Intimidasi Rektor, Dulu Diberondong Peluru Kini ‘Ditodong’ Kamera Video


Rentetan tembakan di tengah kesunyian malam pada 9 Februari 1978 itu mengejukan seisi rumah. Sang pemilik rumah yang ternyata Prof Iskandar Alisjahbana, rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) jelas kaget mengingat berodongan peluru itu mengenai dinding tembok kamar salah seorang putrinya.

Prof Iskandar panik bercampur marah, melihat teror yang telah menimpa keluarganya. Untungnya rentetan peluru itu tidak menimbulkan korban dan hanya meninggalkan lubang-lubang bekas proyektil di rumah yang berlokasi di komplek Dosen ITB, Jalan Sulanjana Bandung itu. 

Pagi-pagi sekali, dengan roman wajah yang masih terlihat marah, ia mendatangi Panglima Kodam VI Siliwangi Mayor Jenderal Himawan Soetanto di Jalan Aceh. Dikisahkan Historia, Mayjen Himawan melihat wajah Iskandar yang tak lain adalah putra tertua dari pujangga nasional Sutan Takdir Alisjahbana itu tegang dan marah. “Waarom hebben jullie mijn huis beschoten? Hoe kunnen jullie zo laf zijn? (Kenapa kalian menembaki rumah saya? Sepengecut itukah kalian?),” ujar Prof Iskandar sambil bertolak pinggang seperti ditirukan Mayjen Himawan.

Pangdam Siliwangi itu sempat bengong dan heran tanda ia tidak mengerti apa yang dimaksud Prof Iskandar. Namun setelah dijelaskan, ia paham sekaligus terkejut. “Als er een huis beschoten wordt, is dat niet mijn manier van werken…. En dat is beslist ook niet de handelwijze van mijn mannen (Kalau ada yang menembaki rumah, itu bukan cara saya dan pasti bukan cara kerja anak buah saya),” jawab panglima. 

Wie dan? (lalu siapa?)” tanya Prof Iskandar. Jenderal Himawan tetap menggeleng lalu mengirimkan beberapa penyelidik ke rumah sang rektor. Dari beberapa proyektil peluru yang ditemukan, ternyata itu adalah jenis peluru kaliber 45 yang kemungkinan dihamburkan dari sepucuk pistol semi otomatik, senjata organik ABRI. “Siapa di balik itu semua, saya sama sekali tidak tahu. Yang jelas bukan kerjaan Siliwangi,” ungkap Himawan dalam suatu wawancara pada 2009.

Peristiwa yang dialami sang rektor ITB ini kemungkinan besar berkaitan dengan apa yang terjadi di Kampus Ganesha sebelumnya. Di bulan Januari 1978 itu, mahasiswa ITB mengadakan pentas seni sekaligus forum kritik terhadap Soeharto. Bahkan beberapa aktivis ITB seperti Heri Achmadi, Jusman Syafei Djamal dan Indro Cahyono mengumumkan bahwa Keluarga Besar Dewan Mahasiswa ITB tidak lagi mengakui Soeharto sebagai presiden dan menolak secara tegas pencalonannya kembali untuk periode berikutnya.

Dalam satu butir Ikrar Mahasiswa yang dibacakan di depan 8.000 mahasiswa di lapangan basket ITB, pimpinan Dewan Mahasiswaa (DM) se-Indonesia menuntut dilangsungkannya Sidang Istimewa MPR meminta pertanggungjawaban Presiden Soeharto.

Lalu apa sikap Prof Iskandar ketika itu? Ia seperti memberi angin dan sesekali kerap datang mengunjungi aksi para mahasiswanya. Tak jarang ia mengabadikannya dengan kamera miliknya. Presiden Soeharto tampaknya tidak suka dengan pembiaran yang dilakukan Prof Iskandar. Lewat karibnya B.J. Habibie, ia mendapat pesan bahwa Soeharto kecewa dan tersinggung terhadap situasi yang terjadi di ITB.

Tak lama kemudian, Prof Is yang juga dikenal sebagai innovator Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa itu dicopot dari jabatannya sebagai Rektor ITB pada 14 Februari 1978. Menteri Pendidikan Sjarief Thajeb saat itu mengungkapkan, ia dianggap tak mampu memulihkan kampus ITB. Kampus yang melahirkan para teknokrat itu dianggap pemerintah sebagai ‘sarang para pemberontak’.

Prof. Koesnadi Bersahabat dengan Mahasiswa

Rektor lain yang juga dikenal sangat peduli dengan gerakan mahasiswa adalah mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Koesnadi Hardjasoemantri. Anies Baswedan yang kini maju sebagai Capres, punya pengalaman tersendiri dengan Prof Koes saat masih menjadi aktivis di Dewan Mahasiswa akhir 80-an. Prof Koes yang lahir di Tasikmalaya, 9 Desember 1926, berperan melahirkan reformasi secara tidak langsung, yaitu dengan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) yang kemudian menjadi Senat Mahasiswa (SM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).

