic Legal Consultant (DSLC), Rizky Dwinanto menilai, penggunaan UU 37/2004 mengalami pergeseran dari tujuan utama, sebagai salah satu sarana untuk penyelesaian utang-piutang yang adil, cepat, transparan dan efektif.

“Kehadiran UU 37/2004 seharusnya ditujukan untuk melindungi debitur yang mengalami kendala dalam berusaha atau berbisnis,” kata Rizky, Jakarta, Sabtu (28/10/2023).

Menurutnya, melalui UU tersebut debitur yang mengalami kesulitan dalam berusaha sehingga terkendala dalam menunaikan kewajiban pembayaran utangnya kepada kreditur, dapat mengajukan skema PKPU.

“Atau mungkin kalau debitur yang benar-benar sudah sangat kesulitan dalam berbisnis dan membayar utangnya, dia bisa memakai mekanisme pengajuan pailit. Jadi fokusnya ke perlindungan debitur,” kata Rizky.

Saat ini, menurut Rizky, UU 37/2004 menjadi alat atau skema hukum bagi kreditur untuk melakukan penagihan utang kepada debitur. Akibatnya, mayoritas pemohon PKPU dan pailit di Indonesia, didominasi kreditur.

“Kalau berangkat dari fenomena saat ini, ketika utang belum terbayar 2 bulan sudah dimohonkan PKPU, lalu utang Rp100 juta belum terbayar sudah diajukan PKPU. Ini akhirnya jadi moral hazard. Seharusnya kita lihat dulu kondisi perusahaan debitur dan kondisi ekonomi saat ini. Supaya jangan sedikit-sedikit PKPU atau pailit,” tambahnya.

Untuk itu, Rizky mendorong pemerintah dan DPR melakukan revisi atas beleid tersebut. Agar sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi perekonomian saat ini.

Presiden Direktur AJ Capital, Geoffrey D Simms menyatakan dalam sistem ekonomi yang semakin kompleks dan terhubung (melampaui batas negara), hukum harus dapat memberikan rasa keadilan dan perlindungan yang sama, baik bagi kreditur maupun debitur.

“Kreditur, debitur, dan pengadilan semuanya harus berpartisipasi dan memiliki peran masing-masing dalam proses kepailitan dan PKPU. Pengadilan niaga tentu berusaha untuk menemukan penyelesaian yang adil bagi semua pihak,” kata Simms.

Penegakan hukum kepailitan yang kuat dan konsisten, kata Simms, sangat membantu meminimalkan risiko penyalahgunaan proses kepailitan, yang dapat berdampak negatif pada para pemegang saham dan kreditur.

Simms mengingatkan, setiap kasus kepailitan dan PKPU memiliki keunikannya masing-masing, di mana ada situasi yang berbeda dalam setiap kasus. Pengadilan niaga tentunya harus  mempertimbangkan fakta-fakta khusus dari kasus tersebut ketika membuat keputusan.

Sejatinya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sempat menyoroti peningkatan jumlah kasus PKPU dan kepailitan. Hal itu disampaikan dalam pidatonya di Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pada 24 Agustus 2021.

Pada 2019, jumlah permohonan kepailitan dan PKPU tercatat hanya 435 pengajuan. Meningkat drastis menjadi 635 permohonan pada 2020, dan mencapai puncaknya pada 2021 dengan 726 permohonan. Sementara pada 2022, mulai turun menjadi 625, dan pada 2023 (hingga 14 Oktober 2023) menjadi 563 permohonan.

Menko Airlangga menduga, terdapat potensi moral hazard dalam pengajuan PKPU dan kepailitan di Indonesia. Hal itu dipicu mudahnya persyaratan bagi kreditur mengajukan PKPU terhadap debiturnya.

Kala itu, Menko Airlangga sempat mewacanakan moratorium pengajuan PKPU dan kepailitan, sesuai UU yang berlaku. Sebabnya, undang-undang tersebut selama ini tidak hanya dimanfaatkan debitur untuk merestrukturisasi utangnya, namun justru digunakan para kreditur sebagai bagian dari aksi korporasi mereka.

Berdasarkan laporan EoDB Bank Dunia pada 2020, peringkat Indonesia dalam topik Resolving Insolvency berada di posisi 38 dunia. Masih di bawah Thailand yang berada di posisi 24 dan Singapura di peringkat 27.

Di sisi lain, revisi UU 37/2004 perlu dilakukan agar iklim bisnis di Indonesia menjadi lebih menarik dan dapat bersaing dengan negara lain. Pasalnya, peraturan dalam penyelesaian kepailitan menjadi salah satu indikator penilaian dari Bank Dunia dalam menetapkan indeks Ease of Doing Business (EoDB).

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button