Market

Jokowi Sebut Negara Untung Besar dari Hilirisasi Nikel, Marwan: Itu Halusinasi

Direktur Eksekutif Indonesian Resources Study (IRESS) Marwan Batubara menggugat pernyataan Jokowi terkait negara untung besar dari hilirisasi nikel.

“Sebenarnya, pada November 2021, IRRES sudah menggugat klaim manfaat hilirisasi nikel Jokowi. Itu seperti sebuah halusinasi. Karena itu, kami sangat relevan dan sejalan dengan sikap Faisal Basri,” kata Marwan, Jakarta, Rabu (16/8/2023).

Pada 18 November 2021, kata Marwan, Jokowi menyebut, Pemerintah RI siap melawan Uni Eropa (UE) yang menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena melarang ekspor bijih nikel. Larangan ekspor nikel mentah ini, mulai berlaku 1 Januari 2020 sesuai Permen ESDM No.11/2019 tentang Perubahan Ke-2 Permen ESDM No.25/2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Kala itu, lanjut Marwan, Jokowi mengklaim adanya untung besar dari hilirisasi nikel. Melalui pelarangan ekspor nikel mentah, Indonesia meraup cuan hingga US$20 miliar atau sekitar Rp284 triliun (kurs Rp14.200/US$). Jika larangan ekspor berlaku pula untuk bauksit dan tembaga, maka Indonesia untung hingga US$35 miliar.

“Sikap Presiden Jokowi melawan gugatan UE di WTO, layak didukung. Namun terkait manfaat yang diungkap, tampaknya terdapat hal-hal yang perlu digugat. Terutama terkait proses hilirisasi, lapangan kerja, dan keuntungan negara,” tegas Marwan.

Pada 2015, kata Marwan, pemerintah menyatakan hilirisasi bijih nikel menjadi produk siap pakai, memberi nilai tambah hingga 19 kali. Ternyata, mayoritas produk puluhan smelter China dan investor lain di Indonesia, produknya adalah nickel pig iron (NPI), nickel matte, ferro nickel dan nickel hidroxite. Hanya sedikit produk dari hasil forming yang berupa stainless still.

Artinya, masih jauh dari siap pakai. Selanjutnya, bahan baku itu, diekpsor ke China untuk proses lanjutan berupa fabrikasi. Karena itu, negara yang memperoleh manfaat terbesar dari hilirisasi nikel mentah adalah China. Sedangkan Indonesia, menurut LPEM-UI (2019), hanya memperoleh nilai pengganda sekitar 3 hingga 4 kali saja.

“Kedua, ternyata nilai tambah tangible 3-4 kali yang sudah rendah ini, menurut Marwan, sebagian besar tidak masuk menjadi pajak atau penerimaan negara bukan pajak atau PNBP. “Namun justru lebih banyak dinikmati China, investor China, konglomerat, dan tenaga kerja asing (TKA) asal China,” ungkap Marwan.

Sebab, lanjut Marwan, investor atau konglomerat China mendapat banyak insentif. Berupa, bebas bea masuk (mekanisme Master Lists); bebas royalti (pemegang IUI bukan IUP); mendapatkan tax holiday; bebas PPN; bebas pajak ekspor; bebas PPh-21, bebas Iuran Izin Tinggal Terbatas (ITAS) dan Dana Kompensasi Penggunaan TKA (DKPTKA) karena TKA China menggunakan visa kunjungan 211. Seharusnya mereka menggunakan visa kerja 311.

“Dengan berbagai insentif pajak dan fiskal terhadap proses seperempat hilirisasi itu, rakyat harus sadar bahwa yang kita dapatkan sebagai pemilik sumber daya amal berupa nikel sangatlah rendah. Jauh dari nilai yang seharusnya. Bahwa klaim keuntungan 16,5 miliar dolar AS dan 20 miliar dolar (Desember 2021) yang dibanggakan Presiden Jokowi hanyalah halusisnasi,” kata Marwan.

Lalu berapa keuntungan yang diterima Indonesia? Tak beda dengan angka Faisal Basri, kisarannya 5 persen hingga 10 persen. “Sisanya justru dinikmati China, investror China, konglomerat, pekerja China dan para anggota oligarki,” imbuhnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button