Market

Hasil Survei Sebutkan 60 Persen Kalangan Anak Muda Tanpa Dana Darurat

Ilustrasi: Kalangan generasi Z belum menilai penting alokasi dana darurat untuk mengantisipasi kejadian tak terduga. (Foto: inilah.com/Didik Setiawan)

Kalangan anak muda masih belum memandang penting pos dana darurat masuk dalam pengelolaan keuangannya. Bahkan dari hasil riset, hingga 60 persen anak milenial dan generasi Z tidak memiliki dana darurat.

Padahal dana darurat merupakan penyisihan tabungan keuangan yang dimiliki seseorang untuk digunakan dalam keadaan darurat, seperti diberhentikan dari perusahaan, mengalami kondisi sakit, meninggalnya pencari nafkah, dan lainnya.

CEO PT Jooara Rencana Keuangan, Gembong Suwito mengungkapkan keberadaan dana darurat penting agar masyarakat masih bisa melangsungkan kehidupan di tengah situasi genting.

“Miris, kalau kita melihat data dari 2011 sampai 2021, menunjukkan bahwa 61,7 persen tidak mempunyai dana darurat. Kenapa? Karena mereka tidak punya tujuan (keuangan), mereka tidak bisa mengatur cash flow, dan faktor media sosial,” terang Gembong dalam Media Workshop Blu bertemakan “Pintar Finansial Bareng BluAcademy Lewat SMART Financial Goal”  di Jakarta, Selasa (17/10/2023).

Gembong melanjutkan kalau apa yang diekspos oleh media sosial kebanyakan adalah pola hidup konsumtif, sehingga memengaruhi gaya hidup anak-anak muda.

“Pola konsumtif itu di-trigger dengan kemudahan untuk mencapai hal itu tanpa harus mengeluarkan cash,” lanjutnya.

Maksudnya, di zaman sekarang yang bisa melakukan transaksi secara digital, orang-orang akan lebih mudah pula membeli atau membayar hal yang mereka inginkan.

Beda halnya dengan masa lampau di mana segala macam pembayaran memerlukan uang fisik, sehingga pengeluaran bisa lebih dijaga.

Hal ini ditambah dengan ketidaktahuan anak-anak muda terkait pentingnya dana darurat, membuat mereka enggan untuk menyisihkan keuangan demi kebutuhan.

Dalam kesempatan itu, Gembong juga mengatakan kalau generasi masa kini lebih boros dibandingkan pendahulu mereka, karena hal-hal yang sudah disebutkan di atas.

“Faktanya, iya lebih boros. Karena iklan, diskon, dan kemudahan, meskipun kecil-kecil tapi secara akumulatif berdampak signifikan. Kalau dahulu, nggak banyak informasi. Dan untuk membeli, nggak semudah sekarang,” ujar Gembong.

Inflasi yang dianggap beberapa kalangan sebagai sulitnya menabung untuk dana darurat, ternyata tidak menjadi alasan utama. Gembong menyebut kalau gaya hidup dan gaji yang dipakai untuk keperluan lain lah yang berperan dalam ketidakmampuan mengumpulkan dana darurat.

“Kalau bicara inflasi, rata-rata sekitar 3-4 persen per tahun. Bukan di masalah inflasi, tapi kemampuan mereka untuk menabung dan investasi. Ini karena gaji mereka sudah habis untuk utang, paylater, dan gaya hidup,” jelasnya. 

Topik

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button