Market

Ekonom Khawatir Kasus Bank Mayapada Jadi Century Jilid II

Wakil Direktur Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listyanto terheran-heran, kasus kebocoran kredit di Bank Mayapada, tidak terdeteksi OJK. Jangan sampai meledak seperti kasus Bank Century.

Menurutnya, pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perbankan, menjadi urgensi. Karena menyangkut kepentingan publik serta amanah mikroprudensial.

“Jadi dia tidak hanya mengawasi bank-bank yang berdampak sistemik dan bagaimana pun kalau kita lihat bahwa perbankan itu adalah bisnis kepercayaan kalau ada case kayak gini tentu bisa melunturkan kepercayaan masyarakat kepada bank secara keseluruhan,” kata Eko kepada Inilah.com, Jakarta, Selasa (20/6/2023).

Eko menyebut, kasus-kasus yang melibatkan perbankan di Indonesia sebagian besar tidak melibatkan bank besar, melainkan bank-bank kecil seperti Bank Mayapada.

Meski begitu, kejadian ini tentunya akan berdampak kepada perbankan secara menyeluruh. Diharapkan tidak terulang seperti kasus Bank Century pada 15 tahun lalu.

“Karena case perbankan kalau di Indonesia muncul bukan dari bank yang gede, justru dari bank-bank kecil, ada sebelumnya Century, bank kecil tapi membuat reputasi perbankan secara keseluruhan goyah waktu itu, walaupun menghasilkan OJK, tapi kan maunya itu sebetulnya OJK kejadian semacam ini, enggak terulang,” ujar Eko.

Eko menyayangkan sikap OJK yang tidak segera membuka suara terkait temuan-temuan ini, sehingga mengakibatkan semakin meningkat dan berkembangnya spekulasi. Dia menyarankan OJK segera memberikan klarifikasi terkait masalah ini, tidak perlu mengulur-ulur waktu lagi.

“Setahu saya OJK belum berkomentar tapi harusnya dia segera berkomentar karena kan kalau memang pengawasan mikroprudensial dilakukan dengan intensif dan juga sudah sesuai dengan prosedur yang dilakukan tentu tidak perlu nunggu waktu lama untuk menjelaskan itu,” jelas Eko.

Menurut Eko seharusnya OJK sudah bisa melihat kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan Bank Mayapada terhadap nasabahnya. Kredit macet yang menimpa Ted Sioeng, seharusnya bisa dideteksi OJK, sejak dini. Sehingga bisa diberikan tindakan, bukan malah menunggu kasusnya menjadi besar seperti saat ini.

“Kredit macet itu tidak ujuk-ujuk macet, kalau di bank itu ada proses sebelum macet mungkin dari mulai angsuran tidak lancar, kolektibilitasnya itu ada gridnya dari satu sampai lima tidak langsung ke lima. Harusnya pada saat itu mulai ada tanda-tanda itu harus ada upaya dari OJK menghentikan itu sebelum lebih jauh lagi,” ungkap Eko.

Terkuaknya dugaan penyimpangan kredit di Bank Mayapada ini, berawal dari pengusaha Ted Sioeng mendapat fasilitas kredit sebesar Rp1,3 triliun, selama 7 tahun (2014-2021).

Dinilai tak menjalankan kewajiban, Bank Mayapada menyita aset Ted serta mempolisikannya. Selanjutnya, Ted bersama putrinya, ditetapkan sebagai tersangka.

Belakangan, Ted melayangkan surat kepada Menkopolhukam Mahfud MD. Dia menyampaikan adanya setoran untuk Dato Sri Thahir, selaku pemilik Bank Mayapada yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Angkanya mencapai Rp525 miliar.

Kalau benar, ini jelas praktik tak lazim di perbankan. Di mana, Bank Mayapada telah menerapkan Ted sebagai debitur yang tak patuh, namun terus diguyur kredit. Selama 7 tahun.

Tentu saja, cukup aneh. Apakah ada kaitannya dengan kick back Rp525 miliar itu? Nah, keganjilan-keganjilan ini harus dibuka OJK sampai tuntas.

Sejatinya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pernah mengaudit pengawasan OJK terhadap perbankan pada 2017-2019. Temuannya, Bank Mayapada berkali-kali mengguyur kredit kepada para debitur bermasalah. Angka kreditnya mencapai Rp4,3 triliun.

Selain itu, BPK menemukan Bank Mayapada sering melanggar batas maksimum kredit terhadap 4 korporasi. Jumlahnya mencapai Rp23,56 triliun. Anehnya, OJK diam saja. Tak ada sanksi apalagi upaya menyelidiki lebih jauh pelanggaran ini.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button