Kanal

Jejak Rasuah Bantuan Pemerintah


“Bantuan sosial itu memang rawan penyalahgunaan, bisa dalam bentuk korupsi atau yang kedua dalam kepentingan politik, atau biasa disebut sebagai pork barrel”

Fenomena bantuan sosial secara tunai alias bantuan langsung tunai (BLT) pertama kali dilahirkan di Brazil, tepatnya pada 1995, dengan nama dengan nama Bolsa Escola yang kemudian berganti menjadi Bolsa Familia. 

Program ini sifatnya adalah bantuan langsung tunai bersyarat yang diprakarsai oleh Luiz Inácio Lula da Silva, presiden Brasil ke-35. Dikutip dari Wikipedia, dalam program itu terbagi dengan beberapa kategori, seperti Bolsa Escola atau tunjangan pendidikan, Bolsa Alimentação atau bantuan pangan selama pendidikan , Cartão Alimentação atau bantuan pangan, dan Auxílio Gás atau bantuan gas.

Dulu Dikritik, Kini Kebablasan

Fenomena ini yang kemudian digunakan diberbagai negara, termasuk Indonesia. Di republik ini, program bansos pertama kali dipopulerkan Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY) pada tahun 2005 silam.  Kala itu, bantuan ini diselenggarakan sebagai respon kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dunia, dengan tujuan utama adalah membantu masyarakat miskin untuk tetap memenuhi kebutuhan hariannya.

Dirasa efektif, program ini berlanjut pada tahun 2009 dan di 2013 berganti nama menjadi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Ketika itu, penerima BLT mendapatkan bantuan uang tunai sebesar Rp300.000. Pembayaran disalurkan dalam tiga tahap. Pada Oktober dan tambahan senilai Rp300.000. Sisanya, diberikan pada tahun berikutnya, sehingga total insentif yang diterima masyarakat kala itu senilai Rp1,2 juta per rumah tangga.

Berdasarkan Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2005, diketahui Pemerintah menganggarkan sebesar Rp17,1 triliun atau 6,4 persen dari belanja pemerintah pusat untuk bantuan sosial.

Bantuan sosial dalam tahun 2005 tersebut diberikan dalam bentuk cadangan anggaran untuk penanggulangan bencana Rp2 triliun, dan bantuan yang diberikan melalui kementerial negara/lembaga Rp14,5 triliun. Anggaran ini meningkat dari tahun ke tahun, hingga masa jabatan SBY berakhir pada 2014.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mengadopsi program SBY ini. Meskipun saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta,  Jokowi pernah mengkritiknya. 

“Saya memang dari dulu tidak senang dengan bantuan tunai,” kata Jokowi yang ketika itu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta.

Toh pada akhirnya, Jokowi baru memahami seberapa besar manfaat bansos ini ketika menjabat. Sebab selain berefek secara ekonomi, bansos juga berefek pada politik. Alih-alih mengabaikan program kerja yang dibangun SBY, sebaliknya Jokowi melipat gandakan anggaran bansos melebihi yang dikucurkan pemerintahan SBY kala itu. 

Terlebih, menjelang pesta demokrasi saat ini, tercatat bansos secara besar-besaran akan digelontorkan oleh Jokowi. Pemerintah telah menyiapkan sejumlah bansos yang akan cair pada awal 2024.

post-cover
Presiden Jokowi memberikan bantuan pangan cadangan beras pemerintah (CBP) di Gudang Bulog Klahang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu (03/01/2024). (Foto: BPMI Setpres/Rusman)

Berdasarkan Buku Himpunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKAKL) Tahun Anggaran 2024, pemerintah melalui Kemensos menganggarkan sebesar Rp 79,19 triliun.

Besaran anggaran itu naik dari perkiraan atau outlook anggaran Kementerian Sosial pada 2023 yang sebesar Rp 77,33 triliun. Bansos ini akan digelontorkan melalui 5 program. Pertama BLT El Nino, Bansos Beras, Bantuan Program Keluarga Harapan, Bantuan Pangan Non Tunai dan Program Indonesia Pintar.

Jejak Rasuah Bansos

Hujan bansos di awal tahun ini dilakukan dengan alasan ingin menghapus kemiskinan ekstrim pada 2024 sebanyak 1,12 persen dari total penduduk. Tentu bentuk program ‘mulia’ Pemerintah ini perlu didukung, meski pada praktiknya juga meninggalkan jejak rasuah.

Publik masih ingat betul bagaimana program ini menjadi ladang pejabat nakal menggarong duit negara. 

Adalah mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara yang kini harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Tak ayal, vonis selama 12 tahun penjara dijatuhkan majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kepadanya.

Sebagai kader PDIP yang mempunyai slogan “Partai Wong Cilik”, Juliari justru terbukti berkhianat mencatut uang rakyat, meski baru 14 bulan menjabat. Juliari dinyatakan bersalah melakukan korupsi dalam program pemberian bantuan sosial untuk masyarakat terdampak pandemi Covid-19.

Perkara yang menyeret Juliari bermula saat adanya program pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kemensos tahun 2020. Pemerintah ketika itu mengganggarkan sebesar Rp 5,9 Triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan 2 periode. 