Prof Iskandar Alisjahbana. (Foto:Dok ITB)

Ketika banyak pimpinan perguruan tinggi mengalami desakan dari pemerintah Orde Baru untuk menekan mahasiswa, ia malah terkesan banyak memberikan angin bagi semangat demokrasi di kampus UGM. Mata hatinya melihat bahwa mahasiswa sangat memerlukan kebebasan. Tidak heran, akhirnya kampus UGM banyak melahirkan anak-anak muda yang peduli dengan kebangsaan. Saat menjabat sebagai rektor, Ia pernah secara langsung maupun tidak langsung menangani Gelanggang UGM yang saat itu diisi oleh Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. 

Anies dalam obituarinya mengenang Prof Koes menulis, ketika menjabat rektor sampai tahun 1990, ia memfasilitasi internalisasi dan re-migrasi gerakan mahasiswa ke dalam kampus. Ia tidak membakar mahasiswa dengan retorika. Pak Koes hanya menunjukkan bagaimana mengemas dan mengartikulasikan idealisme secara akademis. Efeknya dahsyat. Gerakan mahasiswa yang semula selalu berada di luar kampus mendadak terfasilitasi di dalam kampus. 

“Pada saat mayoritas pimpinan universitas di seantero negeri ini jadi kepanjangan tangan Orde Baru dan represor mahasiswa, Rektor UGM ini justru bersahabat dengan mahasiswa dan idealismenya,” ungkap Anies, di Majalah Tempo sehari setelah meninggalnya Prof Koes dalam sebuah kecelakaan pesawat di Jogyakarta 7 Maret 2007.

Momentum Merefleksikan Khittah Perguruan Tinggi

Saat orde baru, tekanan pemerintah terhadap aksi pergerakan mahasiswa sangat luar biasa. Tak heran jika para rektor merasa takut menghadapi intimidasi, tekanan, ancaman bahkan diserang dengan berondongan peluru tajam ke rumah tempat tinggalnya. Karenanya, keberanian dua sosok rektor itu, Prof Iskandar maupun Prof Koes tak akan terlupakan oleh para mahasiswanya.

Tak banyak rektor yang berani mengambil risiko melawan rezim dan membela suara mahasiswanya ketika itu. Banyak yang memilih diam karena takut, tak mau kehilangan jabatan dan kenyamanan hidup. Bahkan ada yang memilih bermesraan dengan penguasa, menjilat demi kepentingan dirinya dan memilih posisi sebagai perpanjangan tangan penguasa di kampus. Ini yang masih terjadi hingga saat ini.

Kini menjelang pilpres 2024 yang akan berlangsung beberapa hari lagi, intimidasi terhadap kampus dilaporkan kembali banyak terjadi. Ini terkait dengan makin besarnya gelombang petisi dari para guru besar, dosen, alumni, hingga mahasiswa tentang deklarasi kebangsaan menyusul keprihatinan terhadap kondisi bangsa jelang Pemilu. Setidaknya sudah lebih dari 30 perguruan tinggi di seluruh Indonesia menyampaikan petisinya.

Posisi rektor pun kembali diuji. Beberapa rektor kembali menjadi ‘incaran’ dan mendapat tekanan dari pihak-pihak yang merasa terusik dan terganggu tujuan politiknya. Seperti yang dialami beberapa rektor perguruan tinggi di Kota Semarang, Jawa Tengah, yang mengaku disuruh untuk membuat video testimoni positif terkait kinerja Presiden Joko Widodo. 

Prof. Dr. H. Koesnadi Hardjasoemantri (Dua dari kiri). (Foto:Dok Majalah Balairung)

Harus diingat bahwa kehadiran perguruan tinggi sebagaimana disebutkan di dalam UU No. 12/2012 adalah menjalankan peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan. Karenanya, krisis politik menjelang Pemilu 2024 ini menjadi momentum yang paling tepat bagi perguruan tinggi untuk merefleksikan kembali khittahnya. 

Saatnya bagi civitas akademika dari mulai, rektor, para guru besar, dosen, mahasiswa hingga alumni terus menyuarakan koreksi dan sikap antisipatif atas penyimpangan pemilu, pemberangusan kebebasan sipil, perlakuan tidak adil terhadap setiap peserta Pemilu, netralitas Presiden, politik beretika tinggi, demi menyelamatkan demokrasi dan reformasi.

Sudah bukan zamannya lagi rektor cuci tangan dengan permasalahan yang dialami bangsa dan menganggap petisi itu bukan keputusan rektorat. Tidak perlu ada lagi rektor menjadi ‘penghianat intelektual’ dengan menjadi kaki tangan pemerintah dibandingkan pembela institusi pendidikannya sendiri, para mahasiswanya maupun keinginan rakyat. Para rektor harus banyak belajar dari sosok teladan seperti Prof Iskandar Alisyahbana maupun Prof Koesnadi.

Exit mobile version