Juliari ketika itu menunjuk dua orang secara langsung sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK). Mereka adalah Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono. Sejak awal pelaksanaan program bansos, tangan mereka sudah kotor. Sebab dalam pelaksanaan proyeknya, Matheus dan Adi menunjuk langsung para rekanan. 

Kedua-nya juga mengatur agar perusahaan swasta yang menjadi rekanan Kemensos menyetorkan Rp10 ribu dari setiap paket bansos kepada mereka. Paket bansos sendiri senilai Rp300 ribu.

Pada Mei-November 2020, Matheus dan Adi mendapatkan rekanan yaitu Ardian I M dan Harry Van Sidabuke (swasta) serta PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus. Juliari tahu proses itu semua.

Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp 12 miliar, yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada Juliari melalui Adi. 

Dari jumlah itu, diduga total suap yang diterima oleh Juliari sebesar Rp 8,2 miliar. Uang tersebut selanjutnya dikelola Eko dan Shelvy N selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi Juliari. 

post-cover
Mantan Mensos Juliari P Batubara divonis Majelis Hakim Pengadilan Tipikor selama 12 tahun penjara. (Foto:Antara)

Kemudian pada periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang fee dari Oktober sampai Desember 2020 sekitar Rp 8,8 miliar.

Sehingga, total uang suap yang diterima oleh Juliari menurut KPK adalah sebesar Rp 17 miliar.

Praktek mencaplok duit negara dari bansos bukan cuma pada saat pengadaan saja. Sebab kini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan juga adanya indikasi rasuah dalam distribusi bansos beras ke masyarakat.

Sebanyak enam orang sudah dijadikan tersangka dan kini mendekam dijeruji besi. Mereka adalah, mantan Dirut PT Bhanda Ghara Reksa Muhammad Kuncoro Wibowo; mantan Direktur Komersial PT BGR Budi Susanto; Vice President Operasional PT BGR April Churniawan; Dirut PT Mitra Energi Persada Ivo Wongkaren; Roni Ramdani, Tim Penasihat PT Primalayan Teknologi Persada; dan Richard Cahyanto, General Manager PT PTP, sekaligus Direktur PT Envio Global Persada.

Tak tanggung-tanggung, berdasarkan catatan KPK, negara ditaksir merugi hingga sebesar Rp127,5 miliar. Singkatnya, KPK menduga para tersangka membuat “satu konsorsium sebagai formalitas” yang ternyata “tidak pernah sama sekali” melakukan kegiatan distribusi bansos yang diberikan dalam rangka penanganan dampak pandemi Covid-19 itu.

“Ada perusahaan yang seolah-olah menjadi perusahaan pendamping, konsultan, ternyata tidak memberikan nilai tambah, tidak melakukan suatu kegiatan yang mendukung proses bantuan sosial beras tersebut,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers, Rabu (23/08/2023).

Hingga saat ini, perkara itu masih berjalan di KPK.

Praktik Gentong Babi

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rahman, ketika berbincang dengan Inilah.com, mengatakan pada praktiknya, bansos rawan akan penyalahgunaan, baik dalam bentuk korupsi maupun demi kepentingan politik. 

“Atau biasa disebut sebagai pork barrel, praktik gentong babi gitu,” kata Zaenur Rahman.

Bansos menurutnya, acap kali diberikan dengan tujuan agar memperoleh dukungan dari para penerima bansos. Terlebih kini bansos tidak cuma berbentuk barang, tapi juga uang tunai. Justru menurut Zaenur, pemberian uang tunai ini makin mengidentifikasi kerawanan bansos digunakan untuk praktik pork barel.  

Dalam berbagai kesempatan, terlebih saat pemilu, praktik semacam ini masif dilakukan sebagai salah satu instrumen untuk memperoleh dukungan kampanye. Praktik ini, menurut Zaenur, mulai dari pelaksanaan Pilkada, Pileg hingga Pilpres.

post-cover
Mural tolak politik uang. (Foto: Bawaslu Jateng)

Meski secara hukum tidak ada yang dilanggar, namun menjadi tidak etis sebab menggunakan keuangan negara dan program pemerintah dengan tujuan terselubung untuk memperoleh dukungan.

“Apalagi penyaluran bansos itu dilakukan misalnya oleh presiden, dengan kemudian disitu ada gambar dari calon tertentu,” kata Zaenur.

Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah Castro, kepada inilah.com mengamini bahwa bansos efektif mempengaruhi pemilih. Castro mengibaratkan, bansos seperti praktik politik uang yang dilegalkan.

Lantas bagaimana untuk mengantisipasi penyalahgunaan bansos? Zaenur menilai, harus ada pengawasan ekstra ketat dalam setiap penyaluran bansos. Zaenur mengusulkan untuk dibuat saluran agar para penerima bansos dapat melaporkan bila ditemukan indikasi tidak sesuai dengan haknya.

“Dari sisi perilaku tidak etis penyelenggara negara yang memanfaatkan bansos untuk kepentingan politik, penyaluran sebaiknya dijadwalkan secara wajar tidak dipaskan dengan momentum pemilihan umum,” kata Zaenur.

Sementara Castro menilai, ada baiknya bansos dihentikan saat menjelang pemilu.

(Nebby/Rizki).

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Lihat Juga
Close
Back to top button